ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

UPI Bandung Ada di Utara Kota Bandung, tapi Tak ada Bandung di Kampus Ini

Maulida Sri Handayani oleh Maulida Sri Handayani
22 Maret 2015
0
A A
UPI Bandung Ada di Utara Kota Bandung, tapi Tak ada Bandung di Kampus Ini MOJOK.CO

UPI Bandung Ada di Utara Kota Bandung, tapi Tak ada Bandung di Kampus Ini MOJOK.CO

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Tiada ciri gaya hidup urban di UPI Bandung, mungkin karena pengisinya kebanyakan anak-anak desa yang punya cita-cita romantik menjadi guru.

Jika Bandung terkenal dengan skena musik underground, mulai dari hardcore di ujung barat, alternative di tengah, sampai rupa-rupa aliran metal di ujung timur, saya tak menemuinya di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Iya. UPI Bandung ada di utara Bandung, tapi “tak ada Bandung” di kampus ini. Tiada ciri gaya hidup urban di sekolah ini, mungkin karena pengisinya kebanyakan anak-anak desa yang punya cita-cita romantik menjadi guru.

Dari nasyid ke musikalisasi puisi UPI Bandung

Tapi mungkin juga ini subjektif. Soalnya saya anak FPMIPA, fakultas yang terkenal paling saintifik agamis di mana saja. Dan, gedungnya cuma sepelemparan batu dari Daarut Tauhid, pesantren terkenal milik Aa Gym. Setiap minggu, mereka kami rajin ikut pengajiannya. Tak heran kalau sebagian pengurus himpunan nganggap musik beralat musik itu haram. Jadi, kalau ada acara, hiburannya nasyid lagi nasyid lagi.

Eh, tahu nasyid, kan? Itu lho, empat atau lima laki-laki menyanyikan lirik religius dan (ingat) tanpa alat musik. Kadang temponya cepat dengan lirik mengajak jihad. Tapi tak jarang begitu lambat mendayu-dayu sampai para vokalis seperti mau nangis (bahkan bisa nangis beneran).

Sebetulnya di SMA saya dulu juga ada grup nasyid. Tapi saya tak merasa sebel karena dulu nasyid bisa hidup damai dengan musik lain-lainnya. Masuk UPI Bandung, situasinya jadi benar-benar bikin frustrasi. Nasyid memonopoli kancah hiburan semua acara himpunan dan fakultas. Wajar sih, wong rapat himpunan saja dipisah antara laki dan perempuan ikhwan dan akhwat.

Apakah saya pernah usul hal yang beda? Oh, tentu. Di himpunan kampus UPI Bandung, saya pernah usul supaya acara diisi hiburan musik beneran. Tapi kandas. Penyebabnya bisa ditebak. Dari grup ikh-akh (ikhwan-akhwat), alasannya tetap satu kata ini: haram. Dari kelompok lain, pertanyaannya: “Memangnya siapa yang mau ngisi?”

Iya juga. Baru ingat kalau di angkatan saya nggak ada yang main musik. Yaaa, hafal kunci sih ada, tapi bukan performer. Untung situasinya agak membaik saat ada angkatan baru. Ada perempuan, nyaris akhwat (berkerudung panjang dan berbaju longgar), jago gitar dan keyboard, bisa bikin lagu. Nyanyinya juga bagus. Tapi… MIPA ya tetap MIPA. Sampai kapanpun tak bisa rock ‘n roll. Jadi, dalam rangka misi kebudayaan, saya melebarkan sayap ke fakultas lain di UPI Bandung.

Setelah lebih bergaul, ketemulah dengan musik non-nasyid. Tapi ternyata adanya ekstrem yang lain. Ekstrem itu bernama musikalisasi puisi. Setiap nonton acara rame-rame di Pentagon (gedungnya anak sastra dan beberapa UKM), apapun acaranya, musikalisasi puisi-lah hiburannya. Oya, sebetulnya fakultas sastra dulu gabung dengan seni.

Anak seni rupa ini tiga tahun sekali bikin acara keren. Namanya Djamoe Tjap IKIP. Kegiatannya: pameran, seminar, konser musik. Tapi entah kenapa hanya sedikit anak seni yang aktif di UKM universitas di UPI Bandung. Atau bisa juga sebetulnya banyak, cuma mereka ketularan agama musikalisasi puisi juga. Jadi begitulah. Di luar Djamoe Tjap IKIP, UPI adalah nasyid dan musikalisasi puisi. Amor fati: saya akhirnya menerima suratan takdir ini.

Registrasi cukup bayar Rp50 ribu

Bergaul dengan anak IPS, kesannya agak lumayan. Kalau main ke himpunan sejarah, pasti ketemu senior bernama El yang suka main lagu Pearl Jam. Luar biasa suaranya, benar-benar klon Eddie Vedder! Tapi yang mengesankan dari mereka bukan urusan gaya hidup macam begitu. Saya terkesan karena anak-anak sosial ini bener-bener sosialis (dalam soal bayar SPP).

Jadi begini. Saya kan anak MIPA angkatan 2001. SPP plus praktikum saya tiap semester itu Rp550.000 saja. Di luar fakultas saya dan teknik, SPPnya lebih murah lagi. Sebagai pembanding, mulai 2002, ITB membuka jalur penerimaan mahasiswa baru yang biayanya 45 juta. Di UPI mah beberapa tahun kemudian baru buka jalur begini. Selama dua tahun kuliah di MIPA, saya selalu melihat teman-teman membayar SPP pada waktunya. Bukan, bukan karena semua mahasiswa kaya.

Satu teman perempuan saya dari Subang pernah bilang di satu musim registrasi bahwa ia bisa bayar SPP setelah bapaknya menjual kambing. Mahasiswa lain yang juga kesulitan biasanya meminjam uang demi bisa registrasi. Nantinya, mereka akan membayar utang dengan beasiswa yang telat datang. Pokoknya, anak MIPA itu relatif aman dan tertib.

Tapi, olala, di IPS lain lagi kejadiannya. Jika musim registrasi, beberapa teman seatap di Isola Pos yang anak IPS seringkali pamer secarik kertas. Kertas sakti. Mereka tetap bisa teregistrasi untuk kuliah semester depan meski tak ada duit. Caranya? Ya mesti bayar juga. Tapi mereka cukup bayar semacam cicilan “tanda jadi” sebesar Rp50 ribu. Sisanya boleh dibayar kapanpun. Jelas saya bingung, ternyata bisa registrasi kayak gitu.

Bukan itu saja. Jika dalam satu semester mereka masih bokek, anak sejarah biasanya “pinjam” uang sama beberapa profesor. (Nggak akan saya sebut namanya karena beliau-beliau sudah pada pensiun, kasian kalo diutangi lagi sama anak UPI yang baca). Soal pinjam uang ini agak aneh. Yang semester lalu saja belum dikembalikan, semester depannya bapak profesor diminta pinjaman lagi. Ajaibnya, mereka selalu memberi, meski peminjamnya baru bikin ulah, entah demo atau bikin berita “kurang ajar.”

***

Sudah cukup romantismenya. Itu semua dulu. Masa lalu. Zaman mahasiswa masih doyan berbusa-busa ngobrol karena tak punya laptop dan gajet di tangan masing-masing. Bahkan dengan teman-teman pecinta nasyid pun saya akrab-akrab saja, meski ikhwa- ikhwan itu selalu ngobrol tanpa kontak mata. Well, it’s kinda cute actually.

Eh iya, soal ini, saya juga kadang melihat di gedung PKM (Pusat Kegiatan Mahasiswa) UPI Bandung: satu laki-laki dan satu perempuan duduk di kursi yang bentuknya bundar melingkari pilar. Mereka saling memunggungi. Karena kepo, saya amat-amati. Ternyata dua orang berpunggungan itu sedang ngobrol! Edyan. Itu mungkin yang namanya kencan diskusi tanpa mendekati zina. Geli sekali lihatnya. Tapi dipikir-pikir, manis juga ya?

Sekarang, di PKM orang duduk memangku laptop atau memegang gajet. Di luar gedung, udara sesak oleh suara orang bertransaksi dalam acara bazar dan…bunyi alat musik beneran, sodara! Maliq and d’Essentials konon pernah main juga di sini. Kemajuan, batin saya.

SPP sudah meningkat berkali lipat (melipat juga dari angka inflasi). Gedung lama dirubuhkan, yang baru berdiri megah. Meski tetap saja Vila Isola—sejak zaman Hindia—yang berdiri paling cantik. Saya bergumam, mungkin Indonesia sudah makmur. Toh yang masuk UPI saja tercukupi begini.

Melihat pemandangan itu, saya jadi ingat teman-teman yang dulu bulukan di tempat rental komputer. Atau, ngantre di satu-dua tempat kos teman yang punya komputer meja. Saya mengira-ngira ada nggak sekarang anak petani dari pelosok Pasundan yang datang ke IKIP untuk jadi guru dengan modal ngajar ngaji di mesjid. Supaya mereka bisa tidur gratis tentunya. Apa masih ada juga mahasiswa yang “ngekos” di himpunan atau UKM? Kalau yang ini kayaknya hampir nggak ada. Kan sekarang kampus tak boleh dipakai kegiatan malam. Jadi, saya simpulkan UPI sekarang diisi anak kelas menengah.

Sampai kemudian saya baca berita:

Puluhan mahasiswa dicutikan paksa karena tidak membayar SPP sampai tenggat yang ditentukan.

Nah, loh. Di UPI Bandung bukan tidak ada anak miskin. Melainkan, tak ada yang menandatangani secarik kuitansi cicilan SPP senilai Rp 50 ribu. Kalau mahasiswa nggak bayar sesuai jadwal, dia diminta cuti—bahkan drop out kalau dua bulan luput. Kalau begini, mungkin tak ada pentingnya kampus jadi modern atau jadi urban seperti (cita-cita) Bandung.

BACA JUGA 5 Cara Biar Kamu Dikira Orang Bandung Asli dan artikel lainnya di rubrik ESAI.

Terakhir diperbarui pada 10 Maret 2021 oleh

Tags: #PekanMengenangKampusBandungUniversitas Pendidikan IndonesiaUPI
Iklan
Maulida Sri Handayani

Maulida Sri Handayani

Artikel Terkait

Kebahagiaan sesaat orangtua saat anak lolos UTBK-SNBT di kampus Bandung, dikira sibuk kuliah ternyata asyik pergaulan bebas MOJOK.CO
Ragam

Kebahagiaan Sesaat Orangtua kala Anak Lolos UTBK, Dikira Serius Kuliah Malah Jadi “Aib Keluarga” karena Pergaulan

25 Mei 2025
Kecamatan Gedebage Bandung.MOJOK.CO
Ragam

Kecamatan Gedebage Bandung Rusak karena Salah Urus Pemerintahnya, Warga Menderita oleh Banjir dan Bau Busuk Sampah

21 Mei 2025
Jadi siswa pintar semasa SMA, semua berubah sejak kuliah jurusan Matematik di kampus Bandung ITB MOJOK.CO
Kampus

Jadi Siswa Pintar Semasa SMA, Saat Kuliah di ITB malah Jadi Tak Ada Apa-apanya

25 Maret 2025
EIGER TAC buka di Jalan Sumatera Bandung MOJOK.CO
Olah Raga

EIGER TAC Pertama di Indonesia Buka di Bandung, Khusus Produk untuk Aktivitas Ekstrem

12 Februari 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Orang kaya pertama kali naik bus ekonomi, tersiksa jiwa raga sampai trauma MOJOK.CO

Orang Kaya Naik Bus Ekonomi: Coba-coba Berujung Tersiksa, Dimaki Pengamen sampai Tahan Kencing Berjam-jam

12 Juni 2025
Bukan Janji, Tapi Jalan : 100 Hari Pertama Masa Kepemimpinaan Wali Kota Solo

Bukan Janji, Tapi Jalan : 100 Hari Pertama Masa Kepemimpinaan Wali Kota Solo

13 Juni 2025
Menyaksikan Kegilaan dari Dalam Bus Bagong dan Harapan Jaya MOJOK.CO

Menyaksikan Kegilaan Sopir Harapan Jaya dan Bus Bagong dari Dalam Bus, Menjadi Saksi Kehidupan Bus yang Selalu Dianggap Biang Masalah Jalanan

13 Juni 2025
Orang desa kuliah di kampus Jogja, merasa terintimidasi kalau ngopi di coffee shop karena nggak punya outfit skena MOJOK.CO

Derita Orang Kampung Kuliah di Jogja Utara: Kaget Ngopi di Coffee Shop, “Terhina” karena Tak Paham Menu dan Tak Punya Outfit Skena

10 Juni 2025
Tak Berniat Jadi Penulis, Tapi Hidup Berubah Karena Menulis | Semenjana Eps. 16

Tak Berniat Jadi Penulis, Tapi Hidup Berubah Karena Menulis | Semenjana Eps. 16

10 Juni 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.