Tempel Sleman, Desa di Pinggiran Jogja yang Justru Mampu Menjaga Warganya Tetap Waras di Tengah Kegilaan Dunia

Tempel Sleman, Desa di Pinggiran Jogja yang Tetap Waras MOJOK.CO

Ilustrasi Tempel Sleman, Desa di Pinggiran Jogja yang Tetap Waras. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COTinggal di Tempel Sleman adalah sebuah berkah. Desa di pinggiran Jogja ini bisa menjaga warganya tetap waras di tengah kegilaan dunia.

Sudah beberapa tahun ini saya menetap di sebuah desa di wilayah Tempel Sleman. Sebuah desa yang berada di pinggiran Jogja (baca: Daerah Istimewa Yogyakarta).

Nama desa tempat saya tinggal mungkin nggak akan muncul di rencana wisata para pelancong. Apalagi wisatawan yang sibuk mencari jalan ke Gunung Merapi, Magelang, atau Kulon Progo. Tapi buat saya, tempat ini bukan cuma soal titik di peta. Desa di Tempel Sleman adalah rumah dalam arti yang paling utuh.

Setiap pagi, begitu saya membuka pintu, udara segar langsung menyambut tanpa perlu langganan bulanan. Udara yang belum kena AC, belum terkontaminasi asal knalpot menjadi kawan yang menyenangkan.

Salah satu yang paling menyenangkan di Tempel Sleman adalah ada aroma rumput baru dipotong. Bau tanah basah sisa gerimis semalam juga begitu mendamaikan hati. Rasanya, desa di Tempel Sleman ini memeluk semua warganya. Desa di pinggiran Jogja ini malah yang paling bisa menjaga warganya tetap waras.

Kehidupan sosial di Tempel Sleman yang sangat menyenangkan

Satu hal yang bikin saya betah di Tempel Sleman adalah pepohonan. Banyak. Dari jambu, mangga, pepaya, kelapa, pisang, sampai pohon yang saya belum sempat googling namanya. Kanan-kiri jalan juga berjajar pohon salak yang menjadi pagar hidup yang sabar menemani. Di Jogja, khususnya pusat kota pohon buah jadi barang langka. Di sini, pohon adalah tetangga.

Nah, saya punya tetangga yang menanam pohon buah pepaya di halaman rumahnya. Pohon itu rajin berbuah dan saya ikut kena berkahnya. 

Sering terjadi, tahu-tahu ada satu buah pepaya matang menunggu di dapur, lengkap dengan ucapan, “Monggo, Bu, pepayane mateng mendadak.” 

Kejadian seperti ini sering terjadi di desa pinggiran Tempel Sleman ini. Seminggu bisa sampai 2 kali. Kadang menyusul kemudian salak, kacang, atau segenggam cabai rawit yang kalau melihat wujudnya sudah terasa pedasnya. Sebuah sensasi yang tidak saya temukan di pusat kota seperti Jogja.

Lucunya, pemberian itu sering muncul tiba-tiba. Nggak ada notifikasi. Tahu-tahu sudah tergeletak di meja. Mungkin tetangga menaruhnya ketika saya sedang pergi atau memang sengaja mengirimnya diam-diam. Yang pasti, ada rasa hangat setiap melihat pemberian itu. Tempel Sleman seperti mengingatkan kalau saya tidak sendirian.

Baca halaman: Keramahan khas Jogja benar adanya…

Keramahan khas Jogja itu benar adanya

Orang bilang keramahan sudah menjadi identitas warga Jogja. Nah, Tempel Sleman menjadi salah satu wujud dari keramahan itu sendiri.

Kalau kita kelihatan butuh bantuan, warga nggak akan banyak bertanya dan langsung turun tangan. Waktu saya pindahan, belum sempat ngomong butuh ini-itu, tahu-tahu ada yang membawakan tikar, beberapa anak muda membantu mengangkat galon. Tidak perlu ada komando untuk sebuah solidaritas di desa.

Dan kalau kita punya anak kecil, wah, makin menjadi kesayangan satu RT di desa Tempel Sleman. Seperti punya segerombolan simbah dadakan yang siap sayang-sayang. 

Contohnya anak saya sendiri. Para orang tua mengajak anak saya main, membelikan jajan, sampai menyuapi buah potong. Bahkan ada yang datang ke rumah hanya untuk bolang, “Anaknya jangan dimandikan terlalu sore, Mbak. Angine nggak enak.” Rasanya seperti punya keluarga besar yang jumlahnya susah dihitung.

Kehangatan itu juga terasa lewat makanan

Dapur saya sering mendadak ramai oleh kiriman hasil masakan atau panen tetangga. Kadang ada sayur lodeh muncul, kadang tempe goreng. Atau yang mentah-mentah seperti sekantong kacang, seplastik cabai, atau salak, muncul juga. Semuanya diberikan begitu saja, tanpa pamrih.

Bisa dibilang, dalam seminggu, saya makan lebih banyak dari “sumbangan” tetangga dibanding hasil masak sendiri. Bukan karena malas, tapi karena budaya berbagi masih kental di Tempel Sleman. Orang desa di pinggiran Jogja ini nggak butuh alasan untuk berbagi. Nggak pakai caption panjang-panjang, cukup dengan ketulusan dan plastik kresek.

Oh iya, soal sinyal. Banyak yang mengira tinggal di pinggiran Jogja berarti harus rela hidup tanpa internet. Eits, jangan salah. Di sini, sinyal stabil. Mau streaming, ya lancar saja. Video call aman, kerjaan daring juga tetap jalan. 

Saya bisa ikut rapat online sambil dengar suara jangkrik dan sesekali teriakan ayam tetangga. Jadi, kalau ada yang bilang desa itu ketinggalan zaman, mungkin belum pernah mampir ke Tempel Sleman.

Sisi gelap yang biasa muncul

Tentu, hidup di desa nggak 100% manis. Kadang-kadang ada juga yang terlalu penasaran, suka menanyakan hal pribadi yang bikin mikir keras nyari jawabannya. 

“Lho, kok belum nambah momongan?” atau “Masih kerja di situ, ya?” Tapi itu bagian dari kehidupan sosial yang, meski kadang menyebalkan, sebenarnya bentuk perhatian juga.

Tinggal di desa mengajari saya bahwa hidup yang baik bukan soal cepat-cepatan. Justru seringnya soal pelan-pelan. Bangun pagi tanpa klakson, kerja santai ditemani suara angin, sore yang bisa diisi ngopi di teras, dan malam yang tenang tanpa deru motor lewat.

Dan setiap kali duduk sambil makan pepaya pemberian simbah belakang rumah, saya merasa bersyukur. Hidup begini bukan bentuk mundur, tapi justru kemajuan menuju hidup yang lebih sadar, hangat, dan cukup.

Soalnya, bahagia kadang cuma perlu udara bersih, tetangga baik, dan sebiji pepaya yang jatuh matang di pangkuan.

Penulis: Fathna Saadati Choliliyah

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Kecamatan Tempel Sleman Tak Cocok Bagi Mahasiswa UGM-UNY Mageran, Terlalu Jauh Buat Nglaju Tapi Terlalu Dekat Untuk Ngekos dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version