MOJOK.CO – Ekonomi Indonesia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Namun, bukan berarti tidak harapan untuk hidup nyaman. Harapan itu bernama UMKM.
Sepekan terakhir, berita soal kondisi ekonomi Indonesia mulai serempak mewarnai headline sejumlah media teras Tanah Air. Kehebohan mundurnya Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar dan riuh polemik upacara 17 Agustus di IKN sempat mewarnai. Namun, berita ekonomi Indonesia tetap harus jadi perhatian.
Kompas, misalnya. Menyoroti laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang melambat di kuartal II-2024. Bergeser ke media lain, CNBC fokus kepada tingkat konsumsi warga yang loyo selepas Ramadan.
Kompas dan CNBC menyoroti dua hal yang sebetulnya nyambung. Ekonomi Indonesia tumbuh lambat karena daya beli warga menurun. Ini sinyal waspada, jika tak elok disebut tanda bahaya. Meski kita masih punya harapan bernama UMKM. Nanti saya akan jelaskan.
Saat ini, kondisi makin pelik karena beberapa media seperti CNN Indonesia dan Detik juga menyoroti melejitnya angka PHK per Juli 2024. Lalu, apakah ini situasi gawat?
Satu yang pasti, kondisi ekonomi Indonesia memang tidak baik-baik saja. Cuma ya nggak separah itu juga. Tenang, masih ada UMKM dan usaha mikro yang bisa menjadi ladang cuan kalau kamu mau bekerja keras.
Ibaratnya, kalau dibilang gawat ya nggak juga, tapi di dunia ekonomi Indonesia, jemawa tidak pernah jadi opsi. Selain itu, kondisi perekonomian global masih serba tidak pasti karena konflik belum berhenti di berbagai regional. Tapi coba kita bedah satu per satu.
Ekonomi Indonesia tumbuh, tapi lambat
Dari perspektif saya, pertumbuhan adalah kabar positif, meski sederet fakta kurang enak masih mengiringi. Tapi, mengingat kita baru saja lepas dari pandemi dan situasi global yang masih tidak menentu, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif masih layak diapresiasi.
Cuma, mengutip omongan Menteri Keuangan Sri Mulyani, keputusan pemerintah untuk berfokus kepada ekspor-impor dan menjaga tingkat konsumsi masyarakat, layak jadi perhatian dunia ekonomi Indonesia. Sederhananya, dua hal ini memang saling terkait.
Sederhananya begini. Sektor kerja biasanya memang bergulir tidak jauh dari industri pengolahan seperti tekstil, garmen, dan alas kaki seperti sepatu atau sandal. Satu yang jadi sorotan, sektor ini kerap kalah saing di pasar dalam negeri ketika beradu dengan produk impor. Masalah muncul lagi lantaran produk impor masuk secara ilegal. Ini juga yang “membunuh” banyak UMKM dan usaha mikro.
Lesunya daya saing produk lokal terhadap serbuan produk impor ilegal, akan memunculkan efek domino. Ujungnya ada dua. Pertama, badai PHK di sektor industri tersebut. Kedua, menurun dan makin lemahnya daya beli masyarakat.
Ini wajar. Logikanya, kalau kamu pekerja dan kena PHK, kamu otomatis kehilangan sumber penghasilan dan harus mengencangkan ikat pinggang. Sebatas untuk porsi belanja rumah tangga saja sudah berat. Apalagi mau menekuni UMKM dan usaha mikro.
Baca halaman selanjutnya: Potensi cuan dari UMKM dan usaha mikro.
UMKM dan usaha mikro adalah alternatif
Ini soal matematika sederhana. Konsumsi rumah tangga itu tergantung pendapatan atau gaji. Jika gaji kita so-so saja, saat tergerus harga inflasi, pasti daya beli turun.
Makanya, saya paling bete kalau ada media sedang bahas soal ekonomi Indonesia yang tidak baik-baik saja, lalu muncul komentar:
“Masa sih, wong tiket konser aja masih sold out.”
Kita perlu sadar bahwa jumlah orang yang secara ekonomi ada di bawah kelas atas dan menengah, nyaris nggak mungkin beli tiket konser Taylor Swift atau Bruno Mars. Soale gawe tuku mangan wae angel.
Dan disadari atau tidak, kelas menengah di Indonesia ini sejatinya yang paling rentan sekali. Mereka ini, di mana mungkin saya ada di dalam daftar ini juga, nyaris mustahil jadi miliarder. Namun, jarak untuk jatuh ke garis kemiskinan justru sangat besar sekali. Oleh sebab itu, menemukan alternatif seperti UMKM dan usaha mikro jadi makin krusial.
Lalu kita harus ngapain untuk menghadapi kondisi ekonomi Indonesia yang lesu ini?
Kalau saya, sih, berpegang pada kalimat ini: “Waspada, tapi tidak takut. Tetap tenang, tapi tidak jemawa.”
Sebab, seperti saya tulis di atas, saya ini juga kelas menengah seperti kebanyakan orang di dunia ekonomi Indonesia. Sedikit saja lengah, bukan nggak mungkin saya jatuh miskin.
Waspada di sini lebih saya fokuskan di mengurangi potensi menambah cicilan. Data dari Bank Indonesia menyebut pengeluaran cicilan masyarakat Indonesia terus meningkat dari 8-9% di Juli 2023, menjadi 10,7 di Juli 2024. Ingat, di ranah ekonomi, kenaikan 1% aja udah gede, apalagi 1,7% kan. Lha wong PPN naik ke 12% aja udah engap banget, bos!
UMKM bisa menjadi ladang cuan
Di tengah kondisi yang tidak pasti, kalau memang nggak butuh-butuh amat, saya sangat menyarankan jangan ngambil cicilan. Kecuali memang memfokuskan cicilan untuk memulai usaha produktif di level UMKM yang ambil dari bank dengan bunga cicilan flat yang ringan. Tapi jika cicilan untuk konsumtif atau membeli motor-mobil, saran saya sih, sebaiknya jangan.
Berikutnya, mulai cari peluang usaha di level mikro, yang berpotensi jadi ladang cuan. Industri kreatif dan UMKM selalu bisa jadi solusi menarik asal kita berani memulai dan riset yang tekun.
Data sudah menunjukkan selama berkali-kali, bahkan ketika kita dicekik pandemi, di mana sektor UMKM selalu sukses jadi penyelamat ekonomi Indonesia. Dan memulai berbisnis di level mikro adalah solusi paling masuk akal yang bisa menyelamatkan korban PHK agar tidak jatuh miskin.
Jangan lantas takut begitu, UMKM bisa diperjuangkan, kok
Tapi, ini nggak bisa dilakukan sendirian. Kita hidup di bawah aturan negara di mana pemerintah memang sudah seharusnya mengambil peran di ekosistem UMKM yang sehat dan produktif.
Misalnya, sesimpel dengan mengadakan penyelenggaraan program pelatihan bisnis atau pemberian kredit usaha dengan bunga super kecil. Itu sudah lebih dari cukup untuk menawarkan solusi agar UMKM bisa tumbuh, daya beli masyarakat selalu terjaga, dan ekonomi Indonesia tumbuh dengan ideal.
Kondisi ekonomi Indonesia memang nggak baik-baik saja, tapi bukan berarti masyarakat harus ketakutan. Kalau kamu yang membaca ini masih punya pekerjaan dan gaji tetap, selain bersyukur, ini waktu yang pas untuk mulai berpikir “Saya baiknya nyoba bisnis apa ya”, ketimbang berpikir “Abis ini enaknya ambil cicilan apa ya.”
Percayalah, memulai selalu lebih sulit. Tapi ketika sudah mulai, biasanya semua akan mulai terasa mudah.
Penulis: Isidorus Rio
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Berjuang Membangun Toko Online Selama 2 Tahun di Tokopedia dan Kini Saya Bisa Hidup dengan Nyaman dan asupan motivasi lainnya di rubrik ESAI.