MOJOK.CO – Dunia mengecam serangan Rusia kepada Ukraina, tapi abai terhadap kejahatan Israel kepada Palestina. Munafik sekali.
Perdana Menteri Israel, Naftali Bennett, mengatakan bahwa negaranya siap untuk menengahi konflik antara Ukraina dan Rusia. Dia sedang ngelindur sepertinya, lupa kalau tangannya berlumuran darah anak-anak Palestina.
Ketika banyak orang berkomentar tentang serangan Rusia kepada Ukraina, dan kejadian serangan (kembali) Israel terhadap Palestina pada perayaan Isra Mikraj beberapa waktu lalu, orang-orang kemudian ingat, Presiden Zelinsky adalah salah satu pendukung invasi Israel terhadap Palestina: Sebuah kekerasan yang berkali-kali terjadi selama konflik panjang yang tak pernah usai ini.
Status Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang membela Israel dari serangan roket Hamas pada Mei 2021, kembali disinggung banyak orang di media sosial. Zelensky, merasa sedih karena langit di negara Israel dihujani rudal yang dikirim dari Jalur Gaza, Palestina. Tapi dia tidak menyinggung sama sekali bagaimana serangan brutal Israel kepada warga Palestina.
“Langit #Israel dipenuhi dengan rudal. Beberapa kota terbakar. Ada korban. Banyak yang terluka. Banyak tragedi kemanusiaan. Mustahil untuk melihat semua ini tanpa kesedihan dan kenestapaan. Eskalasi ini perlu segera dihentikan demi kehidupan masyarakat,” ucap Zelensky di akun @ZelenskyyUa pada 15 Mei 2021.
Hissam Ullah Baig, seorang warga Pakistan pernah mengingatkan Zelensky; bahwa apa yang dialami warga Palestina sebenarnya jauh lebih buruk daripada serangan roket tersebut. Ukraina bisa saja merasakan apa yang dialami Palestina jika Rusia menyerang beberapa kota di Ukraina. Beberapa hari belakangan ini, ucapan Hissam tampaknya jadi kenyataan. Begitulah dunia bekerja. Sebagaimana kita sering mendengar istilah yang klise namun selalu relevan hingga saat ini: roda dunia selalu berputar.
Bukan bermaksud menertawakan apa yang terjadi pada Ukraina saat ini, dan menyebutnya seolah karma atas apa yang mereka lakukan sebelumnya. Namun, dari peristiwa ini, setidaknya kita bisa melihat bagaimana hubungan antarbangsa selama ini berlangsung, bagaimana semua kebijakan; saling dukung dan tidak dukung, mengecam, memberi sanksi, abstain dalam resolusi Dewan Keamanan PBB, semua adalah tindakan yang lumrah terjadi dalam pergaulan antarbangsa. Perang dan damai, konflik, perseteruan, aliansi dan kerjasama adalah keseharian yang akan terus terjadi selama masih ada bangsa-bangsa yang saling berinteraksi di dunia ini. Selama ada kepentingan, selama ada tujuan yang ingin dicapai masing-masing.
Membandingkan Rusia vs Ukraina dan Israel vs Palestina
Invasi Rusia ke Ukraina, Serangan Israel ke Palestina, meski terjadi dalam waktu yang berdekatan, namun sikap beberapa negara dunia memang berbeda. Di sini kita bisa melihat bagaimana dua wajah dari sebuah negara, bagaimana paradoks dan standar ganda bekerja. Sebuah kebijakan yang sering kita benci, namun susah sekali untuk dihindari.
Kita bisa melihat beberapa pendapat yang gamblang tersaji di hadapan kita. Pertama, konflik Israel dan Palestina adalah sebuah konflik panjang dengan intensitas kekerasan yang berulang ulang. Palestina ingin mempertahankan wilayahnya yang terus-terusan dicaplok Israel, sementara Israel menganggap wilayah-wilayah tersebut milik mereka. Israel menyebut Palestina dihuni teroris yang selalu menyerang mereka, Palestina menganggap Israel berisi bandit-bandit yang tak pernah bosan menyerang mereka dan membunuh warga sipil.
Kedua, Bagi Rusia, Ukraina adalah pintu gerbang Rusia dari tetangga-tetangga Eropa. Maka ketika Ukraina semakin “mesra” dengan NATO, meskipun saat ini masih belum menjadi anggota, Rusia merasa terusik dan perlu menjaga stabilitas keamanan kawasannya. Rusia sudah bolak-balik menjadikan hal ini sebagai salah satu alasan melakukan invasi. Dan sebenarnya, dengan sedikit tahu sejarah dunia, kita bisa dengan sederhana memprediksi bahwa sikap Rusia akan selalu begitu terhadap Ukraina, juga terhadap NATO.
Sementara bagi Ukraina sendiri, alasan terkuat kenapa ngotot ingin masuk NATO adalah karena ingin menjamin keamananya dari Rusia. Bagi Ukraina, Rusia seolah tidak bisa move on, dari sejarah kejayaan masa lalu Uni Soviet, termasuk menyatukan kembali negara-negara pecahannya seperti Ukraina. Selama ini, Rusia kerap menentang kerja sama keamanan strategis Ukraina dengan NATO dan Amerika Serikat. Dukungan Rusia terhadap kelompok separatis pro-Moskow di wilayah Ukraina juga membuatnya merasa perlu segera bergabung dengan NATO. Urgensi Ukraina untuk masuk NATO dirasa makin kuat ketika Rusia mulai berani mencaplok Crimea pada 2014.
Kita bisa menganalogikan hubungan antarbangsa seperti hubungan manusia. Sikap-sikap politik sebuah negara pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sikap personal. Pemimpin adalah cermin dari sikap sebuah bangsa, tak peduli apa yang terjadi di internal pemerintahannya.
Penduduk dunia melihat negara diwakili secara sederhana oleh para pemimpinnya. Wajah Amerika adalah Biden saat ini, selain wajah presiden sebelum-sebelumnya. Ada beberapa hal kecil berubah dalam setiap rezim, tapi Amerika tetaplah Amerika. Wajah Rusia adalah Putin dan Wajah Ukraina adalah Zelensky saat ini. Wajah Israel dan Palestina adalah Perdana Menteri Naftali Bennett dan Mahmoud Abbas.
Negara sebagai aktor sering bertindak sebagaimana tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana teori rational actor banyak dikenal dalam kajian ilmu Hubungan Internasional. Negara melakukan apa yang paling rasional bagi mereka, di mana kerugian dan keuntungan selalu menjadi pertimbangan utamanya, bukan nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Serangan Israel terhadap Palestina dalam perayaan Isra Mikraj beberapa waktu lalu memang mungkin tak sebanding dengan apa yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina. Tapi ini bukan cuma tentang kecil dan besarnya sebuah invasi dan konflik. Jika diakumulasi, serangan Israel pada Palestina selama bertahun-tahun juga adalah konflik panjang yang telah menelan korban dari kedua belah pihak.
Bagaimana sikap dunia?
Sebuah pertanyaan yang tidak begitu penting untuk dijawab, karena sejauh ini jawabannya masih sama. Israel adalah anak emas Amerika. Negara tersebut adalah simbol demokrasi bagi Amerika di Timur Tengah. Posisinya yang strategis, kekuatan militernya yang terus meningkat menjadikan hubungan mesra yang sudah terbangun lama antara kedua negara ini begitu sulit untuk dipisahkan.
Jadi, jika bertanya bagaimana sikap Amerika tentang kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu, jawabannya tetap sama; silakan lihat sikap-sikap sebelumnya. Masih mesra dan masih indah. Tidak ada kecaman, tidak ada sanksi. Bagaimana sikap Eropa atau NATO? Masih tidak jauh beda dengan sikap-sikap sebelumnya. Selama tidak ada kepentingan yang menguntungkan, negara atau organisasi internasional tidak merasa begitu perlu untuk peduli.
Sejak Rusia menginvasi Ukraina, Israel memang telah mencari jalan tengah yang sulit dipahami dalam konflik: berpihak pada sekutu Baratnya sambil menghindari keretakan dengan Moskow. Pasukan Rusia mengendalikan wilayah udara di negara tetangga Suriah, di mana pesawat Israel sering beroperasi melawan milisi yang berafiliasi dengan Iran; (ingat, Israel melihat Iran selalu menjadi ancaman eksistensialnya).
Israel telah menawarkan pada beberapa kesempatan untuk menengahi pembicaraan guna mengakhiri invasi. Para pejabat Ukraina juga mengatakan mereka mendukung gagasan itu, tetapi prakarsa itu belum melangkah lebih jauh. Ukraina dan Rusia mengadakan putaran pembicaraan di perbatasan antara Ukraina dan Belarusia, bahkan ketika pasukan Rusia maju dalam upaya untuk mengepung kota-kota besar Ukraina. Namun, negosiasi ini berakhir tanpa hasil signifikan.
Negara-negara Barat lainnya telah memberikan bantuan militer langsung ke Ukraina. Jerman memutuskan untuk memberi Ukraina 1.000 senjata anti-tank dan 500 rudal, melanggar kebijakan Jerman yang sudah mapan selama beberapa dekade. Semantara Israel sendiri telah membatasi pengiriman bantuannya hanya untuk tujuan kemanusiaan, bukan senjata, apalagi pasukan.
Bennett beberapa kali mengatakan bahwa Israel berusaha untuk “membantu secara diam-diam” sambil mempertahankan kepentingan strategisnya sendiri. Israel telah menyatakan dukungannya untuk rakyat Ukraina dan telah mengirimkan pengiriman 100 ton bantuan kemanusiaan. Meskipun Israel mengutuk invasi itu dan menyebutnya “pelanggaran terhadap tatanan internasional,” dia berpikir dua kali untuk mengirim pasukan.
Rumit
Ada banyak hal yang memang sulit dilakukan dalam hubungan antarnegara. Hubungan saat ini jauh lebih rumit dibanding aliansi-aliansi yang terbangun pada masa sebelumnya, misalnya pada Perang Dunia II, apalagi Perang Dunia I. Hubungan antarnegara telah berkembang luas di mana setiap negara tak bisa saling melihat melulu secara hitam-putih negara-negara lain. Mereka tak bisa saling tidak suka, lalu saling menyerang. Ada banyak motif lain yang terus harus dijaga untuk keuntungan masing-masing.
Israel agak melunak dan menghindari membuka konflik dengan Rusia, sekaligus menolak permintaan Ukraina untuk peralatan militer, dan bersumpah untuk mengambil kebijakan yang hati-hati. Israel juga menolak untuk ikut mensponsori resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk serangan Rusia.
Dari sikap Israel ini, kita bisa melihat bagaimana sebuah negara bisa berkamuflase. Menimbang bagaimana sikapnya terhadap negara lain. Dalam hal ini, Israel rela menjadi paradoks, berkoar atas nama perdamaian dan kemanusiaan untuk Ukraina, tapi tidak berani berkonfrontasi langsung dengan Rusia, sembari tetap memukuli orang Palestina selama bertahun-tahun.
Amerika juga memainkan paradoksnya. Ia mengecam invasi rusia ke Ukraina, tapi bersikeras dan mengulangi berkali-kali pernyataan untuk tidak akan mengirim pasukannya. Tentu ini kebijakan yang cocok dan ideal bagi Amerika. Terlibat frontal terlalu jauh hanya akan menggoyangkan keseimbangan keamanan dunia. Terutama sesama negara gigantis dengan kekuatan yang sebelas-dua belas.
Membiarkan pasukan mereka masuk atau meningkatkan campur tangan NATO lebih jauh lagi misalnya, hanya akan membuat Rusia makin kesal dan bisa meningkatkan eskalasi konflik. Meskipun dalam logika keseimbangan kekuatan, kita juga mestinya sadar bahwa Rusia pasti paham dan tidak segampang itu mengeluarkan senjata pamungkas: nuklir.
Dan Zelensky makin frustrasi
Zelensky menyinggung sikap yang muncul dari hasil pertemuan para petinggi NATO, di mana NATO dianggapnya dengan sengaja memutuskan untuk tidak menutup langit di atas Ukraina. Bagi Zelensky, negara-negara NATO sedang menciptakan narasi bahwa menutup langit di atas Ukraina akan memprovokasi agresi langsung Rusia terhadap NATO. Dia menyebut hal ini sebagai penggambaran kelemahan dan tidak adanya rasa percaya diri. NATO semestinya melindungi Ukraina, sebab anggota NATO memiliki kekuatan yang besar dan bisa membantu.
Zelensky tampak seperti sedang melakukan monolog sendirian di atas panggung yang sepi dari riuh penonton.
“Kalian harus memikirkan tentang masyarakat, tentang kemanusiaan. Apakah kalian tidak memikirkan hal ini dalam pertemuan? Semua orang yang mati mulai hari ini, juga mati karena kalian, karena kalian memisahkan diri,” ucapnya. Ditambah lagi dengan ucapannya menyinggung bahwa sampai saat ini, yang bisa diperbuat para petinggi NATO hanya memberikan 50 ton bahan bakar ke Ukraina. “Kalian tidak bisa menggantikan tiap liter darah dari masyarakat kami dengan tiap liter bahan bakar,” pungkasnya.
NATO tetaplah NATO, demikian juga Amerika. Bertindak lebih dari itu sama saja menepuk air di belanga, cipratan airnya akan menimbulkan kemungkinan kerugian yang jauh lebih besar. Yang bisa mereka berikan saat ini hanyalah solidaritas dan solidaritas. Sebab saat ini, jika mereka melakukan hal lebih dari itu, konflik terbuka yang lebih intens bisa saja terjadi dan akan jauh lebih berbahaya.
Begitulan, cermin politik antarbangsa, tak jauh berbeda dari realitas politik nasional yang sering kita saksikan di layar tv atau media kita sehari-hari. Bangsa-bangsa di dunia sama saja seperti partai politik, seperti para politisi kita. Mereka melakukan apa yang perlu, bukan apa yang pantas mereka lakukan.
Tidak ada kepantasan dan moral dalam politik, baik politik nasional maupun internasional. Politik, sebagaimana salah satu pengertiannya, adalah sebuah seni dan ilmu untuk mendapatkan kekuasaan, mendapatkan hasil yang diinginkan. Jadi demikianlah adanya, kita lihat saja apa yang akan terjadi setelah peristiwa-peristiwa ini.
Kita sedang menyaksikan bagaimana kemunafikan politik internasional bekerja. Mempertontonkan usaha heroik mengecam, membela, memberi sanksi. Dengan wajah manis sebagian besar dari mereka mengecam Rusia, tapi abai pada apa yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Begitulah hidup. Suka tidak suka, kita berada di atas bumi manusia; bumi di mana manusia hidup dengan segala persoalannya.
BACA JUGA Presiden Ukraina, Contoh Telak Pemimpin yang Tak Tahu Apa-apa dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Irwan Bajang
Editor: Yamadipati Seno