MOJOK.CO – Inilah potensi pemiskinan warga yang mengerikan. Bong Suwung Jogja tidak hanya jadi tempat tinggal, tapi tempat mengadu nasib dan menyambung hidup.
Sarkem Fest terlaksana dengan ingar bingar. Seolah-olah mencuci sejarah nakal sentra prostitusi Jogja itu. Namun, tak jauh dari situ, ada warga yang tengah khawatir. Ketika tetangga mereka sibuk pesta pora, warga Bong Suwung sedang terancam terusir. Tidak hanya digusur, tapi juga terancam pemiskinan.
Ironis, ketika janji tak ada kemiskinan di sekitar sumbu filosofis berbenturan dengan penggusuran. Tapi inilah yang terjadi di jantung Kota Jogja. Mereka yang tergusur sudah lama berjuang melawan stigma prostitusi dan kriminal. Kini mereka berjuang melawan penggusuran yang tidak adil.
Kini mereka sudah terdesak, diminta minggat dalam waktu kelewat cepat. Segala mediasi tak pernah menemukan jalan tengah. Hanya mempercepat penggusuran tanpa nurani.
Bong Suwung, leluhur Pasar Kembang Jogja
Titik penggusuran ini ada di sebelah barat Stasiun Tugu. Orang menyebutnya Bong Suwung karena awalnya merupakan area pemakaman masyarakat Tionghoa. Dari kisah kawan saya, makam di area tersebut akhirnya direlokasi. Yang tersisa tinggal beberapa bagian dari nisan khas Tionghoa yang umum disebut “bong”.
Setelahnya, banyak orang menempati lokasi ini, terutama perantau. Akhirnya mereka mendirikan hunian dan warung, baik permanen maupun semi permanen. Perlahan, Bong Suwung menjadi pusat prostitusi di Jogja. Beberapa berpendapat karena lokasi kampung ini dekat dengan stasiun, maka kebutuhan untuk jasa prostitusi menjadi tinggi. Supply and demand.
Dunia hitam lekat dengan kampung ini. Selain prostitusi, tempat ini juga jadi titik kumpul preman dan pelaku kriminal lain. Akhirnya stigma buruk makin melekat pada Bong Suwung. Bahkan setelah Orde Baru merilis Operasi Penanggulangan Kejahatan (OPK), stigma ini masih melekat.
Waktu berjalan, dan pusat prostitusi Jogja bergeser ke sebelah timur. Tepatnya di Pasar Kembang atau Sarkem, seberang Stasiun Tugu. Bong Suwung mulai terbebas dari stigma buruknya. Yang tersisa adalah jajaran warung yang siap menyambut pelancong dari Stasiun Tugu Jogja.
Namun, deretan warung itu akan segera lenyap. Kampung Bong Suwung akan segera jadi kenangan. Warganya harus minggat tanpa ada kesempatan sedikit bernafas.
Baca halaman selanjutnya: Tragedi di sumbu filosofi.
Terima tawaran atau gusur paksa
Tanah tempat Bong Suwung berdiri sejatinya adalah Sultan Ground (SG). Namun, hak penggunaan dimiliki PT KAI Daop 6. Inilah awal keruwetan dan ketidakadilan Bong Suwung. Sialnya, kabar buruk ini selalu dibenturkan dengan stigma negatif Kampung Bong Suwung Jogja.
Awalnya jelas dari pembiaran. Sejak pemakaman tadi dipindah, banyak warga yang tinggal di Bong Suwung Jogja. Entah kapan awalnya, namun sejak 1970-an, Bong sudah ramai. Selama itu pula, pemerintah membiarkan warga Bong Suwung tinggal. Mereka tinggal, hidup, dan berkarya dalam ketidakpastian.
Akhirnya hak penggunaan PT KAI menjadi ancaman. Warga yang selama ini dibiarkan tinggal mulai terancam. Sialnya, pembiaran ini tidak pernah jadi perhatian. Warga Bong Suwung tak ubahnya sampah di mata pemerintah. Pokoknya siap disapu kapan saja ketika lahannya dibutuhkan.
Wacana penggusuran Bong Suwung sudah sangat lama. Dari 2010 sudah muncul peringatan untuk penggusuran. Mediasi antara warga, PT KAI, dan Pemkot Jogja beberapa kali terjadi. Sayangnya, tidak ada titik terang yang baik bagi semua. Lagipula, penggusuran yang baik bagi semua hampir mustahil. Warga akan selalu jadi korban bukan?
Puncak keruwetan Bong Suwung terjadi saat artikel ini saya tulis (25/09). PT KAI mengeluarkan ultimatum. Landasan mereka adalah warga telah menerima kompensasi. Sedangkan SP3 penggusuran sudah dirilis sejak 20 September 2024 dengan masa berlaku 7 hari. Selama waktu berlaku, warga Bong Suwung Jogja harus sudah membersihkan wilayah secara mandiri.
“Tetapi bila itu tidak dilakukan, sudah terima uang kompensasi dan tidak dilakukan, ya kita akan membersihkan, apa pun itu harus rata tanah,” ujar Krisbiyantoro selaku Manager Humas PT KAI Daop 6.
Waktu tinggal sebentar lagi. Warga Bong Suwung Jogja tidak menemukan solusi yang manusiawi. Bahkan kompensasi yang ditawarkan jelas jauh dari kata manusiawi. Ditambah dengan ultimatum tadi, warga Bong Suwung benar-benar seperti sampah yang sedang disapu.
Pemiskinan warga di jantung Jogja
Kompensasi yang ditawarkan PT KAI memang kelewat sedikit. Yaitu 200 ribu per meter bangunan semi permanen, dan 250 ribu per meter bangunan permanen. Kompensasi ini ditambah 500 ribu untuk jasa angkut relokasi. Tentu kelewat sedikit dibanding nilai bangunan. Apalagi dibandingkan ikatan warga dengan Bong Suwung.
Inilah potensi pemiskinan warga yang mengerikan. Bong Suwung tidak hanya jadi tempat tinggal, tapi tempat mengadu nasib dan menyambung hidup. Mereka berdesak-desakan karena tak mampu memiliki rumah layak dan legal. Selama ini mereka dibiarkan saja. Namun tiba-tiba mereka disuruh minggat tanpa sedikitpun melihat aspek kemanusiaan.
Lokasi Bong Suwung Jogja juga bagian dari Sultan Ground (SG). Jangan sepelekan bagian ini. Meskipun penggusuran tetaplah mengerikan, setidaknya warga (SG) lain yang tergusur mendapat kompensasi yang layak. Paling tidak cukup untuk menyewa rumah setelah tergusur. Setahu saya, beberapa warga penghuni Benteng Baluwerti mendapat kompensasi 25 juta. Kecil sih, tapi masih bisa untuk cari kontrakan sementara.
Bandingkan dengan kompensasi 250 ribu per meter. Tanpa ada relokasi atau jaminan lain. Apakah layak untuk hidup sekeluarga yang baru saja tergusur? Tempat usaha mereka ikut lenyap. Lalu bagaimana mereka melanjutkan hidup?
Mengapa warga Bong Suwung Jogja dibedakan dengan warga SG lain? Kompensasi mereka juga diberikan oleh PT KAI yang tentu saja terbatas. Berbeda dengan Keraton yang bisa memanfaatkan Dana Keistimewaan (Danais) sebagai biaya kompensasi penggusuran warga Benteng Baluwerti.
Bolehkah Warga Bong Suwung sejenak bernafas?
Terlepas dari perkara kompensasi, ada satu hal yang lebih penting namun terabaikan. Bolehkah warga Bong Suwung Jogja sedikit bernafas menghadapi kenyataan pilu ini? Meskipun pakai argumen SP3 apalagi wacana dari 2010, warga Bong masih terus memperjuangkan hak mereka.
Ultimatum yang diberikan jelas tidak memberi nafas. Bahkan jika warga Bong menerima penggusuran, bolehkah mereka sedikit bersiap. Mereka baru saja kehilangan hunian dan sumber penghidupan. Pindah rumah dalam situasi baik saja butuh proses. Apalagi ketika tergusur dan kehilangan segalanya tanpa kompensasi pantas.
Detik terus berlalu seiring Anda membaca artikel ini. Detik juga terus berlalu bagi warga Bong Suwung. Setiap detik makin berharga bagi mereka yang menanti batas waktu SP3.
Mereka akan tercerabut dari akar dan penghidupannya. Mungkin esok atau lusa akan ada kabar baik. Mungkin penggusuran dibatalkan atau hidup mereka terjamin. Tapi mungkin lusa adalah waktu mereka tergusur dan kehilangan semua. Bong Suwung Jogja akan kembali suwung. Tanpa sejarahnya dan mereka yang membuat bekas makam ini jadi tanah penuh harapan.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Di Balik Status Warisan Dunia: Mereka yang Tergusur karena Sumbu Filosofi dan kenyataan menarik lainnya di rubrik ESAI.