MOJOK.CO – Untung saja Mohamed Salah Salah tidak bersuara dan memperjuangkan haknya di Indonesia. Kalau iya, udah habis dia dibantai pakai UU ITE.
Belakangan, bagi saya (tentu Kopite dan Liverpudlian lainnya juga) hari-hari menjadi fans Liverpool terasa sangat menyenangkan. Saya nggak perlu menjelaskan lebih rinci soal statistik atau cara Arne Slot meramu taktik. Apalagi soal konsistensi Liverpool di paruh musim 2024/2025.
Satu yang pasti, sampai saya selesai membuat tulisan ini, Liverpool masih ada di puncak klasemen. Meski perbedaan poin dengan Arsenal yang berada di posisi kedua masih bikin jantung deg-deg-ser. Meski gagal menang atas Manchester United, tapi The Reds masih bahagia di puncak.
Namun, sayangnya, tidak ada kebahagiaan yang sempurna. Saat ini, Liverpool juga punya dinamika yang cukup pelik. Jadi, 3 pilar utama yang kontraknya akan habis pada akhir musim 2024/2025 belum memberi kejelasan. Padahal, waktu yang tersisa tidak banyak. Mereka adalah Mohamed Salah, Virgil van Dijk, dan Trent Alexander-Arnold.
Mohamed Salah yang vokal dan jadi sorotan
Mohamed Salah menjadi pemain paling vokal yang berbicara mengenai situasi perpanjangan kontrak di Liverpool saat ini. Dia cukup sering menegaskan kalau musim ini akan menjadi yang terakhir bersama Liverpool. Apalagi kejelasan tentang perpanjangan kontrak belum menemui kesepakatan.
Di ruang lingkup profesional, sah-sah saja jika Mohamed Salah mempertanyakan status/kontraknya saat ini. Jangan lupa, itu salah satu hak beliau sebagai pekerja.
Masalahnya, Mo Salah menjadi sorotan karena banyak orang menganggapnya terlalu vokal. Padahal, yang luput dari perhatian adalah, dia sedang membela haknya sebagai pekerja. Untung saja, dia nggak tinggal dan bekerja di Indonesia. Kalau iya, dia akan kerepotan dan viral di banyak media sosial.
Membayangkan pemain andalan Liverpool itu adalah pekerja di Indonesia
Saat mengutarakan soal perpanjangan kontrak di base Twitter, akun pribadi, atau bikin video di TikTok saja, sudah pasti ditandai oleh tempat perusahaannya bekerja. Mulai dari jadi bahan omongan rekan satu kantor, ancaman gaji tidak dibayar, sampai mendapat tuntutan berlandaskan pasal karet UU ITE, yaitu pencemaran nama baik.
Belum lagi dapat nyinyiran, “Jangan tanya soal status atau perpanjangan kontrak dan apa yang sudah perusahaan berikan kepadamu. Tapi, apa yang sudah kamu berikan kepada perusahaan. Mikir.” Akan makin sial betul nasib Mohamed Salah.
Begini, lho. Tidak ada salahnya jika banyak perusahaan, lebih khusus lagi para supervisi/atasan, mulai menormalisasi hak pekerja dalam bersuara. Salah satunya mempertanyakan kejelasan kontrak dan masa depan. Dengan catatan, hal ini dilakukan tanpa menggunakan kata makian. Itu lain soal.
Masalah besar dan mendasarnya adalah, dinamika serupa, yang berkaitan dengan hak bersuara atau mempertanyakan hak seperti Mohamed Salah, masih dianggap tabu di Indonesia. Ini bisa Membikin sebagian atasan dan/atau perusahaan gatal-gatal karena alergi. Bahkan salah satu kenalan saya sesama HR pernah berkata bahwa, “Pekerja yang ikut serikat buruh itu penyakit.”
Mumet betul, ya, jadi pekerja di Indonesia?
Jadi pekerja di Indonesia itu memang, pada derajat tertentu, bikin pusing. Rasanya kayak jadi tahanan rutan sejak awal. Bahkan untuk sekadar berserikat, mencari perlindungan, sekaligus bersuara mempertanyakan hak kayak Mohamed Salah, dianggap penyakit oleh HR-nya sendiri.
Soal kejelasan kontrak pekerja di Indonesia juga masih menjadi PR besar. Saat ini, masih banyak status pekerja informal yang tidak mendapat jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, beserta hak lainnya.
Menurut Badan Pusat Statistik via GoodStats, jumlah pekerja informal pada Februari 2024 saja sudah mencapai 84,13 juta orang atau setara 59,17% dari total penduduk yang bekerja. Angka yang tidak kecil dengan upah yang tidak menentu, serta benefit minim lainnya.
Saat ini, di lapangan, banyak pekerja yang seharusnya dibuatkan perjanjian dengan status kontrak, malah diubah ke status kemitraan. Untung saja Mohamed Salah itu “pekerja” di Liverpool.
Jadi, tujuannya apa, Bapak/Ibu?
Ya, betul. Tentu saja untuk mengakali hak yang seharusnya diterima oleh pekerja. Salah satunya adalah THR yang tidak dibayarkan dengan alasan, “Kan statusnya kemitraan, bukan kontrak/karyawan. Jadi, nggak wajib diberi THR.” BTW, Mohamed Salah dapat THR nggak ya?
Percayalah, status dan angka tersebut semakin terasa bajingan saat dipadupadankan dengan atasan, HRD, atau perusahaan yang petantang-petenteng sambil mbatin, “Siapa yang butuh?” atau dengan congkak menyampaikan kepada pencari kerja, “Take it or leave it.” Mengacu pada status bekerja dan benefit yang ditawarkan, padahal jauh dari kata layak.
Ini menjadi penting, karena kedudukan antara perusahaan dan pencari kerja adalah setara—sama-sama butuh (dengan menyesuaikan kualifikasi dan posisi yang dibutuhkan). Maka, head to head antara (calon) pekerja dengan situasi “Siapa yang butuh” atau “Take it or leave it” seharusnya tidak bisa dinormalisasi di ranah profesional.
Sekali lagi, untung Mohamed Salah nggak kerja di Indonesia
Dengan segala dinamika dan ketimpangan yang ada, jika Mohamed Salah Salah mempertanyakan sekaligus memperjuangkan status kontraknya di Indonesia, saya yakin kasusnya tidak akan dibiarkan menguap begitu saja. Tentu saja, cepat atau lambat, akan menjadi perhatian manajemen Liverpool.
Minimal pihak Liverpool akan merasa dirugikan, kirim WhatsApp ke Salah untuk diam saja. Jika tidak, akan diancam dengan pasal karet UU ITE, karena dianggap mencemarkan nama baik perusahaan. Ditarik ke persidangan, sampai akhirnya Salah ditahan karena diputuskan bersalah.
Berserikat dianggap penyakit. Bersuara dan membela hak sebagai pekerja pun, seakan sudah satu langkah menuju persidangan yang malah menyudutkan pekerja itu sendiri—alih-alih mencapai kesepakatan atau mendapat keadilan.
Ya, untung saja, Mohamed Salah Salah tidak bersuara dan memperjuangkan haknya di Indonesia, sih. Hehehe.
Penulis: Seto Wicaksono
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bukannya Ngatur nih, tapi Owner Liverpool Harusnya Sadar kalau Mo Salah Layak Naik Gaji dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.