MOJOK.CO – Bukan jadi astronot saja Siman di film ‘The Science of Fictions’ bisa ditafsirkan. Bisa jadi representasi macam-macam lho dia nih.
Gunawan Maryanto sang pemeran utama pria dalam film The Science of Fictions (Hiruk Pikuk Si Al-Kisah) memenangi Piala Citra di Festival Film Indonesia 2020. Dengan catatan, beliau berakting dalam film garapan Yosep Anggi Noen ini tanpa dialog.
Ini mengingatkan kita kepada Limbad yang menjuarai The Master Season 2, ajang pencarian bakat magician tanpa pernah berkata-kata.
Pertanyaannya, diam saja bisa jadi juara, gimana kalau banyak bicara?
Nyatanya, yang banyak berkata-kata bisa berbeda dengan yang dikerjakannya. Semisal mantan Menteri Sosial dan Menteri KKP yang ditangkap KPK.
Di podcast Deddy Corbuzier sih kedua pesohor itu pandai beretorika, bikin beberapa smart people jadi simpati. Eh, ujungnya akrobat mereka bikin malu yang ngundang ke podcast.
Cuma ngundang ke podcast aja Om Deddy merasa nggak “smart” lagi, gimana yang melantik coba?
Dalam film The Science of Fictions, tokoh utama bernama Siman menyaksikan syuting pendaratan manusia di Bulan yang dilakukan oleh kru asing. Ternyata Neil Armstrong tidak benar-benar mendarat di Bulan, melainkan mendarat di Bantul, Yogyakarta.
Howalah, pantas aja dulu ada cerita Neil Armstrong sempet dengar suara azan dan masuk Islam. Hm, masuk akal juga.
Gegara jadi saksi konspirasi, Siman pun dibisukan dengan dipotong lidahnya oleh alat penguasa. Namun, Siman tidak menyerah. Walaupun telah mengistirahatkan kata-katanya, Siman coba membuktikan kebenaran dengan beragam cara.
Dari mulai membangun replika roket dari rongsokan mesin cuci, sampai berlagak seperti astronot. Lengkap dengan kostum ala antariksawan dan helm tukang las.
Trauma berat membuat Siman bergerak serba lambat dalam setiap aktivitas kesehariannya. Bagaikan manusia berjalan di atas permukaan Bulan. Makan-minum, lambat. Pas kerja jadi kuli, tetap lambat. Joget, masih lambat juga. Sudah seperti seleb TikTok bikin video slow motion.
Misi dari istikamahnya Siman menirukan astronaut adalah memberi tahu warga kampungnya bahwa pendaratan manusia di Bulan adalah kebohongan. Namun, masyarakat malah menjadikan Siman sebagai bulan-bulanan, bukan pembawa pesan kebenaran. Aksi Siman hanya sebatas hiburan dan dijadikan tontonan warga belaka.
Di kehidupan nyata, ada yang namanya Aksi Kamisan. Para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), selaiknya Siman, melakukan aksi di bawah payung hitam di depan Istana Negara setiap Kamis sore. Gerakan ini bertujuan menuntut pihak berwenang untuk mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM di negeri ini yang belum selesai.
Namun, seperti kita tahu, negara masih bungkam dan penguasa belum bisa menyelesaikan PR-nya. Sementara Aksi Kamisan masih terus berjalan. Kemungkinan isu HAM akan terus dijadikan “gorengan” politik oleh para elite untuk meraih kekuasaan.
Alih-alih astronot, Siman yang bergerak lambat malah seperti sedang menirukan penguasa. Diceritakan Siman selalu konsisten bergerak bagai siput, kecuali perkara uang dan perempuan. Sebelas-dua belas dengan gimik yang rutin dibawakan pelawak senior Haji Bolot.
Haji Bolot yang berseragam ala pejabat selalu tidak nyambung tiap diajak ngobrol oleh Malih yang mewakili rakyat jelata, terkecuali untuk urusan duit dan cewek.
Ketika uangnya dimaling orang, ternyata Siman bisa berjalan cepat untuk melabrak si pencuri. Begitu pula ketika menyalurkan birahinya dengan wanita penghibur yang diperankan oleh Asmara Abigail, cepet banget.
Saking cepetnya, mungkin Dokter Boyke bisa menyebut Siman sebagai Edi Tansil. Astronot yang tidak bisa petik bintang, akhirnya realistis dengan “petik mangga”.
Bukankah kelakuan Siman itu sama dengan penguasa yang lamban dalam bekerja, tetapi gercep kalau urusan nilep uang negara dan kencan dengan sugar baby?
Jangan-jangan adegan yang sebenarnya Siman lihat itu bukan pendaratan manusia di Bulan. Melainkan penanganan pandemi di Indonesia oleh pemerintah yang lambat dan lamban.
Namun, tantangan terbesar dari pengalaman menonton The Science of Fictions adalah kita tidak benar-benar tahu kebenaran versi siapa yang sesungguhnya terjadi? Apakah NASA atau Siman? Soeharto atau PKI? Polri atau FPI?
Dulu, siapa yang memegang kamera adalah pihak yang mampu membuat sejarah. Sampai-sampai kita tidak tahu apakah sejarah yang kita baca dan tonton adalah fakta, ataukah hanya propraganda rezim yang berkuasa?
Kini, kamera bisa ada dalam genggaman setiap orang. Semua orang bisa membuat ceritanya sendiri, entah nyata atau fiktif belaka. Pemain TikTok saja bisa membuat video viral tentang kehidupan percintaan seseorang yang ditinggal menikah mantan, padahal rekayasa wal fiksi.
Walaupun sekarang kamera bukan benda eksklusif para elite lagi, penguasa tetap bisa membisukan rakyatnya. Entah dengan membatasi akses media sosial saat ada aksi massa, bikin internet lambat di atas tanah ulayat secara semena-mena, atau mengirim simpatisan untuk menuntut pakai UU ITE yang serba-guna.
Dan kalau sudah begitu… jangan-jangan, kita ini yang jadi Siman-nya?
BACA JUGA Pemerintah Kita Sudah Kacau sejak Istilah dan tulisan menarik Haris Firmansyah lainnya.