Tinggal di Pinggiran Kota Jogja Itu Nggak Enak, Rasanya Kayak Neraka dan Petaka

Dengan harga yang makin melambung dan mahal, kenyamanan di pinggiran Kota Jogja hanya sekadar angan-angan belaka.

Tinggal di Pinggiran Kota Jogja Itu Nggak Enak, Rasanya Kayak Neraka dan Petaka MOJOK.CO

Ilustrasi Tinggal di Pinggiran Kota Jogja Itu Nggak Enak, Rasanya Kayak Neraka dan Petaka. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COPinggiran Kota Jogja itu soal harga yang makin melambung, kenyamanan hanya sekadar angan-angan belaka.

Jika kalian menuju ke selatan dari Kota Jogja, lantas menemukan berbagai baliho yang isinya “Hunian murah, hanya semenit dari kota”, nah rumah saya di situ. Memang benar hanya beberapa menit saja dari kota. Namun, beberapa menit pula tinggal di sana, BPJS-mu akan berguna dengan keluhan sakit kepala dan stres akut luar biasa.

Samping rumah saya adalah tukang kayu. Setiap pukul delapan pagi, mesin selalu berbunyi. Nyaring sekali. Tidak hanya sampai sana, si pemilik, dan beberapa anak buahnya, memberi saya satu bonus lagi, yakni musik yang tidak enak untuk didengar dengan volume yang bikin ngelus dada. Dan itu berlangsung dari Senin sampai Sabtu.

Oh, kadang si pemilik kerja sendirian di hari Minggu. Tak jarang pula sampai larut malam. Hasil kerja kerasnya, dia berhasil bikin rumah di desa sunyi dan tenang, ditambah sebuah city car. Hasil jerih payahnya ini, bisa untuk membuat dirinya bikin buku inspiratif berjudul, “Tukang Kayu di Pinggiran Kota Jogja yang Sukses dari Nol”.

Tinggal di pinggiran Kota Jogja itu nyatanya nggak enak

Di balik kisah suksesnya itu, ada tetangga yang tiap hari merasakan stres karena bising. Sialnya, tetangganya itu berprofesi sebagai penulis dan, sialnya lagi, orang itu adalah saya sendiri.

Yang membuat bapak saya beli tanah di pinggiran Kota Jogja, tentu saja karena murah. Dulu sekali, Kecamatan Banguntapan itu bentuknya seperti kebun yang penuh nyamuk dan jangkrik alih-alih beton yang membentuk sebuah pemukiman perumahan.

Bapak saya dulu mungkin berpikir, “Nggak masalah tetanggaan sama nyamuk, tinggal beli obat nyamuk.” Saya yakin tak pernah dia berpikir bahwa akan bertetangga dengan orang kaya yang berbisnis kayu, mesinnya berderu tiap saat, debu terbang ke mana-mana dan stereo-nya terus-terusan memutar lagu-lagu DJ TikTok Slebew Remix.

Dulu saya terlalu kecil dan takut untuk protes. Pada akhirnya, beberapa waktu lalu, saya datang langsung ke tetangga saya yang menghabiskan hari Minggu dengan terus menyalakan mesin kayunya itu. Katanya, dia sedang banyak pesanan.

Dahi saya mengernyit, tidak emosi sama sekali, malah miris kepada diri saya sendiri. Andai saja dia melihat isi laptop saya. Banyak tulisan yang tidak menghasilkan uang. Tulisan-tulisan yang saya kerjakan dan selalu beriringan dengan deru mesin kayunya.

Secara administratif, tempat saya tinggal ini masuk ke dalam suburban

Banyak pula yang bilang bahwa penduduk area suburban lebih beradab dan tenggang rasa ketimbang penduduk Kota Jogja. Jika ada yang bilang begitu lagi, ingin rasanya saya ada di garda terdepan untuk menertawakan pendapat tersebut. Lalu bilang, “Tinggal di rumah saya sehari saja, maka asuransi kesehatanmu akan sedikit ada gunanya.”

Jika Sartre tinggal di Banguntapan, bukan di Paris, mungkin pendapatnya yang mengatakan orang lain adalah neraka tak pernah ada. Bisa saja malah bertambah. Orang lain adalah neraka, astaga, ndlogok

Samping rumah banget, samping satunya, sedang dibangun proyek pembuatan masjid oleh salah satu komunitas. Ketika diminta tanda tangan izin pembangunan, saya membolak-balik beberapa kali. Tidak ada keterangan pengeras suara. Saya hanya bilang semoga tidak terlampau bising. Suasana kurang mengenakkan itu selesai ketika saya membubuhkan tanda tangan.

Jika masalah ini diperbesar, mungkin label tidak kooperatif atas pembangunan tempat ibadah akan tersemat di diri saya. Tapi masalahnya, di desa saya, di pinggiran Kota Jogja, masjid itu sudah ada dua. Dan yang akan dibangun ini adalah milik sebuah organisasi.

Anda mau saya kasih tahu satu hal lagi? Masih di jalan yang sama, sekitar 30 langkah saja, sedang ada proyek lain, yaitu pembangunan pesantren yang tentu saja ada masjidnya. Proyek ini dibangun oleh kelompok yang lain. 

Alhamdulillah, berarti Lebaran nanti, di desa saya yang luasnya mungkin lebih kecil ketimbang rumah pejabat pajak Rafael Alun jika disatukan, ada empat masjid. Subhanallah.

Banguntapan juga jadi spot yang luar biasa enak untuk membangun sebuah perumahan

Pinggiran Kota Jogja itu harga belinya murah, dibangun hunian oleh pemodal, dijual lagi dengan harga yang gila. Bikin saja baliho, hanya beberapa menit dari kota. Menggoda, saya tarik orang luar Kota Jogja untuk “mencuci uangnya”. Ya, gimana nggak beberapa menit, Giwangan saja jaraknya hanya sak plintengan jaran.

Dari penelitian “Evaluasi Perkembangan Perumahan Terhadap Rencana Detail Tata Ruang (Rdtr) Kecamatan Banguntapan” oleh Kinanti Pitasari pada 2017, diperoleh data bahwa luas seluruh perumahan di Banguntapan sebesar 618.587 meter persegi. Perhitungan tersebut dilakukan menggunakan aplikasi pemetaan ArcGIS dan tidak berdasarkan pengukuran luas secara langsung di lapangan.

Tebak berapa meter persegi yang tidak sesuai dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Banguntapan tahun 2014 hingga 2034? Luasnya 37.052 meter persegi! Itu penelitian 2017. Tentu saja di 2023 ini akan banyak hal baik yang jadi pembenahan. Iya, kan?

Baca halaman selanjutnya….

Jalan rusak yang tetap lestari

Di jalan yang sama dengan proyek pembangunan dua masjid ini, jangan ditanya masalah jalanan berlubang. Ini adalah perihal ketangkasan. Uji SIM bagi warga Banguntapan harusnya jangan di samsat Kota Jogja atau kantor polisi. Sudah, di jalanan ini saja. Yang bisa lolos menghindari lubang, dianggap cakap berkendara dan dapat SIM.

Sayangnya, lolos dari lubang adalah mustahil karena kendaraan besar lalu-lalang tiada henti, truk besar dan kendaraan lainnya. Ribuan kali jalanan diperbaiki, ribuan kali (plus satu) pula akan rusak kembali. Dalam hitungan, hanya satu atau dua bulan saja ketika aspal yang ditambal ndilalah sudah kembali rempal.

Seharusnya, memang harus. Pembenahan dari segi tata kota memang harus dilakukan secepatnya. Agar tidak terjadi konflik horizontal antar-warga yang rasanya lucu sekali jika dibayangkan terjadi di pinggiran Kota Jogja. Seorang penulis lepas, setengah menganggur, memprotes tetangganya yang seorang jutawan karena mesinnya yang berisik. Atau si penulis sekaligus penganggur itu, memprotes pembangunan masjid dan perumahan di desanya. Aneh sekali jika hal ini terjadi.

Kenyamanan hanya sekadar angan-angan belaka

Saya sempat menawarkan rumah saya kepada orang lain untuk ngontrak, syukur-syukur jika ada yang sudi membeli. Bodo amat rumah ini peninggalan almarhum Bapak saya, yang ada di pikiran saya, saya ingin sehat pikiran dan mental. 

Namun seperti yang bisa ditebak, orang gila mana yang mau ngontrak sebuah rumah di pinggiran Kota Jogja yang tetangganya bising, lingkungannya berdebu mulu, dan berpotensi besar untuk mendapatkan penyakit darah tinggi tanpa harus makan sate klathak terlebih dahulu.

Beberapa tahun yang lalu sempat digaungkan bahwa Banguntapan akan dijadikan “kota satelit” bagi Kota Jogja. Ibarat Kota Jogja adalah bumi, Banguntapan adalah bulan. 

Benar saja, seperti halnya bulan, Banguntapan kini penuh dengan lubang, kesepian dan terbang jauh dari angan-angan sebagai tempat membangun hunian yang permai. Dengan harga yang makin melambung dan mahal, kenyamanan hanya sekadar angan-angan belaka.

BACA JUGA Jogja Adalah Kota Paling Sakit di Dunia dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Gusti Aditya

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version