MOJOK.CO – Sebutan “kanca wingking” mengesankan bahwa istri tidak memiliki peran penting setara dengan suami dalam rumah tangga. Padahal, tidak juga tuh.
Sebagai perempuan Jawa, saya mengenal ungkapan “kanca wingking” yang biasa disematkan kepada para perempuan. “Kanca” yang berarti teman dan “wingking” yang berarti belakang. Ungkapan itu menggambarkan kehidupan perempuan Jawa yang tidak bisa dipisahkan dari urusan “belakang”, belakang yang dimaksud itu dapur, kasur, dan sumur.
Ungkapan ini dirasa membawa kesan negatif pada diri perempuan sebagai bentuk penindasan dan penderitaan. Bahwa perempuan atau istri memang bagiannya masak, manak, dan macak. Tugas domestik yang seabrek itu adalah pekerjaannya istri.
Selain itu, ungkapan kanca wingking juga mengesankan bahwa istri tidak memiliki peran penting setara dengan suami dalam rumah tangga. Istri harus sepenuhnya manut suami, maka muncul juga istilah surga nunut neraka katut. Posisi istri seperti dinomorduakan atau lebih rendah dari suami sang pemimpin keluarga.
Pelekatan ungkapan berkesan negatif ini membuat sebagian perempuan tidak terima. Mereka merasa harus diakui keberadaannya, tidak hanya di belakang sebagai kanca wingking, tapi mesti mendapatkan kesempatan yang sama untuk tampil di depan. Istri bukanlah seseorang yang hanya di belakang dan tidak penting, tetapi harus berada di samping suami membersamai suami dalam setiap langkahnya. Walah ini kok jadi ngomongin depan belakang samping, ini apa tho jane.
Tidak salah perempuan beranggapan seperti itu. Merasa ungkapan kanca wingking membuat mereka merasa tertinggal, menderita, dan tertindas. Namun demikian, bukannya tidak menjunjung semangat emansipasi nih, tapi kok saya tidak merasa seperti itu ya?
Ya memang sih, semua kembali lagi bagaimana kita memaknai ungkapannya. Menjadi kanca wingking bukan berarti kita tidak punya peran, justru dari wingking itulah perempuan memegang kunci perjalanan sebuah rumah tangga. Layaknya sutradara film yang kerjanya di balik layar, tidak terlihat tetapi memegang peran penting dalam proses pembuatan film.
Dapur memang tidak bisa dipisahkan dari perempuan. Mau kamu demo berjilid-jilid menuntut perempuan tidak harus pandai memasak, kamu tetap harus legowo menerima bahwa memang perempuan itu erat kaitannya dengan masak-memasak.
Bagi kamu yang menganggap nguplek di dapur adalah bentuk penindasan dan membuatmu merasa rendah, mungkin kamu saja yang salah memahaminya. Memasak bukan hanya aktivitas mengiris, meracik, merebus, atau menggoreng, dibutuhkan kedetailan lho dalam prosesnya untuk menciptakan mahakarya masakan.
Berapa sendok takaran gula dan garam, berapa banyak kecap, berapa biji ketumbar, jumlah daun salam, panjang pendek lengkuas, bentuk dan ukuran pemotongan aneka sayur, komposisi air dan tepung untuk adonan mendoan, keseimbangan kandungan gizi dalam menu, dan seterusnya, itu semua membutuhkan skill ketelitian dan kedetailan yang dimiliki perempuan, wahai saudariku tersyantik.
Memastikan semua anggota keluarga cukup nutrisi dan tidak kelaparan itu sungguh mulia. Masa kamu mau merasa direndahkan untuk urusan krusial seperti ini? Lebih jauh yang berkaitan dengan hati, dapur adalah tempat keluarga pulang. Orang-orang pulang kampung beralasan merindukan rumah.
Akan tetapi, jika ditelisik lagi, yang mereka rindukan itu sejatinya adalah dapur alias masakan rumahan bikinan ibu. Waktu kita masih sekolah, setiap pulang sekolah sebelum nyandhak yang lain-lain, kita akan mencari ibu di wingking sambil bertanya, “Masak apa, Bu?”
Begitu melihat di meja makan ada menu favorit kita—meski masakan sederhana—tapi sungguh menggiurkan karena bikinan ibu. Ketika kita merantau dan suatu waktu pulang, kita njujug dapur untuk bernostalgia dengan masakan ibu. Di meja makan, kita berkumpul dengan anggota keluarga lain yang telah terpencar karena pendidikan, bekerja, menikah, dan lainnya.
Dapur adalah tempat terhangat di rumah. Bukan karena ada kompor di sana, tapi karena ada ibu yang ngglenuk memasak untuk menghidangkan menu favorit suami dan anak anaknya dengan cinta. Dan meja makan adalah sudut yang menyatukan anggota keluarga lewat denting sendok dan garpu yang beradu dengan piring. Dapur dan meja makan juga adalah tempat paling riuh di mana keluarga menikmati makan bersama sambil bercerita dan tertawa-tawa. Dapur juga tempat paling romantis karena di sana ibu melantunkan doa-doa yang dipercikkan dalam bumbu yang diuleg, tempe yang digoreng, sayur yang diaduk, dan di setiap tahapan memasak.
Kalau kamu adalah sebagian yang merasa tidak bahagia berada di dapur dan merasa memasak bukan duniamu, ya tidak ada salahnya juga kalau kamu mengangkat asisten rumah tangga dengan berbagai alasan. Tapi toh mau kamu punya berpuluh ART kayak selebritis, tetap saja kamu harus sesekali cek ke dapur untuk memastikan semua berjalan sesuai perencanaanmu.
Bukannya memaksamu menguasai dunia masak-memasak layaknya Bu Sisca Soewitomo junjungan buibu, melainkan untuk mengajakmu mengubah pemaknaan agar kamu tidak merasa direndahkan karena aktivitas di dapur. Seperti studio pribadi milik musisi, dapur juga tempat kita menghasilkan karya-karya masakan yang moknyus.
Urusan berikutnya yang berhubungan dengan wingking adalah kasur. Kalau yang ini sih di-skip aja. Ya masa untuk urusan ranjang kamu butuh asisten sih.
Hal berikutnya yang dikaitkan dengan “belakang” adalah sumur. Yang dimaksud adalah aktivitas cuci mencuci seperti cuci piring dan cuci baju. Untuk aktivitas yang ini sepertinya tidak terlalu membuatmu ingin demo berjilid jilid seperti yang kamu rasakan tentang memasak.
Ya bisa dimaklumi karena cuci mencuci zaman sekarang tidak serempong dulu yang harus timba air dulu dari sumur. Di dapur zaman kini sudah dilengkapi set tempat cuci piring. Sambil masak bisa sambil cuci piring. Hal ini mudah saja bagi perempuan yang secara alami memiliki kemampuan multitasking. Bahkan ada yang punya dish washer.
Untuk urusan cuci baju juga sudah ada mesin cuci. Sambil umbah-umbah bisa sambil maskeran. Maksud saya untuk urusan sumur ini sudah tidak begitu merepotkan karena ada bantuan teknologi. Kamu bisa menggunakan bantuan teknologi yang ditawarkan perkembangan zaman ini untuk membantu meringankan tugas domestik umbah-umbah dan isah-isah.
Pemaknaan kanca wingking yang lebih bersahabat juga dipengaruhi oleh pasanganmu. Maka sebelum menerima pinangannya, pastikan calon suamimu punya pandangan yang sama denganmu tentang peranmu sebagai istri. Apakah kamu memilih tetap bekerja atau full time mengurus rumah tangga, kamu dan pasanganmu perlu membuat kesepakatan tentang pembagian tugas domestik, apalagi jika kalian memutuskan tidak mempekerjakan ART di rumah.
Jadi sebelum menikah, jangan hanya membahas bagaimana gaunnya, bridal shower-nya, foto prewedding-nya, kamu juga perlu mendiskusikan dengan pasanganmu bagaimana peran dan pembagian tugas suami istri di rumah.
Pastikan dia bukanlah patriarkis garis keras, yang dimintai tolong menjemur atau menggendong anak saja sudah merasa dunia kebalik. Harap dicek dulu calon pasanganmu adalah seseorang yang mau ikut mengerjakan pekerjaan rumah, misalnya ketika kamu baru saja melahirkan dan mengurusi bayi, atau saat kamu sedang sakit.
Seseorang yang mau berbagi tugas meskipun tidak 50:50. Kalau kamu menuntut pembagian tugas 50:50 ya memang susah sih kayaknya, Sis. Begitu pula kalau kamu menuntut dia menaati SOP-mu secara mutlak dalam menyelesaikan tugasnya.
Dalam urusan menyapu lantai rumah misalnya, standar “bersih”-mu dan suamimu jangan disamakan. Kalau menurutmu hasil kerja suami belum memenuhi standarmu secara sempurna jangan ngomel-ngomel, Sis. Nanti malah dia nggak mau bantu kamu lagi, jadinya kamu malah tambah ngomel.
Selain mengubah cara memaknai perempuan sebagai “kanca”-nya “wingking”, ajaklah suami atau calonmu untuk memaknai istri sebagai “kanca wingking”-nya. Temannya di belakang. Iya teman, kalau katanya Tulus “teman hidup”.
Teman hidup itu ya bisa di belakang, depan, samping, dan seluru penjuru mata angin. Di belakang, bisa di dapur atau di taman belakang, istri menjadi teman suami ngeteh atau ngopi sambil memandangi aneka bunga dan sayur yang kalian tanam. Atau menjadi kanca wingking-nya menikmati setiap lembar halaman buku sambil mendengarkan rinai hujan.
Memaknai ulang ungkapan kanca wingking memang bukan hanya dari sudut pandangmu sebagai istri, tapi juga pandangan suamimu. Bagaimana kalian berdua menyepakati bersama makna kanca wingking agar kamu sebagai istri tidak merasa tertindas, menderita, dan rempong sendiri.
Maka perlu ada obrolan bahkan sebelum menikah. Zaman telah berkembang, ada ruang untuk berbincang di antara kalian. Nah, semoga pasanganmu adalah seseorang yang berhati lapang, yang tidak merasa pantas berbuat semena-mena dan ongkang-ongkang saja.
Sebab posisi depan bukan penanda derajat anak tangga lebih tinggi, sebagaimana wingking atau belakang, bukan penanda derajat lebih rendah. Memasak, mengurus anak, atau bersih-bersih itu sama nilainya dengan suami yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarga. Semua sama. Setara.
Kesetaraan tidak melulu berbentuk secara material, melainkan bisa juga dari kesetaraan nilai. Dan itu emansipasi yang sebenar-benarnya bagi perempuan Jawa seperti saya.