Uji SIM C Polres Bantul Tanpa Zig-zag Angka Delapan: Bantul Memang Beda

Uji SIM C Polres Bantul Tanpa Zig-Zag Angka Delapan MOJOK.CO

Ilustrasi Uji SIM C Polres Bantul Tanpa Zig-Zag Angka Delapan. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COPolres Bantul melahirkan ide brilian terkait uji SIM C. Mereka ingin menghapus uji zig-zag dan angka delapan. Ini ide yang bagus banget! Parah!

Kemarin sore saya membaca dua artikel dari Mojok tentang ide Polres Bantul perihal ujian SIM C. Selesai membaca dua artikel tersebut, secara spontan saya berteriak. “Ha mbok dari dulu!” Maklum, uji SIM C, khususnya yang baru mau bikin atau perpanjangan, bisa menjadi momok tersendiri.

Momok itu bernama ujian zig-zag dan angka delapan. Intinya, sih, pengendara diuji keseimbangannya di atas sepeda motor. Saya sering membatin polisi ini mau menguji pengendara as a badut ketangkasan di sebuah sirkus atau menjadi pengendara yang baik dan paham aturan, sih? 

Selain itu, uji SIM C yang kayak gitu nggak banyak berguna di kehidupan sehari-hari. Buat apa pengendara punya keseimbangan seperti pendekar, tapi nggak tertib pakai helm? Ngapain pengendara jago zig-zag tapi kalau keluar dari gang menuju jalan utama nggak berhenti lalu lihat kanan-kiri? Nanti kalau “kena sundul” dari belakang malah teriak paling kencang. Brengsek betul.

Mengapresiasi Polres Bantul untuk ide baru uji SIM C

“Ide ini berangkat dari keresahan kami akan tingginya angka kecelakaan lalu lintas (lakalantas) di Kabupaten Bantul. Setiap tahunnya berkisar 1.500 kasus laka lantas,” kata Kapolres Bantul AKBP Ihsan, Senin (26/06/2023), seperti dikutip Mojok.

Jadi, Polres Bantul sendiri sudah melakukan kajian terkait lakalantas selama lima tahun. Hasilnya, dari kajian tersebut kita bisa mengetahui bahwa lakalantas paling banyak melibatkan kendaraan roda dua. Sebanyak 51% faktor penyebab adalah faktor manusianya. “Ini terkait pengetahuan tentang rambu, kemudian kurangnya konsentrasi, dan kecerobohan dalam berkendara,” tambah Ihsan. 

Nah, menggunakan hasil kajian tersebut, Polres Bantul siap menerapkan perbaikan uji SIM C. “Selain itu, saat ini ujian teori tidak linear dengan ujian praktik. Jadi, di teori mengajarkan terkait rambu kemudian marka jalan dan sebagainya. Namun, saat praktiknya, hanya lebih ke skill bagaimana keterampilan melewati angka delapan kemudian zig-zag sehingga ini tidak linear dengan teori,” tegas AKBP Ihsan.

Ide dari Polres Bantul ini sangat wajib mendapatkan dukungan. Kalau warga DIY boleh mendukung lewat petisi, saya akan tanda tangan pertama, deh. Apalagi saya mendengar kalau ide ini belum mendapatkan “lampu hijau” dari Mabes Polri.

Ide brilian Polres Bantul ini bisa mengurangi kegilaan para calo SIM C

Saya sangat mendukung ide baru uji SIM C dari Polres Bantul ini karena menyimpan potensi yang sangat luhur. Mengapa? 

Karena uji SIM C yang zig-zag dan angka delapan itu berpotensi besar menggugurkan peserta uji SIM. Kenapa?

Kamu harus tahu bahwa keseimbangan setiap pengendara itu berbeda-beda. Ini bukan berarti peserta nggak bisa seimbang sama sekali ketika membawa motor. Namun, di sisi lain, pengetahuan soal rambu, kapan harus menyalakan lampu sein, tertib menunggu lampu hijau, kesadaran memakai helm bisa dipelajari dan diterapkan oleh semua pengendara.

Potensi kegagalan yang besar dari uji SIM C yang aneh itulah yang menyuburkan keberadaan calo. Ah, sudahlah, mari kita mengakui bersama bahwa ada masanya ketika uji SIM itu soal berani bayar berapa ke calo. Peserta rela membayar lebih banyak hanya demi menghindari uji praktik yang super aneh itu. Konon, calo-calo ini sudah diberantas. Jadi saya nggak tahu bagaimana kondisi saat ini hehe.

Oleh sebab itu, akan sangat aneh jika Mabes Polri tidak memberikan izin atas ide Polres Bantul ini. Sekali lagi, potensi dari ide brilian ini sangat besar dan “lebih manusiawi”.

Baca halaman selanjutnya….

Bantul kerap dianggap paling miskin di DIY

Nah, ketika Polres Bantul muncul dengan ide brilian itu, ada sedikit rasa lega, sekaligus terkesima. Memang, Bantul ini terasa berbeda dibandingkan para tetangga bernama Kota Jogja, Sleman, Kulon Progo, dan Gunungkidul. Semacam ada stigma tertentu yang menempel dan awet.

Misalnya, Bantul itu, meski sudah sangat maju seperti sekarang, tetap saja membawa stigma “ndeso”. Stigma “ndeso” ini muncul karena pandangan soal kemiskinan. Padahal, menurut data BPS 2022, persentase penduduk miskin di Bantul hanya 12%. Sementara itu, Gunungkidul mencatatkan 15% penduduk miskin dan Kulon Progo 16%.

Yah, meskipun mendapatkan stigma miskin dan “ndeso”, sebuah ide brilian terkait uji SIM C muncul dari Bantul. Hayo, mana ide dari polres daerah lain?

Stigma aneh yang juga melekat kepada Bantul

Selain “ndeso”, stigma kedua yang menempel kepada Kabupaten Bantul adalah “aneh”. Khususnya soal fashion anak-anak muda. Stigma ini sangat santer menjadi bahan ledekan ketika saya masih aktif kuliah.

Jadi, dulu, kalau ada anak muda yang ngampus memakai sepatu futsal, dia akan diledek kayak gini: “Norak! Dasar cah mBantul!”

Ledekan akan semakin keras membahana ketika dia mengenakan jaket atau sweater di pinggang. Lalu, kedua lengan dari jaket itu akan diikatkan di depan. Kombo sepatu futsal untuk kuliah ditambah ikat jaket di pinggang adalah titik kulminasi dari stigma aneh yang melekat kepada Bantul. Yang mana, saya sendiri nggak tahu stigma itu lahir dari mana.

Namun, stigma aneh atau norak itu harusnya sudah gugur. Ide brilian dari Polres Bantul terkait uji SIM C itu jauh dari kata norak. Itu justru ide segar dan menggambarkan kepedulian Polres Bantul akan kemampuan pengendara.

Nah, itulah dia. Sebuah ide brilian muncul dari sebuah kabupaten yang kerap dianggap paling miskin dan paling aneh. Semoga ide dari Polres Bantul terkait uji SIM C mendapat persetujuan dari Mabes Polri. Meski tinggal di Sleman, entah kenapa, saya jadi ikut merasa bangga. Hidup Bantul!

Penulis: Moddie Alvianto W.

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Bantul, Daerah yang Penuh dengan Kejadian (dan Orang) Aneh dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.  

Exit mobile version