Saya Sadar Saya Jelek, dan Itu Sama Sekali Bukan Masalah

jelek

MOJOK.COMenjadi jelek adalah satu dari sekian banyak cobaan hidup. Dan saya sudah berurusan dengan cobaan ini sejak kecil.

Membaca tulisan Mbak Kalis Mardiasih soal bullying fisik yang ia terima saat live di Instagram, mau tidak mau memang membangkitkan kenangan dan pengalaman saya soal pem-bully-an.

Sebagai seseorang yang memiliki kriteria jauh dari standar kecantikan alias jelek, saya dan bullying itu sudah selayaknya seperti mendoan anget dan cabe rawit. Tak terpisahkan. Keduanya seperti harus dibaca satu tarikan napas.

Lahir dengan kulit sawo matang cenderung busuk serta bibir berwarna hitam alami, memang membuat saya merasa sangat minder. Terlebih lagi, saya memiliki delapan orang sepupu cewek yang ndilalah berparas cantik dan berkulit cerah. Berada di tengah-tengah mereka, saya berasa seperti seekor ayam cemani di tengah kerumunan angsa.

Rasa inferior saya makin berkembang saat dua gigi depan saya tumbuh dengan sangat tidak sopan dan tidak estetis alias maju ke depan. Ia menerobos batas-batas PSBB pergigian yang sudah disusun berdasarkan konsensus ke-estetika-an umum.

Betapa saat itu rasa percaya diri saya ambles ke bawah tanah saat mendengar olok-olokan teman-teman sekolah. Saking seringnya olok-olok itu mampir, saya sampai punya cita-cita agar kelak setelah kerja dan punya uang banyak, saya bakal pakai kawat gigi.

Ibu saya sering menghibur, tak mengapa menjadi orang jelek. Toh itu sudah pemberian Tuhan. Disyukuri saja. Masih mending punya anggota tubuh normal (walau dengan otak yang agak lemot dan hati yang gampang ambyar).

Kalimat penghiburan Ibu memang mampu memberikan sejumput ketenangan. Namun tentu saja tidak lantas membuat self-esteem saya meningkat. Tidak. Saya masih sering di-bully saat sekolah. Dipukuli dan ditendang oleh oknum-oknum siswa badung tak tahu diuntung saat SD.

Dikatai jelek sudah menjadi semacam lauk-pauk saya sehari-hari.

Ketika SMA, olok-olok itu tak jua minggat. Saya sering bolak-balik masuk ruang BK karena saya berduel dengan kawan yang mem-bully saya. Rasa inferior saya yang tinggi sukses berjalan lama, disponsori oleh wajah yang jelek dan kemiskinan keluarga, tentu saja.

Saya hidup dalam labirin gelap itu. Setiap hari mengutuk Tuhan dan selalu mencoba mempertanyakan kenapa Ia memberikan saya wajah yang begini. Saya sibuk membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Iri dengan apa yang orang lain punya. Menunduk saat ketemu cowok karena malu. Tidak suka berfoto karena takut lihat hasilnya. Tidak suka lihat cermin. Tidak suka berjalan bersama cewek lain yang cantik karena takut dibanding-bandingkan.

Di labirin gelap itu, saya menyimpan banyak dendam.

Waktu berjalan. Tuhan kemudian mulai berbicara kepada saya melalui buku-buku. Saya membunuh sepi dengan membaca banyak buku di perpustakaan SMA. Banyak quotes-quotes yang menguatkan mental saya, tak terkecuali quotes-nya Tere Liye. Saya mulai menulis, mengikuti banyak lomba, dan nama saya mulai dikenal di sekolah.

Saya mulai dihargai dan menjadi anak kesayangan guru-guru. Terlebih lagi, saat salah satu cerpen saya dimuat di Majalah Horison dan menambah nilai akreditasi sekolah.

Jalan saya menuju bangku perkuliahan pun terbilang mulus. Saya diterima SNMPTN dengan beasiswa Bidikmisi.

Sedikit demi sedikit, ada secercah cahaya di labirin gelap tadi. Saya merasa saya pintar, tokcer, dan berbakat. Lama-lama saya menjadi pribadi yang kebas terhadap hinaan. Kalau ada yang menghina, hinaan itu lebih sering saya buang ke tempat sampah.

Saat kuliah, rasa inferior dan insecure memang saja masih ada. Namun, beruntung, saya berada di lingkungan yang suportif. Saya memiliki banyak teman dan kenalan. Sedikit demi sedikit, hidup semakin terasa menyenangkan. Setelah beberapa lama proses dan rangkaian penolakan dalam diri, membaca buku, dan mengikuti diskusi, merenung berjam-jam sambil boker, tibalah saatnya ke tahap penerimaan diri.

Sekarang, saya sudah sampai di tahap: saya sadar saya jelek dan itu nggak apa-apa. Saya masih mencintai diri saya sendiri. Atau bahasa londonya: I knew that I am ugly, but that’s really okay. I still love myself so much!

Menyadur perkataan salah seorang teman, yang agak nggak jauh beda dengan apa yang dulu pernah dikatakan oleh ibu saya: nggak apa-apa kita punya muka jelek. Toh bukan kita yang bikin desainnya. Kita sama sekali nggak salah dalam hal kejelekan ini. Kita tidak perlu menanggung rasa bersalah dan insecure dengan bentuk muka ini. Toh saat tahap pendesainan, kita sama sekali tidak dilibatkan. Kita tidak pernah diajak urun rembug. Kita hanya terima beres.

Kita pun tak bisa memilih siapa orang tua kita dan gen yang diturunkan kepada kita.

Menerima apa yang sudah diberikan oleh Tuhan adalah hal yang hebat, dan mensyukurinya adalah hal yang luar biasa.

Saya mencoba mengikuti jalan itu. Mencoba menerima dan mensyukuri tampang saya yang jelek lagi heroik ini.

Lagipula, kalau dipikir-pikir, banyak keuntungan menjadi orang jelek. Kita nggak perlu repot-repot memilih teman yang benar-benar tulus. Selain itu, kita juga lebih bisa mengembangkan diri tanpa gangguan seperti halnya pacaran.

Lha gimana mau pacaran, wong blas nggak ada yang naksir.

Exit mobile version