MOJOK.CO – Jogja memang melarat, tapi punya salah satu desa terkaya di Indonesia. Namanya Kasongan, sebuah desa yang jadi permata Kabupaten Bantul.
Jogja memang melarat, tapi punya salah satu desa kaya raya di Indonesia. Lokasinya tidak jauh dari pusat kota. Hanya butuh 15 menit melintasi Jalan Bantul. Nanti sebuah gerbang megah dengan patung kuda yang unik menyambut Anda.
Memasuki gerbang itu, berbagai karya seni kerajinan gerabah dipajang. Desa itu bernama Kasongan, permata Bantul yang punya sumbangan besar bagi pertumbuhan ekonomi kabupaten ini.
Kasongan memang kekuatan ekonomi Bantul. Permata yang membuat kabupaten semenjana ini terlihat sedikit indah. Namun, bukan berarti Kasongan Bantul tidak punya sisi gelap.
Di balik gembar-gembor media yang memuja Kasongan, ada serpihan masalah yang hanya terlihat ketika berada di daerah tersebut. Serpihan tajam yang kadang sudah berusia belasan tahun tapi tak tersapu juga. Menanti untuk menusuk dan membuat risih gemerlap pariwisata Jogja.
Berawal dari kasus kuda yang mati
Sejarah Kasongan memang cukup gelap. Pada masa kolonial, ada seekor kuda yang ditemukan mati di sawah sekitar desa. Karena kuda itu milik reserse Belanda, pemilik sawah tadi langsung melepaskan hak atas tanahnya. Takut jika dia yang dituduh membunuh kuda itu dan dijatuhi hukuman.
Kabar kuda mati itu ikut meneror warga lain yang memiliki sawah di sekitar lokasi. Akhirnya mereka ikut melepas hak atas sawah. Akhirnya sawah-sawah tadi diduduki warga dari desa lain.
Lantaran sudah tidak memiliki lahan untuk mencari nafkah, para warga Kasongan mulai mengolah gerabah. Berawal dari peralatan dapur dan mainan, warga Kasongan terus mengembangkan skill kepepet ini menjadi kerajinan bernilai estetik dan menjadi permata Bantul dan Jogja.
Akhirnya mayoritas warga Kasongan Bantul ikut memproduksi gerabah. Terutama setelah 1970, ketika pasar manca mulai melirik gerabah mereka. Konon, patung kuda di sana adalah peringatan dari kejadian sial yang menjadi cikal bakal Kasongan.
Jalanan Kasongan Bantul memang gelap dan berbahaya
Sebelum saya membahas sisi gelap yang lebih kiasan, kita lihat sisi gelap yang nyata. Beneran, Kasongan itu gelap karena minim penerangan. Ketika malam tiba, jalanan di sana tidak ubahnya desa yang sering digambarkan sinetron. Gelap, sunyi, dan cukup berbahaya. Tidak menampakkan kesan kaya raya seperti yang dilansir beberapa media.
Selain gelap, jalanan di Kasongan juga rusak, khas Jogja. Salah satu sumber kerusakan menurut warga adalah tingginya intensitas truk yang melintas. Kendaraan besar yang menggerakkan industri gerabah bernilai milyaran ini. Beberapa lubang bahkan cukup besar sehingga bisa membuat ban motor pecah. Salah satu korbannya adalah saya sendiri.
Situasi ini memang kontras dengan predikat Kasongan Bantul sebagai salah satu desa kaya raya di Jogja. Pemerintah setempat juga terkesan abai dengan situasi ini. Padahal desa tersebut adalah motor penggerak ekonomi Bantul. Tapi seperti diabaikan, tidak ada proyek megah mempercantik desa. Bahkan untuk sekadar memperbaiki jalan serta menambah lampu penerangan.
Baca halaman selanjutnya: Sisi gelap di balik narasi indah tentang Kasongan dan pariwisata.
Pariwisata Jogja memang membangun, tapi juga mengancam
Cukup sulit untuk memahami sisi gelap desa ini dengan kasat mata. Karena perkara geger gedhen, Kasongan masih kalah kondang dengan Kapanewon Kasihan di sebelah utara. Tapi di balik ketenangannya, ada bisik-bisik keresahan dengan status desa ini sebagai desa wisata di Jogja.
Salah satu rekaman dari keresahan ini adalah penelitian bertajuk “Multiplier Efek Kampung Industri Kasongan”. Penelitian ini merekam persepsi masyarakat tentang dampak dari predikat desa wisata pada kehidupan masyarakat Kasongan.
Sebenarnya, dampak negatif pariwisata cukup mirip di berbagai daerah di Jogja. Dari gerusan budaya sampai masuknya budaya konsumtif.
Namun, menjadi ancaman lebih besar bagi Kasongan yang daya tariknya adalah budaya lokal. Individualisme dan konsumerisme yang tidak senada dengan budaya lokal ini makin mengancam. Acara budaya kini bukan lagi kehidupan masyarakat, namun sekadar prosesi penarik wisata.
Dampak lainnya adalah Kasongan Bantul terlalu tergantung pada pariwisata dan industri kreatif. Maka, desa ini menjadi rentan ketika sektor ini terguncang seperti masa pandemi. Pertumbuhan desa wisata dan objek wisata lain di Jogja juga mengancam Kasongan. Maka wajar jika desa ini sering mengalami penurunan kunjungan pariwisata.
Kasongan Bantul Menyongsong gentrifikasi, atau sudah jadi korban?
Meskipun jalan dan kehidupannya gelap, Kasongan tetap menarik bagi banyak orang. Nuansa pedesaan yang artistik membuat desa ini dilirik banyak wisatawan, terutama mancanegara. Daya tarik ini jelas membawa kebaikan. Namun di belakangnya, ada ancaman yang selalu mengintai daerah dengan potensi seperti ini.
Gentrifikasi makin nyata bagi masyarakat. Bahkan desa terkaya ini tetap mengalami dampak negatif dari masuknya modal besar yang menguasai properti di sekitarnya. Pertumbuhan nilai properti di Kasongan sudah tidak terbendung. Diikuti pertumbuhan villa dan guest house yang dikuasai pemodal luar Jogja.
Meskipun menjadi desa terkaya, tidak seluruh penduduk Kasongan dan sekitarnya punya kapital yang kuat. Kelompok ini sering terlewatkan. Penduduk kelompok ekonomi lemah ini yang pelan-pelan tergerus dengan kehadiran investor properti.
Mungkin terkesan positif di mata investasi. Penduduk kaya Kasongan Bantul bersandingan dengan investor demi mengembangkan desa. Namun setiap ada pengembangan, ada juga yang ditebas. Pada akhirnya, Kasongan akan tetap jadi desa terkaya. Dengan memangkas kelompok miskin dari dalamnya.
Tapi Anda tidak akan melihat masalah seperti ini dengan mudah. Kasongan sudah dibalut berbagai narasi indah dan cerita desa kaya raya di Jogja. Namun, ia tetap menyimpan sisi gelap. Hanya mata yang tak silau pada kisah-kisah indah yang mampu melihat. Kasongan tetap gelap. Baik jalannya, ataupun kehidupan di dalamnya.
Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA 4 Jalan Berbahaya di Bantul yang Nggak Disadari Banyak Pengendara dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.