Pertama Kalinya Mengurus Ganti Plat Nomor di Samsat, Awalnya Optimis Lama-Lama Menangis

Samsat Mempersulit Hidup, Bahkan Lewat Calo Saja Tidak Beres MOJOK.CO

Ilustrasi Samsat Mempersulit Hidup, Bahkan Lewat Calo Saja Tidak Beres. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSaya pulang dari samsat dengan kekecewaan. Saya hanya bisa menangis melihat segala praktik konyol yang isinya hanya menyusahkan warga. 

Di tengah normalisasi calo ketika mengurus sesuatu di samsat, saya mencoba untuk lewat jalur jujur. Jadi, sebelumnya, saya tidak pernah mengurus ganti plat nomor sepeda motor yang selama bertahun-tahun ini saya pakai. Ini pengalaman pertama saya.

Alasannya, karena nama pemilik motor yang saya pakai adalah nama bapak saya. Lantaran bapak telah meninggal, saya kini harus mengurus pribadi plat nomor motor yang habis masanya setiap lima tahun sekali ini.

Sebelum masa jatuh tempo, saya telah mengumpulkan banyak informasi. Mulai dari saudara, tetangga, mencari di Google hingga Chat GPT. Lantaran saya harus mengurus motor yang nama pemiliknya telah tiada, saya pun mempersiapkan diri untuk menjalani proses balik nama dari hasil informasi yang telah saya kumpulkan sebulan sebelumnya. 

Ada saran dari berbagai pihak untuk pakai calo saja ketika mengurus di samsat. Kata mereka, proses balik nama jauh lebih ribet dan memakan lebih banyak waktu. 

Kebetulan, ada tetangga saya ada yang berprofesi sebagai calo. Dia menawarkan diri dengan begitu santai dan yakin bahwa urusan plat nomor ini akan selesai dengan cepat, tidak sampai sehari. 

Tetangga saya yang calo itu juga menyarankan untuk tidak usah balik nama. Cukup pakai KTP bapak saya saja karena jika balik nama prosesnya akan lebih susah.

Dipaksa buat merasakan kesusahan di tengah dunia yang serba mudah

“Emang sesusah apa, sih, di samsat?” Tanya saya penasaran. Sang calo menjelaskan kalau nanti butuh surat ahli waris, akta kematian, dan lainnya. Saya tidak merasa keberatan, karena memang semua berkas yang disebutkan, keluarga saya sudah mengurus dan memilikinya. 

Hanya saja, saya malas membawa berkas-berkas tersebut, apalagi harus fotokopi dan membawa map. Perlu diketahui bahwa untuk memperpanjang STNK dan plat nomor dengan masa lima tahun, harus melalui proses offline karena ada cek fisik di samsat. Menurut laman CNN, proses digital melalui aplikasi Samsat Online Nasional (SAMONAS) hanya berlaku untuk urusan STNK dan pajak tahunan. 

Untuk memastikan informasi, saya mengunjungi samsat untuk konfirmasi. Sebelumnya, saya sudah berusaha untuk cek dengan melihat website resmi info samsat. Tapi, tidak ada info detail perihal balik nama pemilik yang telah meninggal. Informasi yang tersedia hanya balik nama kendaraan bekas, yang berbeda Kartu Keluarga (KK).

Awalnya saya bertemu dengan satpam. Lebih lanjut, diarahkan ke petugas samsat. Mereka menjelaskan dengan baik. Saya merasa optimis dan yakin untuk menjadi warga negara yang sesuai slogan yang tertempel di berbagai area kantor samsat tersebut “Abaikan Calo! Urus Sendiri di Samsat dengan Mudah dan Cepat”

Ordal samsat malah menawarkan diri sendiri

Awalnya saya memang merasa optimis, taat, dan jujur. Hanya berselang sekitar lima menit, rasa optimis saya mendapat ujian. 

Tiba-tiba ada yang keluar dari area tempat saya bertanya informasi. Dia memakai seragam dengan tulisan SAMSAT di bagian punggung. Awalnya mereka mengajak ngobrol basa-basi, rumah saya di mana, nama saya siapa, dan aktivitas saya apa.

Hingga akhirnya mereka mengeluarkan kalimat yang membuat saya bingung “Mbak kami bantu aja bisa, kok” ucapnya. “Jangan pakai calo, ya, Mbak, biayanya makin mahal nanti. Dibantu sini aja langsung bisa.”

Saat itu saya benar-benar nggak paham maksudnya apa. Saya merespons, “Maksudnya dibantu itu gimana, Pak? Saya memang nggak ada rencana pakai calo.”

Si bapak malah cengangas cengenges. “Mbak ada kenalan nggak yang kerja di sini?” Saya pun menjawab “Kerja di Samsat ini? Nggak ada, Pak”

Bapak tersebut dengan santainya mendekat dengan saya dan berbisik, “Saya urus, Mbak” terangnya.

Saya menjawab: “Pak, makasih, ya! Saya besok coba urus dulu sendiri, makasih, ya penjelasannya,” ucap saya sambil pergi meninggalkan kantor samsat.

Saat keluar samsat, saya chat seorang teman. Teman saya menjawab:

“Mereka nyuruh nggak pakai calo, tapi ternyata mereka sendiri adalah calonya. Sepertinya mereka ingin menikmati lebih banyak, karena kalau pakai calo, duitnya dibagi lagi buat calo. Mungkin gitu.”

Baca halaman selanjutnya: Awalnya optimis, akhirnya menangis.

Di samsat, tiba-tiba jadi sulit

Saya datang ke samsat untuk mengurus pergantian plat nomor. Pagi sekitar pukul 08:00 pagi, antrean motor untuk cek fisik sudah mengular. 

Sampai akhirnya saya menyadari bahwa semua orang membawa map berlogo kepolisian tapi saya tidak. “Ambil formulirnya dulu, Mbak, di dalam. Mbak parkir dulu, nanti ke sini lagi,” kata pengendara di sebelah saya. Saya tidak sadar ada alur ini dan tidak ada satu petugas di luar antrean tersebut.

Setelah mengambil formulir dan membayar parkir yang tarifnya tidak biasa yakni Rp5.000 untuk motor, saya antre lagi untuk bergantian cek fisik. Habis cek fisik, saya harus kembali parkir.

Setelah melalui proses cek fisik, saya antre untuk ke loket samsat. Tujuannya untuk mengidentifikasi dan memverifikasi data alias berkas-berkas yang saya siapkan. 

Sampai akhirnya giliran saya, setelah menyerahkan map dengan logo kepolisian, saya ditanyai perihal akta kematian pemilik motor. “Kemarin saya ke sini nanya di bagian informasi, nggak ada info akta kematian, Pak. Cuman disuruh bawa surat kematian saja,” jelas saya. 

Saya memang tidak membawa surat akta kematian karena memang tidak ada dalam daftar catatan informasi. Makanya, saya hanya membawa surat kematian dari rumah sakit ke samsat. 

Saya bahkan sempat mengonfirmasi beberapa data yang harus saya bawa. Makanya, saya hanya membawa KTP pemilik yang telah meninggal, surat kematian, STNK, BPKB, Surat Ahli Waris dari Kelurahan, dan KTP saya. 

Lantaran terpaksa, saya pulang dulu untuk mengambil akta kematian bapak saya. Setelah pulang, saya kembali lagi masuk parkiran. Total Rp15.000 sudah saya keluarkan dalam beberapa jam hanya untuk parkir. 

Dipersulit luar dan dalam

Setelah kembali ke samsat dengan menyerahkan akta kematian asli dan fotokopi, saya masih belum lolos juga. Masalah selanjutnya muncul, surat ahli waris saya dipertanyakan. 

Saya benar-benar kebingungan di mana letak salah surat ahli waris asli yang saya serahkan. Intinya, petugas samsat menganggap surat ahli waris saya tidak asli. Padahal stempel biru kelurahan sudah terlihat jelas, dan tanda tangan berbagai pihak sudah disematkan.

Saya pun keluar parkiran lagi dan ke kelurahan untuk mengkonfirmasi. Pihak kelurahan sudah memverifikasi keaslian surat ahli waris tersebut. Setelah saya kembali ke samsat, saya tetap ditolak dan malah dituduh membuat surat ahli waris palsu. Genap sudah Rp20.000 saya keluarkan untuk membayar parkir.

Petugas samsat dengan ngotot menjelaskan, “Saya memahami maksudnya, Mbak, tapi ini untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Soalnya kami sudah banyak kasus seperti ini.”

Akhirnya, pakai calo samsat

Lelah dengan keanehan ini, akhirnya saya mencari calo yang sejak awal mendekati saya di tempat parkir samsat. Setelah berbincang, si calo mengarahkan saya untuk tidak usah balik nama dan tetap menggunakan nama pemilik motor, yakni bapak saya yang sudah meninggal. 

“Apa tidak perlu surat kuasa, Pak?” tanya saya. 

“Nggak perlu, Mbak. Udah, Mbak tenang aja, nanti siang udah beres,” jelasnya

Saat saya akhirnya menanyakan berapa biaya calonya, saya terkejut bukan main. Saya harus mengeluarkan uang lebih dari satu juta rupiah. Mendadak optimisme saya hilang berganti dengan tubuh yang lemas, belum sarapan, iya, terkejut juga, iya.

Akhirnya si calo mulai mengurus berkas saya. Ternyata, kekagetan saya belum berakhir. Motor saya kembali cek fisik di tempat parkir oleh calo, bukan oleh petugas samsat. Kekonyolan apalagi ini. 

Akhirnya saya menunggu sambil makan di area makan samsat. Nampak di sana banyak orang juga yang mengurus urusan plat nomor ini melalui calo. Saya pun berbincang dengan beberapa orang yang berakhir mengurus pergantian plat nomor setelah cek fisik. Ada yang administrasinya diperumit, dan ada juga yang tidak bisa antre panjang karena harus bekerja.

Mendapat “wejangan” dari calo

Sambil menunggu, setelah makan saya mampir ke musala. Di sana, saya bertemu calo perempuan yang memberi saya banyak petuah agar berhati-hati menggunakan calo yang berada di luar. 

Calo samsat ini kiranya berusia lebih dari 50 tahun. Dia mengingatkan saya untuk jangan mau kalau nantinya calo bilang platnya tidak bisa jadi hari ini.

Sebelumnya saya sudah mengumpulkan bukti yakni foto sang calo samsat dan rekaman obrolan saya dengannya. Pengingat dari calo ibu-ibu itu cukup membuat saya tercerahkan.

Setelah mendapat pencerahan, karena takut ditipu, saya mengikuti calo yang saya gunakan tersebut ke sana dan k emari.

Calo samsat tersebut dengan berkali-kali bilang “Bentar, ya, Mbak, belum ada info dari dalam.”.

Selama menunggu di luar, saya melihat begitu banyaknya calo di samsat. Walaupun jam operasional penerimaan berkas telah tutup, banyak dari calo tersebut yang masih mencari pelanggan dan dapat orderan.

Mengamati para calo di samsat

Dalam masa penantian plat nomor terbit, saya banyak ngobrol dan mengamati aktivitas calo-calo ini. Calo-calo di samsat berasal dari berbagai latar belakang. Ada yang tidak sekolah, ada juga yang tamat sekolah sampai SMP. Di sisi lain, ada yang merangkap berjualan gorengan dan bolpoin. 

Ada calo yang lebih dari 10 tahun bekerja. Dulu, dia diajak langsung oleh salah seorang ordal untuk bekerja sebagai calo samsat. 

Ada juga yang bilang bahwa saat awal-awal menjadi calo, dia merasa bersalah karena merasa ikut menyalahi aturan. Namun, dia akhirnya terbiasa karena merasa bisa membantu warga yang tidak bisa mengurus karena sibuk bekerja, “Alhamdulillah bisa bantu orang, Mbak.” Jelasnya.

Menangis karena gagal menjaga rasa optimis

Setelah kiranya 90 menit menunggu, calo samsat mengabari kalau permohonan saya ditolak. Alasannya, karena sejak awal saya telah mengajukan permohonan balik nama di loket identifikasi dan verifikasi. 

Sang calo menawarkan solusi untuk menggunakan KK terpisah, tapi saya tidak membawa KK lain selain KK yang terdapat nama saya di dalamnya. Seorang calo lain pun muncul menawarkan solusi untuk menggunakan KTP yang entah milik siapa. Saya menolak karena saya tidak tahu KTP tersebut milik siapa. 

Akhirnya saya pulang dengan tangan kosong dan menangis di perjalanan. Menangis karena tak mampu menjaga optimisme dan menangis karena melihat secara langsung segala praktik konyol yang tidak sejalan dengan visi-misi pemerintah untuk bersih dan transparan.

Penulis: Anisah Meidayanti

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Ironi dan Sunyi di Balik Pagar Samsat: Keresahan Satpam Samsat yang Tak Kuasa Mengubah Sistem dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version