Taik Ahok dan Loyonya Anu Partai

Ahok

Ahok

Hari-hari ini jagat informasi di televisi maupun media sosial banyak diisi berita seputar hajat politik DKI Jakarta. Lakon utamanya, Ahok. Lakon yang sangat seksi untuk jualan. Beliau ini memang kontroversial sekali. Satu-satunya pejabat publik yang berani melontarkan taik di siaran live tivi nasional. Emm, maksud saya, tak jijik menyebut taik kalau ada hal yang menurutnya memang layak disejajarkan dengan taik. Menurutmu, apa yang pantas disejajarkan dengan taik?

Taik ini, eh Ahok ini, makin fenomenal ketika beliau memutuskan maju dalam pilkada Jakarta lewat jalur independen. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok memang gayane puuolll. Kalau beliau mau ngalah sedikit saja, PDKT tipis-tipis ke partai, nyang-nyangan seperlunya, pasti banyak yang mau mengusung. Dengan popularitasnya yang tinggi seperti sekarang ini, cuma pengurus partai koplak yang menolak mengantarkan Ahok menikmati empuknya JKT48. Eh, JKT1.

Namun nyatanya, dia memilih independen. Pasti tak sedikit yang membaca langkah politik Ahok itu sebagai bentuk kepongahan. Sombong berlebihan. Pede keterlaluan. Naif yang menjurus goblok.

“Jakarta terlalu besar kalau sekadar diselesaikan satu orang baik sekali pun. Orang baik tak cukup, satu superman tak akan cukup, jadi dibutuhkan partai politik,” kata politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko.

Apa yang dikatakan oleh Budiman Sudjatmiko agaknya memang ada benarnya. Superman seorang, mana mungkin bisa membereskan Jakarta yang banyak bajingannya. Ibu Kota butuh sekumpulan Avenger yang berkolaborasi dengan genk X-Men, beserta Kungfu Panda dan kawan-kawan. Bahkan kalau perlu dibantu sama Wiro Sableng dan Arya Kamandanu.

Oleh partainya Mas Budi itu pula, Ahok dituduh melakukan deparpolisasi. Sungguh istilah yang nggateli. Di Kamus Besar Bahasa Indonesia, deparpolisasi (yang jujur lebih enak saya lafalkan sebagai Deep Purple) artinya pengurangan jumlah partai politik. Tapi dalam khasanah perpolitikan, artinya bisa meluas sebagai upaya menghilangkan kepercayaan terhadap partai politik. Ini serius, agak menggelikan. Karena, tanpa diupayakan pun, kepercayaan masyarakat terhadap parpol sudah menipis.

Virus calon independen memang mengkhawatirkan bagi beberapa penggiat parpol. Gimana enggak? Setengah mati mereka berbohong sana-sini, galang dana lewat pengusaha anu dan ini, mengembangbiakkan kader untuk jadi penguasa, eh malah ada yang tanpa repot-repot berpartai mau menikung. Kan bedebah.

Pada pilkada serentak 2015 lalu, tidak sedikit calon independen yang menang. Seperti di dekat rumah saya, tepatnya di Kutai Kartanegara, calon independen bisa menang 89,43 persen. Beliau Rita Widyasari namanya. Putri pemimpin Kutai yang legendaris, Syaukani HR. Rita sebetulnya ketua DPD Golkar Kukar. Dia kader moncer. Tapi, doski memilih independen karena saat itu Golkar sedang kisruh.

Masih tidak jauh dari rumah saya. Di Bontang, calon independen Neni Moerniaeni-Basri Rase menang dari lawannya yang petahana dan didukung semua parpol di sana, Adi Dharma-Isro Umarghani.

Dan masih banyak lagi contoh lainnya.

Khusus untuk Ahok, perjuangannya tentu bakal menjadi lebih spesial, mengingat Jakarta adalah etalase Indonesia. Jadi jika beliau maju dan menang di Jakarta lewat jalur independen, maka akan banyak calon kepala daerah independen dari daerah lain yang akan terinspirasi. Inilah yang membuat sebagian parpol belingsatan.

Semakin banyak calon independen muncul dan menang di pilkada, bertambah reduplah eksistensi partai politik. Apalagi kalo yang bersangkutan tak mau kompromi dengan kepentingan parpol. Bisa-bisa parpol tinggal menunggu detik-detik kedatangan malaikat Izroil.

Dalam hal ini, kekhawatiran PDIP menunjukkan bahwa ia adalah partai yang visioner (walau sebenarnya, antara visioner dan ketar-ketir kadang hanya beda tipis). Tapi, khawatir saja tentu tidak cukup. Jika tak ingin cepat-cepat gulung tikar alias kukut gasik, sebaiknya PDIP maupun pe-pe lainnya harus segera berbenah.

Bekerja tidak hanya saat ada pemilihan umum. Parpol harus menunjukkan anunya tidak loyo, harus menunjukkan bahwa anunya masih cukup setrong dan masih tokcer melahirkan calon-calon pemimpin yang bisa dipercaya rakyat. Jangan terus beronani bahwa Negara butuh dan bergantung pada gerombolanmu.

Akhirul kalam, ini saran saya buat Ahok, juga teman-temannya. Jikalau engkau hendak terpilih, sentuhlah warga Jakarta tepat di hatinya. Taiknya dikurang-kurangi sampai pencoblosan nanti. Itu perlu, karena belum semua pemilih di Jakarta mengerti pentingnya taik dalam kehidupan umat manusia.

Exit mobile version