MOJOK.CO – Tahukah kamu, tes urine yang akan dilakukan polisi di kampus-kampus itu program yang salah. Pahami aturannya, jaga dirimu dari ketidakadilan.
Kemarin, 19 Oktober 2022, Polda Metro DKI Jakarta melayangkan wacana nyeleneh ke publik. Mereka akan melakukan tes urine secara periodik atau secara rutin terhadap mahasiswa di DKI Jakarta yang akan dimulai pada November 2022.Â
Untuk melaksanakan program ini, Polda akan menggandeng pihak kampus di DKI Jakarta. Tindakan ini dilakukan Polda, katanya, untuk tujuan mencegah peredaran dan penggunaan narkotika di kalangan mahasiswa.Â
Mukti Juharsa, Direktur Reserse Narkotika Polda Metro Jaya, berharap kampus dapat menjadi barikade sebagai penjaga moral. Ahh, siap banget si paling moral.Â
Kebijakan yang nyeleneh
Kebijakan ini nyeleneh karena dua aspek Pertama, secara hukum, tidak boleh tes urin bersifat wajib apalagi paksa tanpa adanya dugaan tindak pidana narkotika. Kedua, pada praktiknya, justru tes ini memperkuat kriminalisasi dan stigma pengguna narkotika, yang seharusnya diberikan akses kesehatan.Â
Pengambilan sampel tubuh seperti tes urine kerap digunakan dalam perkara tindak pidana narkotika. Khususnya untuk menentukan apakah dalam tubuh seseorang terdapat kandungan narkotika. Namun, sebenarnya, bagaimana sih ketentuan dan batasan pengambilan sampel tubuh seperti tes urine diatur dalam UU No.35 tahun 2009 tentang narkotika?
Tidak boleh seperti yang diwacanakan
Kita semua perlu mengetahui bahwa dalam kerangka kebijakan UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika Pasal 75 mengatur bahwa dalam rangka melakukan penyidikan, penyidik berwenang untuk melakukan tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam deoksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya. Artinya, bahwa tindakan seperti melakukan tes urine secara paksa atau wajib harus dilakukan dalam konteks penyidikan.Â
Kondisi penyidikan tersebut, dalam kerangka tindak pidana narkotika, penguasaan/kepemilikan narkotika harus jelas keberadaannya. Supaya dapat dilakukan tes urine atau pengambilan sampel tubuh lainnya, setidaknya, kita harus telah dalam keadaan menguasai atau memiliki narkotika. Jadi, narkotikanya sudah harus ditemukan.
Dalam Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia, khususnya pada Pasal 7 tentang pencegahan penyiksaan mengatakan bahwa, tidak seorang dapat dijadikan objek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas. Selain itu, dalam kerangka perlindungan hak atas peradilan yang adil, dalam Pasal 14 ayat (3), setiap orang berhak atas jaminan- jaminan minimal. Salah satunya untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah.Â
Harus ada barang bukti
Dalam kerangka tes urine, tes darah, tes rambut, tes asam deoksiribonukleat (DNA), dan/atau tes bagian tubuh lainnya yang dilakukan secara wajib tanpa bukti tindak pidana sebelumnya, akan terjadi kondisi di mana tubuh seseorang digunakan untuk mengkriminalisasi dirinya sendiri. Catat baik-baik, ya.
Pada praktiknya, sering terjadi jika hasil tes urine atau sampel tubuh lainnya dilakukan, justru pengguna narkotika dipaksa untuk menjalani rehabilitasi paksa. Kalau dalam perspektif kesehatan justru tidak tepat.Â
Pada perkembangannya juga ditemukan, BNN menciptakan laboratorium berjalan yang sering digunakan pada razia-razia di tempat hiburan malam atau tempat khusus, kemudian memilih orang-orang yang ada untuk mengikuti tes urine di dalam laboratorium berjalan di mana di dalamnya sudah terdapat petugas medis yang akan menampung dan memeriksa urine tersebut.Â
Hal ini dilakukan berdasarkan Perka BNN No.11 tahun 2018 tentang Pelaksanaan Tes Urine Narkotika untuk Deteksi Dini yang ditujukan untuk masyarakat luas, bukan terbatas pada penyidikan (ICJR: 2017). Padahal, ini tidak boleh dilakukan.Â
Tes urine paksa tidak berperspektif kesehatan
Pemaksaan tes urin tanpa dugaan tindak pidana dan disertai adanya barang bukti narkotika sering menjadi upaya kriminalisasi dan melegitimasi tindakan penangkapan dan penahanan tanpa dasar bagi pengguna narkotika. Selama ini, pada praktiknya, sering terjadi pelanggaran.Â
Ada juga ancaman untuk ditahan untuk kemudian diproses hukum juga dipakai pihak BNN. Hal ini juga berlaku bila orang yang dites tidak mau mengikuti proses pengambilan sampel urine. Praktik lainnya yang kerap juga ditemukan adalah pola yang dilakukan oleh kepolisian dalam beberapa momen aksi demonstrasi (Rumah Cemara :2019).Â
Pemeriksaan urine untuk mengetahui kandungan narkoba kepada puluhan demonstran yang diduga provokator dalam unjuk rasa itu dikhawatirkan dapat mempertebal stigma bahwa konsumsi narkotika selalu identik dengan biang kerusuhan. Masih ingat juga kan pada awal pemberitaan Tragedi Kanjuruhan, para suporter difitnah menggunakan narkotika?Â
Hal ini juga berdampak buruk kepada pengguna narkotika. Praktik seperti ini menyesatkan dan menimbulkan pelanggaran HAM, membuka ruang kriminalisasi orang yang seharusnya diberikan layanan kesehatan.Â
Hal penting yang harus diperhatikan
Tubuh manusia adalah daerah otonom milik seseorang yang tidak dapat diintervensi oleh pihak mana saja termasuk negara. Manusia memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri atau hak otonomi (the right of autonomy). Jadi, kita semua harus memperhatikan beberapa hal terkait pengambilan sampel tubuh baik lewat tes urine, rambut, darah, sekaligus batasan-batasan kewenangan aparat.
Pertama, pelaksanaan kewenangan pengambilan sampel tubuh dalam konteks pengaturan UU Narkotika harus dilaksanakan dengan dugaan tindak pidana dan disertai adanya barang bukti dengan tujuan penyidikan. Nah, ketika dipaksa untuk melakukan tes urin tidak dalam konteks penyidikan, kita semua berhak untuk menolak.Â
Kedua, sekalipun hasil tes urin ternyata positif menggunakan narkotika atau memiliki/menguasai narkotika, bukan berarti harus menghadapi ancaman proses peradilan pidana untuk ditahan, dipenjara, atau dihukum. Setiap aparat penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, dan hakim sudah memiliki peraturan internal untuk menjauhkan pengguna narkotika dari kriminalisasi dan mengedepankan intervensi kesehatan.Â
Hal ini dapat dilihat dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 Tahun 2010, Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2011, Pedoman Kejaksaan 11/ 2021 dan 18/ 2021, hingga kepolisian dengan adanya Perpol 8/2021. Semuanya mengatur bahwa setiap penguasaan narkotika di bawah jumlah gramatur atau batas penggunaan harian, dapat dikategorikan sebagai pengguna narkotika, yang dihindarkan dari pemenjaraan.
Ketiga, dalam konteks lain, pengambilan sampel tubuh perlu adanya informed consent dalam setiap prosedur. Untuk pengambilan sampel tubuh penting diperlukan suatu penjelasan yang sejelas-jelasnya terkait proses dan dampak buruk pengambilan sampel tubuh tersebut (ICJR: 2017).
Tentang informed consent
Informed consent tersebut harus hanya spesifik sebagai prosedur mengetahui penggunaan narkotika. Bukan sebagai legitimasi rehabilitasi paksa atau diancam dengan adanya hukuman. Misalnya, tes kesehatan terbukti darah tinggi, kita tidak lantas dipenjara karena tidak mau berobat, kan?
Semoga penjelasan di atas cukup menjelaskan bahwa tes urine yang akan dilakukan polisi di kampus-kampus itu program yang salah. Pahami aturannya, jaga dirimu dari ketidakadilan.
BACA JUGA Menyoal Slogan War on Drugs dan Hilangnya Perspektif Korban dalam Pertempuran Melawan Narkoba dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Girlie lipsky Aneira Ginting
Editor: Yamadipati Seno