MOJOK.CO – Sarkem Jogja adalah legenda. Namun, tahukah kamu, tidak jauh dari Sarkem, ada Bong Suwung, lokalisasi kelas bawah dengan rasa yang berbeda.
Tahun 1997 adalah saat kali pertama saya menginjakkan kaki di Jogja. Saat itu, saya sama sekali tidak memiliki teman sebaya. Yang saya kenal hanya keluarga ipar dari kakak. Mereka berbaik hati membantu saya, yatim piatu, untuk sekolah di SMA Tiga Maret, di Jalan Gejayan, Sleman.
Merasakan culture Shock, kesepian, serta kaget dengan perbedaan Kota Palu dan Jogja membuat saya merasa sangat kesepian. Hingga akhirnya saya yang saat itu tinggal di pertigaan jalan Demangan-Jalan Solo (timur LPP), menghabiskan waktu bermain Ding Dong yang menggunakan koin 100 perak.
Sebenarnya saya sudah bersekolah di SMA 1, sebuah sekolah favorit di Kota Palu. Tapi, entah bisikan setan atau lingkungan yang membosankan, saya akhirnya berkata kepada kakak perempuan saya kalau saya ingin sekolah di Jawa, di Bandung atau Jogja.
Kakak perempuan mengizinkan keinginan saya. Namun, saya harus mengulang tahun ajaran baru. Singkat cerita, saya berangkat ke Jawa naik kapal KM. TIDAR dan turun di Surabaya. Dari sana, saya istirahat di Jogja. Setelah itu, saya menuju Bandung untuk mencari sekolah dan pilihan yang ada waktu itu adalah SMA Nasional.
Menurut saya, SMA Nasional justru akan memperburuk keadaan. Bukannya tekun belajar, mungkin ketika kelas 3 saya sudah menghamili anak orang. Lantaran merasa kurang cocok, saya memutuskan sekolah di Jogja saja dan SMA Tiga Maret menjadi pilihan. Yah, bukannya sekolah dengan benar, tapi hampir 2 bulan saya selalu bolos sekolah. Saya lebih memilih keliling Jogja naik bus kota sampai jam pelajaran selesai.
Mas Tembong yang “membuka” Jogja untuk saya
Dalam situasi seperti itu, saya ingat betul kos abang saya di daerah Iromejan, Jalan Solo. Selama awal tinggal di Jogja, setiap hari, saya berjalan kaki ke sana. Saya nongkrong sampai lupa waktu.
Nah, di kos itulah saya berkenalan dengan seorang mahasiswa yang usianya antara 25-27 tahun ketika itu. Namanya Tembong, asli Wonosobo. Anak-anak kos lain mewanti-wanti saya, yang masih berusia 16 tahun, supaya jangan mau diajak jalan berdua sama Mas Tembong karena pasti ujungnya maksiat.
Namun, entah kenapa, saya malah bisa akrab dengan Mas Tembong. Oleh sebab itu, saya mau saja ketika Mas Tembong mengajak saya nongkrong.
Misalnya, suatu kali, dalam keadaan sadar, kami mendatangi Takasimura di Jalan Solo. Karena “biasa saja” dan tidak ada yang menarik, kami bergeser ke Karoaku di Terban. Sekitar 1 jam di sana, Mas Tembong menghabiskan 1 shot whiskey dan segelas botol bir kecil. Sementara saya memesan strawberry smoothies.
Tiba-tiba dia bertanya apakah saya pernah berhubungan intim. Saya terdiam, menatapnya lama lalu mengangguk perlahan. Dia lanjut bertanya, “Mau yang dekat dan murah atau jauh dan mahal?”
Saya melongo, ragu, tapi sebuah anggukan ajakan dari mas Tembong akhirnya membawa kami menelusuri Terban-Mangkubumi dan berhenti di sebuah gapura yang kalau tidak salah berwarna hijau kusam. Di sebelahnya ada penjual angkringan yang memperhatikan kami melangkah masuk gang itu. Sarkem Jogja, untuk kali pertama.
Masuk Sarkem Jogja untuk kali pertama
Nah, ini namanya lokalisasi Sarkem, kedua terbesar setelah SG. Hah? SG? Apa itu? dalam hati saya. Kami berkeliling sekitar 10 sampai 15 menit melihat jejeran PSK yang ramai seperti sedang sepi pelanggan. Memang, malam itu, atau di saat itu, Sarkem Jogja tidak seramai sekarang. Masih ada pula sudut-sudut kumuh yang kadang ada tumpukan sampah dan gang-gang sempit gelap untuk memotong jalan yang berbau pesing.
Beberapa saling bercanda. Ada yang kadang dengan genit menyentuh tangan saya. Lalu, ada juga yang sudah berumur berkata “Ya ampun, le, ra sekolah po sisuk?”
Mas Tembong masih berputar-putar, hingga akhirnya menemukan “tambatan kelamin”. Seorang PSK muda pemalu, tapi senyumannya sungguh tidak membosankan. Mirip seperti gadis-gadis manis pemalu yang menjadi figuran di film-film Warkop DKI. Mereka akhirnya masuk ke sebuah bilik dengan wajah Mas Tembong yang terlihat semakin sumringah, mesum, dan sedikit lagi tahi lalat di hidungnya seperti mau meledak saking bernafsunya.
Saya menunggu sekitar 15 sampai 20 menit di luar. Duduk di kursi semen di pinggiran gang yang difungsikan sebagai “ruang tunggu”. Tiap kali ada yang lewat, pipi saya yang belum jerawatan ini beberapa kali disentuh. Bahkan ada 1 atau 2 PSK Sarkem Jogja yang berkata gini, “Nunggu di dalam aja, sini, 25 aja udah sama kamar.”
Saya teringat uang di dompet hanya tersisa 10 ribu. Meski pernah punya pengalaman di Palu, di lokalisasi Tondo, saya belum pernah menawar seorang PSK di tempat asing seperti Sarkem Jogja ini.
Tapi akhirnya uang 10 ribu itu terpakai juga. Mas Tembong yang belum merasa puas, dan meminjam uang yang saya bawa. Sialnya, selesai dari situ, kami sama sekali tidak punya uang tunai untuk membayar parkir. Akhirnya, 4 batang Marlboro merah milik Mas Tembong diberikan kepada tukang parkir sebagai ganti uang sambil mengucapkan nyuwun ngapunten yang waktu itu tidak saya mengerti apa artinya.
Baca halaman selanjutnya: Lokalisasi legendaris vs prostitusi kelas bawah di Tugu Jogja.
Kunjungan kedua
Sekitar 2007, saya ke Sarkem Jogja untuk kali kedua karena ajakan teman. Dia punya langganan penjual miras di bagian belakang, yang dekat dengan gang tembusan Jalan Sosrowijayan.
Namanya Mas Agung. Beliau termasuk senior. Jadi, tiap masuk, kami tidak pernah ditarik retribusi. Seingat saya, harganya Rp2.500 per orang.
Mas Agung bukan sekadar minum. Kalau ada yang cocok, dia akan segera menuju bilik. Saya juga begitu, setelah 4 sampai 5 gelas, saya berkeliling. Kami melewati gang Sarkem Jogja yang gelap sempit, kumuh berbau pesing, untuk mencari wanita idaman.
Sayang, di kesempatan itu, saya tidak menemukan wanita yang saya cari. Makanya, saya kembali duduk bersama Mas Agung. Dia menepuk pundak saya sambil berkata, “Kita duduk setengah jam lagi di sini sampai sekitar jam 2 atau setengah 3. Kalau nggak dapat ya lain kali saja.”
Subuh menjelang. Kami berlima jalan sempoyongan, memutar sebentar ke bagian depan Sarkem Jogja hingga melewati sebuah sekolah kecil, menuju arah Jalan Sosrowijayan.
Tiba-tiba muncul dari sebuah rumah seorang wanita. Mungkin usianya sekitar 40 tahun. Dia mengenakan baju u can see celana ketat hitam memperhatikan kami yang berjalan lemas. Secara spontan dia berkata;
“Loh, cah bagus, mau ke mana jam segini kok dah mau pulang?”
“Dah capek, Mbak,” jawab teman saya.
“Alah, emang udah berapa kali?”
“Udah sini, 5 orang sekalian, 25 aja seorang. Sekaligus tapi lo.” Dia melanjutkan perkatanyàanya sambil memperagakan kedua tangannya sedang memegang 2 kelamin di kiri dan kanan. Mulutnya menganga, pinggulnya sedikit diangkat, dan kakinya sedikit mengangkang.
Saya dan Firly yang belum menemukan incaran, saling bertatapan. Godaan kecil muncul, sekaligus kegelian membayangkan kami berlima tanpa pakaian.
“Wah, makasih, Mbak. Mau pulang aja. Ngantuk.”
“Yowis. Ditawari enak kok ra gelem sih. Selak aku turu dan tutup lawang. Wis tah, ngelarisi ngono lo.”
Kami sempat berhenti, saling pandang, bercampur geli, kami ngeloyor pergi.
Kunjungan ketiga dan pengalaman pertama di Bong Suwung
Beberapa bulan setelahnya, dengan niat mencari karaoke, miras, dan PSK yang merangkap LC, kami kembali ke Sarkem Jogja. Sekitar 3 jam di sana, kami berempat menghabiskan 6 botol anggur merah dan menyewa 3 LC.
Entah siapa yang mulai. Kami tiba-tiba berkeinginan mampir ke lokalisasi yang disebut Bong atau Bong Suwung, yang berdampingan persis dengan rel kereta api Stasiun Tugu.
Tanpa pikir panjang, kami tancap gas dan parkir di dekat tempat billiard. Kami masuk dari sebuah gang kecil yang lebih mirip pasar tradisional.
Betapa kagetnya kami bahwa Bong sedikit lebih ramai dari Sarkem Jogja walau dengan bangunan seadanya. Ada yang menggunakan plywood asal paku, seng bekas seperti mau roboh, atau rumah menyerupai gubuk. Setiap 15 menit, kereta melintas. Para wanita di sini, menurut saya, tidak seagresif Sarkem, jauh lebih “sopan”.
Kami berempat berpisah. Firly bersama Akbar. Saya bersama Syarief. Karena tempatnya tidak terlalu besar, 2 kali kami berpapasan dengan mimik muka tidak saling kenal.
Akhirnya, saya yang pertama menemukan yang cocok. Setelah nego, kami sepakat sekali main 100 ribu, tanpa ciuman basah, berlaku baik, dan menggunakan kondom. Tapi jangan bayangkan kasur-kasur di Bong Suwung seempuk Saritem, apartemen sekitar Seturan, atau bahkan Sarkem Jogja.
Setengah jam kemudian, saya sudah sudah sampai di titik kami janjian ketemu. Seorang penjual kopi keliling sedang melayani pelanggan. Tak berapa lama, Akbar dan Syarif datang dengan wajah semringah.
Saya bertanya, Firly belum selesai? Nggak tahu, kata mereka berdua. Tiba-tiba si penjual kopi menyahut.
“Oh, yang sipit agak gendut?”
“Iya, bener,” balas Akbar.
“Oh, tadi ke sini. Pas ada 2 mbak-mbak beli minuman, mereka malah nego. Sepertinya langsung bertiga, Bang.”
Asu. Sekali main normal masih mau nambah threesome. Hampir sejam kami menunggu. Karena bosan, kami mengirimkan pesan BBM kepada Firly.
Kami menunggu di angkringan. Setengah jam kemudian Firly muncul, menggerutu, sambil memesan es teh. Kami tertawa pelan sekaligus heran.
Sarkem Jogja yang legendaris, tapi Bong punya daya tarik tersendiri
Jadi, Firly langsung tertarik dan libidonya naik seketika ketika melihat 2 wanita tadi. Setelah menawar, keduanya langsung masuk kamar. Namun, sesampainya di kamar, Firly malah letoy. Bukan karena wanitanya, tapi karena merasa iba. Ternyata dia tidak tega meniduri 2 wanita sekaligus di Bong Suwung.
Firly juga punya alasan lainnya. Kamar yang dia dan 2 wanita dapat itu terlalu berisik. Temboknya tipis, hanya seng bekas yang membatasi. Sudah begitu, kasurnya tipis dan bau. Sarkem Jogja masih lebih lumayan, katanya. Paling parah adalah erangan PSK dan pelanggan di kamar samping terdengar dengan jelas.
Firly merasa rugi karena tetap harus membayar 200 ribu untuk 2 wanita tadi. Namun, bagi dirinya, Bong Suwung punya daya tarik tersendiri. Memang kudu jeli untuk menemukan “permata” di samping rel Stasiun Tugu. Apalagi, soal harga, masih lebih murah dibanding Sarkem Jogja.
Kalau saya, Sarkem Jogja memang legendaris, tapi Bong Suwung juga menarik. Namun, kalau harus memilih, terutama di masa sekarang, saya lebih nyaman menggunakan aplikasi MiChat. Nah, kalau soal lokalisasi, baru saya akan memilih Saritem di Bandung.
Iya, kalau lagi di Bandung, saya akan uninstall MiChat. Buat apa? Bermodalkan naik ojek online atau menginap di sekitar Paskal dan Kelenteng, lelah berjalan kaki akan terbayar puas di Saritem.
Penulis: Khoirul Farji Siregar
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kisah Bram, Takmir Musala di Tengah Lokalisasi Sarkem dan LC yang Melantunkan Ayat Al-Qur’an dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.