Perlahan mengamati fenomena ini, sebenarnya saya masih ingin memilih tuk sabar dulu. Sebab, biasanya, saya langsung koar-koar kalau ada fenomena nggemesin seperti ini. Namun, saat teman saya yang rajin mengunggah status WhatsApp tak lama saat ada tiga dosen dalam satu hari yang menyatakan tidak masuk kelas, sehingga menyebabkan hari itu tidak ada perkuliahan sama sekali, yang berisi curhatan tentang pertanyaan orang tuanya terkait mengapa kok sering tidak ada jam kuliah di kampus, padahal orang tuanya sudah banyak berkorban agar dia dapat menempuh perkuliahan.
Saat melihat status teman saya tersebut, entah kenapa timbul sesak di dada. Tebesit langsung gambaran tentang semangat seorang mahasiswa dalam berkuliah, yang di baliknya ada keringat orang tua dalam mencari nafkah.
Rasa sesak di dada yang kemudian membuat saya tak dapat diam saja melihat penelantaran ini. Hal ini juga membuat saya menolak mentah-mentah ucapan senior pada teman saya terkait aturan “selalu benar”.
Anggapan yang sejak lama sudah keliru
Saya menduga banyak dosen yang beranggapan bahwa mahasiswanya lebih senang kalau mereka tak masuk kelas. Yah, anggapan ini tak sepenuhnya salah sebab memang tidak sedikit mahasiswa yang justru senang apabila dosennya tidak mengajar.
Ada pula anggapan bahwa mahasiswa justru senang jika dosennya tak mengajar. Anggapan ini secara tak sadar datang dari suatu persepsi bahwa kuliah bukan suatu aktivitas yang menyenangkan. Jadi, dia tak merasa ada gairah tulus tuk datang. Keberadaan persepsi ini jelas menandakan adanya problem dalam pola dan metode pembelajaran. Beberapa orang yang penalarannya tidak terlalu dalam mungkin mengatakan bahwa belajar itu memang tidak menyenangkan dan harus penuh kesabaran. Hal ini senada dengan ungkapan “Aku mengajarkanmu kesabaran, supaya kamu memaklumi penindasan yang aku lakukan.”
Belum lagi kalau ada dosen ada yang mengatasnamakan kurikulum merdeka belajar sebagai alasan dia tidak mengajar. Setelah itu dia bilang bahwa mahasiswa harus merdeka dalam belajar. Mahasiswa harus belajar sendiri dan tak boleh menuntut.
Di sini, dosen hanya sebagai motivator. Saat “merdeka belajar” ditafsirkan secara neoliberal, sehingga membuat seorang dosen/guru melepaskan tanggung jawabnya dalam mengajar, saat itulah pikiran mereka remuk dan kurang ajar. Nah, di sini kita perlu memahami bahwa spesies homo sapiens ini tidak tiba-tiba menjadi makhluk yang aneh, jelas ada penyebab-penyebab yang melatarbelakanginya.
Wahai dosen dan mahasiswa, bersatulah!
Salah satu dosen yang sering berdiskusi dengan saya pernah bercerita terkait betapa banyaknya urusan administrasi, tugas-tugas dari kampus, garapan proposal, dan laporan-laporan yang menghantuinya. Dia berkata pada saya “Wah gila, jadi dosen itu padatnya minta ampun, ditekan administrasi sana-sini, belum lagi proposal, kepanitiaan, laporan, dan hal-hal administratif yang membuat kami sulit tuk riset secara serius apalagi berinteraksi intens dengan para mahasiswa. Bahkan tidak sedikit loh dosen yang dibuat mirip sekrup pabrik oleh kampus.” Belum lagi jika mereka punya masalah di rumah dan berimbas ke performa ketika mengajar.
Kita jelas harus memahami pula problem-problem pengganggu mental health para dosen yang melatarbelakangi timbulnya sifat aneh. Tapi tetap saja, sepelik apa pun problemnya, tanggung jawab dalam memberi pengajaran dan pendidikan pada mahasiswanya tidak akan hilang!
Jika kita renungkan, kita menjadi paham bahwa baik dosen maupun mahasiswa sama-sama dijebak problem yang pelik oleh kampusnya. Mahasiswa ingin belajar namun dosennya tidak ngajar, dosennya pengin ngajar tapi kampus menyibukkannya dengan administrasi, ngurus proposal, kepanitiaan, dan seminar.
Menanggapi kepelikan ini, kiranya kita perlu menyatakan seruan lantang wahai mahasiswa dan dosen, bersatulah!!!
Lawan kampus yang “aneh”
Lalu, kita perlu memindahkan predikat “aneh” pada kampus, karena ialah sejatinya dalang di balik hal menyebalkan ini. Kita perlu solid dalam menghadapi problem ini. Bisa dimulai dengan dosen yang jujur akan masalah yang ada (sebab mendidik itu ialah melawan praktik-praktik penindasan), lalu mahasiswa membantu mengadvokasinya. Sebab, bila dosen langsung yang protes pada kampus, mereka rentan tuk disingkirkan dari peradaban karena tak memiliki kekuasaan.
Sementara itu, mahasiswa memiliki posisi unik (sebagai sumber daya kampus) untuk melawan. Kampus adalah “dalang” di balik fenomena menjengkelkan ini. Akankah kita diam melihat tempat belajar kita yang remuk hingga pengetahuan ambruk? Atau kita bersuara lantang dan tidak hanya mengangguk tentu tetap santuy dan diiringi kelangopan.
Tapi, jika ternyata ditemukan bahwa memang dosen itulah yang tidak mau mengajar langsung, maka ialah seremuk-remuknya makhluk, semoga hidayah datang padanya.
BACA JUGA Dosen Abuse of Power Bukan Cuma Masalah buat Mahasiswa dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Mohammad Rafi Azzamy
Editor: Yamadipati Seno