MOJOK.CO – Ketika seseorang bilang “ana-antum”, stigma yang muncul adalah: orang sok paling syar’i, paling suci, tukang kapling surga, atau kadrun-wanna-be.
Mungkin tidak banyak yang tahu Natalie Portman dan Shakira adalah di antara dua selebritas dunia yang mampu berbahasa Arab. Keduanya adalah polyglot alias orang yang menguasai beberapa bahasa.
Di YouTube, kamu bisa mendengar pemeran Matilda di film Leon: The Professional itu bicara bahasa Ibrani; ada juga cuplikan Shakira bilang “syukron” seperti ukhti-ukhti kepada akhi-akhi baik hati.
Belajar bahasa adalah belajar memahami manusia. Semakin banyak seseorang mempelajari bahasa, semakin tinggi pulalah pemahamannya terhadap manusia. Duh, terdengar klise banget, tapi emang gitu yang saya rasakan.
Oleh karena itu, saat ada orang yang bersemangat belajar atau coba-coba bicara berbagai bahasa, ya semestinya kamu apresiasi. Termasuk orang-orang yang sedang belajar bahasa Arab sepotong demi sepotong, lalu sedikit-sedikit mengatakan ungkapan berbahasa Arab, baik saat percakapan langsung atau via chat.
Ketika ada seseorang berbicara “ana” atau “antum”, stigma yang sering muncul adalah: sok paling syar’i, paling suci, tukang kapling surga, atau “kadrun”. Sumpah, istilah terakhir itu mestinya dilempar ke kloset aja. Menghina sekali.
Apalagi menggeneralisasi bahwa orang yang dikit-dikit ngomong ana-antum, syukron, syafakillah, dan ungkapan-ungkapan Arab lalu dilekatkan stigma sebagai orang yang sok alim.
Alih-alih berburuk sangka, ada baiknya kamu justru memberi apresiasi. Nggak mudah lho memiliki keberanian untuk ngarab ketika orang-orang lebih doyan keminggris.
Perkara apakah mereka yang dikit-dikit ngomong bahasa Arab itu murni niatnya sedang membiasakan diri berbahasa Arab atau mau sok-sokan saja, hendaklah hal itu nggak usah dipusingkan. Biar aja itu jadi urusan masing-masing.
Lagian, nggak bisa juga kamu secara sembrono kasih vonis orang yang suka bilang ana-antum sebagai orang yang tidak cinta bahasa Indonesia. Hanya karena seseorang mengucapkan jazakallahu khairan atau syukran kepadamu, bukan berarti ia tidak tahu cara mengucapkan terima kasih.
Kenapa saya bisa memahami ini, karena saat SMA, saya masuk di Jurusan Bahasa dan fokus mempelajari bahasa Arab. Di sana, teman-teman saya yang penguasaan bahasa Arab-nya bagus kebanyakan juga bagus soal penguasaan bahasa Indonesia.
Lagipula nggak ada pula di kelas saya tiba-tiba orang yang coba membiasakan pakai Bahasa Arab, lalu jadi keceplosan di percakapan sehari-hari tiba-tiba dilabeli “Ealah, dasar pemegang kunci surga!” karena dianggep sok-sokan.
Kalau orang-orang mengatakan thx, thank u, tengs, thanks, dan semacamnya kamu maklumi, lantas apa salahnya orang-orang yang mengucapkan syukron?
Begitu pula soal guys/gaes, bro/sis, OMG/o-em-ji. Apa salahnya kalau diganti dengan akhi-ukhti dan astaghfirullah?
Padahal orang-orang yang suka memberi label secara brutal ke orang yang sedang ngarab adalah orang-orang yang sebenarnya tahu kutipan terkenal Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia: “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”
Kalau kamu bisa bersikap adil kepada orang-orang yang suka keminggris, njawa, nyunda, dan sebagainya, kenapa harus sinis kepada yang ngarab?
Padahal bahasa Arab bukanlah barang asing di Indonesia. Ia bukan bahasa Swahili dan bahasa Kazak. Banyak kosakata Indonesia diserap dari bahasa Arab.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) itu semuanya terdiri dari kata-kata yang berpangkal bahasa Arab. Majelis, musyawarah, rakyat, dewan, dan wakil. Dari Bahasa Arab semua ituuuh.
Kalau kamu belum puas, kamu bisa melihat daftar kosakata bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Arab di Wikipedia. Bukan tidak mungkin sebenarnya kamu yang masih julid terhadap orang-orang yang ngarab secara tidak sadar juga terbiasa ngarab.
Hubungan bahasa Arab dan bahasa Indonesia erat banget kayak Pak Luhut sama Pak Jokowi. Apalagi mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam—agama yang pakai bahasa Arab dalam penyampaian ritus dan ajaran agamanya.
Jadi, bakal terasa diskriminatif jika bersikap sinis terhadap orang-orang yang suka ngomong “ana-antum”. Alih-alih menjulidinya, lebih baik kamu koreksi kebahasaan mereka—kalau kamu memang memiliki pengetahuan yang lebih baik soal bahasa Arab.
Kalau kamu sendiri tidak pernah mempelajari bahasa Arab dan tiba-tiba saja berteriak lantang mengomeli orang-orang yang lagi ngarab, yang harusnya dipertanyakan itu ya orang-orang kayak kamu.
Toh, apa salahnya orang membiasakan diri lancar bahasa Arab?
Adapun kalau orang-orang yang ngarab itu kebetulan kasar, suka tiba-tiba menasihati tanpa diminta, bahkan menyesat-sesatkanmu… ya yang dikoreksi itu sikapnya, bukan caranya berbahasa dong.
Memangnya kamu pernah denger, ada orang berbahasa Indonesia, lalu karena orang ini sok pinter dan berlagak tengik, masak saya harus marah-marah dengan pilihan bahasanya?
“Ealah, anak banyak gaya aja sok-sokan pake bahasa Indonesia! Nggak pantes elu pake bahasa Indonesia!”
Itu namanya bukan sebel sama sikapnya, tapi emang dari sononya udah benci karena kemakan sama stigma. Mau pakai bahasa aja apa kek, namanya udah nggak suka ya nggak suka aja. Nah, di situlah benih-benih diskriminasi bakal muncul dan menjadikanmu sebagai agen moderat-radikal.
Ngakunya moderat, etapi radikal juga. Sama-sama bikin masalah aja akhirnya.
BACA JUGA Kontroversi ‘Ya Tabtab’ Nissa Sabyan dan Ironi Definisi Lagu Religi atau tulisan Erwin Setia lainnya.