Sodara-Sodara, Jangan Melulu Menunduk dan Bilang ”Iya, Pak,” Kalau Kalian Diomeli

Sodara-Sodara, Jangan Melulu Menunduk dan Bilang ”Iya, Pak,” Kalau Kalian Diomeli

Sodara-Sodara, Jangan Melulu Menunduk dan Bilang ”Iya, Pak,” Kalau Kalian Diomeli

MOJOK.COBanyak dari kita yang tak sadar, bahwa sebagian besar kita kerap hanya bisa nunduk saat diomeli. Padahal kita bisa melakukan lebih dari itu.

Sekira dua hari lalu, perhatian saya kecantol oleh sebuah video viral yang kebetulan mampir secara tak sengaja di beranda sosial media saya. Dalam video tersebut, tampak seorang polisi yang sedang mendamprat habis-habisan seorang lelaki setengah baya karena nekat mengadakan acara arisan di rumahnya yang dihadiri oleh puluhan orang. Hal yang dianggap sembrono di saat kondisi wabah virus corona seperti sekarang ini.

Si polisi, dengan tampang yang tentu saja sangar, atau setidaknya berusaha disangar-sangarkan, memberondong lelaki di depannya itu dengan ujaran kejengkelan yang sporadis. Si lelaki malang itu tampak hanya bisa ciut-mengkerut serupa kerupuk kalengan yang tenggelam di kuah soto. Ia tampak menunduk lesu penuh dengan kepasrahan.

Yang menarik perhatian saya sebenarnya bukan soal kemarahan si polisi atau soal betapa memprihatinkannya keabaian sebagian masyarakat terkait situasi terkini. Saya justru lebih tertarik pada hal yang jauh lebih fundamental dan prinsipil: Kenapa sih lelaki setengah baya itu, atau siapa pun itu harus pasang gestur menunduk lesu saat diomeli oleh orang yang menurutnya punya otoritas di atasnya?

Bagi saya, ini adalah salah satu pertanyaan yang paling penting untuk dikemukakan, utamanya di era post-truth seperti sekarang ini.

Kalian yang sering melihat orang diomeli, pasti biasa mendapati gestur begitu. Nunduk, pasang wajah memelas penuh penyesalan, terus ngomong dengan nada rendah ”Iya, pak (atau Bu, atau Mas, atau Mbak),” sambil ngangguk tipis-tipis. Klise sekali.

Kesannya jadi kayak orang yang sedang khusyuk gitu. Kayak orang yang sedang insaf atau orang yang membulatkan tekad untuk melakukan taubat nasuha dan selepas ini akan bertekad berubah menjadi pribadi yang jauh lebih baik serta bermanfaat bagi bangsa dan negara, takkan mengecewakan orangtua dan agama lagi. Gitu-gitulah pokoknya.

Pada titik yang lebih genting, kadang-kadang, si teromel ini bisa menimbulkan kesan berjarak dengan objek omelan itu, seakan-akan yang diomeli itu orang lain, bukan dia.

Misalnya, nih, dari pengalaman saya sendiri waktu masih aktif jadi pimpinan HRD dulu, saya pernah menguliahi seorang manajer cabang dan supervisornya karena berulangkali membuat kesalahan yang berlarut-larut dan mengakibatkan kerugian bagi timnya sendiri dan perusahaan. Pas diceramahi gitu, sempat-sempatnya si manajer itu nyeletuk, ”Iya, padahal kan nggak boleh ya, Pak, begitu itu…” Lha, kan yang lagi dibahas ini Sampeyan, Purnomooooo.

Selain menunduk, kebiasaan nyahut pasrah. ”Iya, Pak… Iya, Pak…” ini juga agak gimana gitu.

Rasanya kayak, ehm, gimana ya, memang harus banget ya template ngomongnya gitu? Kita yang ngomel bawaannya jadi congkak karena merasa memegang kebenaran mutlak yang tak terbantahkan, atau kalo nggak malah jadi bingung, ini kan kita nggak lagi nanya, tapi kok malah dijawab iya-iya aja.

Padahal kalau dinalar, jawaban “Iya, Pak…” ini kesannya malah bikin si teromel ini kayak lagi membenarkan kesalahannya gitu kalo penggunannya nggak pas. Misalnya gini:

”Bapak tahu akibat dari perbuatan bapak?”

“Iya, Pak.

”Lalu kenapa bapak teruskan saja? Apa bapak tega lihat teman-teman bapak kena imbasnya, hah?”

“Iya, Pak.”

Seakan dianya memang tega merugikan temannya. Atau contoh yang lain deh.

”Masnya apa nggak sayang sama anaknya, kok naik motor jarak jauh begini nggak dipakaikan helm sama jaket, sudah gitu duduknya ditaruh di depan kena angin kencang begini, hah?”

“Iya, Pak.”

Kalo nangkapnya harfiah kan bisa jadi diartikan si mas beneran nggak sayang sama anaknya.

Ah, apakah saya yang mikirnya kejauhan ya?

Tapi mungkin bagi seseorang yang sedang diomeli, jawaban ”Iya, Pak” sambil menunduk itu dianggap sebagai pilihan yang paling netral dan aman. Menunduk sambil bilang “Iya, Pak” itu biasanya juga dijadikan jalan pintas oleh orang yang sedang diomeli agar sesi omelan itu segera berlalu.

Diomongin apa pun, jawabnya “Iya, Pak… Iya, Pak…” Ditanyain ngerti atau ingat apa nggak, jawabnya iya-iya juga.

Padahal kalau yang diomeli itu disuruh jelasin ulang, biasanya ketahuan kalo aslinya nggak terlalu nyimak karena terlalu sibuk meratapi diri dan jawab iya-iya aja.

Lagian ngapain juga sih pake nunduk melas gitu. Palsu banget nggak, sih? Wong, seringnya orang itu menunduk gitu bukan karena menyesal dari lubuk hati terdalam. Seringnya ya karena merasa kalah awu aja sama yang ngomel, soalnya yang ngomel punya otoritas yang lebih besar darinya, entah secara profesional, usia, sosial, atau lainnya.

Coba kalo yang ngomel-ngomel di video viral itu anak tetangga sebelah alih-alih polisi, apakah si bapak empunya rumah itu bakal manut? Ngereken aja paling juga nggak.

Atau, andai ketika menegur manajer cabang dan supervisor tadi status saya adalah anak magang dan bukannya manajer HRD, paling-paling yang terjadi adalah saya bakal diludahi. Bukan soal isi pesannya, tapi atribut soal siapa yang bicara yang dilihat. Sedih, tapi itulah kenyataannya.

Kenapa ya kita jarang sekali menemukan orang yang kalau pas diomeli, dia bisa nggak nunduk, tapi justru menatap mata yang sedang mengomeli?

Sebagai orang yang pernah berkali-kali ngomelin orang, saya pikir, kita harus mulai membiasakan kebiasaan yang bagus ini.

Kontak mata. Membuka dialog. Omelan menjadi bukan hanya menjadi omelan lalu. Yang keluar dari kuping kiri keluar kuping kanan.

Pasti indah sekali rasanya kalau suatu saat, ada polisi yang sedang mendamprat pemotor yang melanggar rambu lalu lintas dan ternyata si pelanggar mengaku salah tapi sekaligus memberikan perlawanan yang argumentatif.

“Kamu ini sudah tahu lampu merah, masih saja nerobos, mau nantangin saya, Kamu?”

“Maaf, Pak. Ini murni kesalahan saya. Saya terburu-buru mau berangkat ke kantor, soalnya hampir telat, jadi tadi saya nekat nerobos lampu merah. Kalau soal mau nantangin bapak, tentu saja enggak. Saya ini nerobos lampu merah karena buru-buru. Kalau ditambah harus nantangin bapak, nanti saya jadi makin telat, Pak. Mikir. Lagian bapak ini polisi, bukan raja di Benteng Takeshi, ngapain ditantang-tantang”

Ah, betapa indahnya. Perkara nanti si pemotor digampar sama polisi, tentu itu bukan urusan saya.

Exit mobile version