MOJOK.CO – Sebagai seorang penyuka musik, tak ada yang lebih menyenangkan ketimbang mendapat rekomendasi musik baru sesuai selera.
Apalagi di usia lewat kepala dua, ketika upaya mencari musik baru tak lagi segesit ketika usia belasan, mendapat musik baru yang asoy itu seperti mengembalikan gairah hidup.
Sebagaimana hidup yang berjalan dan terus berubah, begitu pula cara mendapat rekomendasi musik baru. Saya, dan kalian, adalah bagian dari jutaan orang dari generasi yang menyaksikan perubahan cara mendapat rekomendasi lagu.
Zaman pradigital, biasanya rekomendasi lagu ini ditularkan lewat metode cangkem ke cangkem, alias mouth by mouth. Ini bentuknya banyak. Dari orang tua ke anak, kakak ke adik, paman atau bibi ke keponakan, atau yang paling sering ya dari teman ke teman.
Sekarang, di zaman streaming seperti ini, algoritma menjadi teman ampuh untuk dapat lagu baru. Beberapa orang teman hingga sekarang menepis bantuan mesin ini. Katanya algoritma bisa bikin kita hidup dalam bubble, hanya menyodorkan lagu-lagu yang kita doyan. Saya tak sepakat dengan argumen itu, sih.
Saya mengakui, algoritma itu sangat membantu orang-orang yang terlalu malas mencari musik baru. Sebagai orang yang dari tahun ke tahun seleranya berkisar di Dewa 19, Slank, Guns N Roses, Motley Crue, gerombolan glam rock dan hair metal, juga The Doors dan The Beatles, algoritma itu sangat menolong, lho. Ia seringkali berlaku sebagai peta di tengah belantara musik-musik baru.
Bayangkan, pada 2018 saja Hypebot menghitung ada sekitar 24 ribu lagu baru yang diunggah setiap hari di berbagai layanan streaming seperti Spotify, Deezer, dan kawan-kawannya. Ini artinya ada sekitar sembilan juta lagu yang diunggah setiap tahun. Spotify, aplikasi streaming musik paling populer, kini punya sekitar 50 juta koleksi lagu.
Bayangkan kamu harus menyibak lagu-lagu itu satu per satu. Ucapkan selamat tinggal pada skripsi, kerjaan, main cap jiki, juga yang-yangan.
Jika beberapa teman menolak tawaran algoritma karena membuat mereka hidup dalam gelembung, cakrawala musik saya malah jadi sedikit lebih luas berkat algoritma. Saya jadi, setidaknya berusaha, mendengar musik-musik yang selama ini asing di kuping. Tentu, saya masih sangat doyan musik-musik berbasis gitar yang punya vokalis melengking dan gitaris penyihir, atau istilah orang lawas: classic rock! Namun saya jadi doyan band atau musisi yang selama ini tak berada di radar saya, seperti misal Pijar, Elephant Kind, atau Oslo Ibrahim. Di luar dugaan, saya menikmati musik-musik mereka.
Namun saya juga ingin cara lawas macam dari cangkem ke cangkem tetap bisa dilestarikan. Saya juga masih sering dapat rekomendasi seperti ini, sewaktu seorang teman merekomendasikan The Panturas, dan dalam sekejap saya jadi jatuh cinta dengan musik mereka. Makanya saya ingin coba merekomendasikan tiga band favorit saya yang mungkin belum pernah kamu dengar. Mereka punya keunikan tersendiri, yang membuat mereka sedikit banyak menjulang ketimbang ribuan musisi di belantara musik yang terlalu lebat. Siapa tahu kamu cocok mendengar mereka.
1. Lorjhu’
Lorjuk adalah kerang endemik Madura yang juga diolah jadi makanan khas Pulau Garam ini. Di dunia musik, lorjuk, ditulis dengan style Lorjhu’, adalah moniker bagi Badrus Zeman, seorang musisi dan seniman asal Sumenep, Madura. Karya musiknya yang tersedia di aplikasi streaming memang belum banyak, tapi sudah menunjukkan karakter yang menarik.
Yang paling utama: liriknya ditulis dalam bahasa Madura. Dia, segerbong dengan Theory of Discoustic, menjadi pembenar bahwa bahasa tak jadi masalah dalam musik. Kamu bisa saja tak mengerti apa arti lirik yang mereka tulis, tapi kamu tetap bisa menikmatinya.
Sebagai musisi Madura, Badrus mendekap erat identitasnya ini. Tema-tema lagunya berkisah banyak tentang kehidupan tanah airnya: pesisir, laut, petani tembakau, panen. Semua dipadukan dengan musik rock n roll 1960-an: fuzz malu-malu, isian solo sedikit canggung, dan tiga kord yang tak pernah gagal.
Lagu favorit saya adalah “Nemor”, sebuah lagu rock agraris dengan alunan seruling yang merupakan jawaban tandingan atas “Sweet Home Alabama”. Nemor adalah bahasa Madura untuk ‘musim kemarau’. Bagi orang Madura, musim kemarau memang seperti sekeping mata uang. Di satu sisi, akan ada banyak kekeringan. Namun, musim kemarau membawa berkah panen bagi petani tembakau, nelayan, hingga petani garam. Di sela keringat mengucur deras, uang berdatangan dan ekonomi bisa berputar.
Terakna langik, lebat gilinah pello
Mesemma tani, berkat ollena bhakoh
Nase’ buje cabbhi, akoa ghangang maronggi
Bujena dhaddi, epolong melle kalabi
Langit yang cerah, terlihat dari keringatnya
Senyum para tani berkat hasil tembakau
Nasi garam dan cabai, berkuah sayur kelor
Garamnya siap, panenlah untuk pakaian yang baru
Selain “Nemor”, track favorit lain adalah “Malem Pengghir Sereng”, dan lagu syahdu “Toron”, sebuah balada rindu kampung halaman yang dirilis jelang Lebaran, membuat kesyahduannya bertambah berkali lipat.
Saat ini saya masih menunggu album penuh Lorjhu’ yang sepertinya bakal menarik dan bisa menjadi tonggak baru rock n roll dari tanah Madura.
2. SK Triolekso
Band yang terbentuk di Institut Kesenian Jakarta membawa unsur terpenting dalam mendengarkan musik metal 1980-an: fun!
Mungkin bagi banyak orang, musik dan lirik yang dimainkan SK Triolekso ini terdengar dangkal, banal, naif, sekaligus monoton. Tapi yang kerap luput dibicarakan adalah: betapa indahnya jadi naif di masa semua orang ingin terlihat pintar dan bijak. Dan tepat di sini, SK Triolekso berada.
Secara personal, SK Triolekso jadi favorit karena memainkan musik langka di jagat musik Indonesia sekarang. Mereka berhasil membawa dekadensi Sunset Strip ke Cikini dan sekitarnya. Tak ada pretensi apa pun kecuali bersenang-senang. Biarkan yang lain menulis lirik kritik dan politis, mereka akan tetap menulis tentang pemuda kebanyakan mabuk, bercinta di sana-sini, dan fantasi-fantasi liar bocah dengan skill memainkan gitar bagai halilintar lalu pergi ke Amerika Serikat dan jadi rockstar.
Lagu kesukaan saya di album perdana Lepas Landas (2020) adalah “Time to Glam” (sebuah pintu gerbang yang berhasil mengenalkan keseluruhan album), “Martua Goes to Amerika” (kisah dongeng ala “18 and Life” dan Pick of Destiny dipadukan dengan balada keluarga Batak), dan “Andalusia”, babad bercinta ringan yang menyenangkan, lengkap dengan solo gitar sepoi-sepoi.
3. Theory of Discoustic
Ini bukan band baru. Album perdananya, La Marupe, sudah rilis 2018 dan jadi pilihan album terbaik 2018 di banyak media. Dan ia masih jadi salah satu album Indonesia favorit saya sepanjang masa. Bagi yang belum tahu, Theory of Discoustic (ToD) adalah band asal Makassar, dan memainkan musik folk (dalam artian musik rakyat) dan banyak menuliskan lirik dalam Bahasa Bugis.
La Marupe sudah menempuh jalur berbeda sejak awal. Album ini direkam di sebuah pabrik semen. Dengan bahan bakar berupa legenda-legenda dari tanah Bugis, ToD merapalnya dengan paten, dan suara vokalis Dian Mega Safitri berhasil membawa pendengar menemui cerita-cerita dan roh nenek moyang mereka.
La Marupe serupa dongeng yang dituturkan kakek-nenek pada cucunya. Tentang tradisi, hidup para pelaut, tentang nilai-nilai, tentang keberanian, juga tentang harga diri. Bedanya, pada masa lampau dongeng dituturkan dengan lisan. Theory of Discoustic merapal dongeng dengan bantuan musik yang padu: combo dahsyatnya.
“Tabe” jadi pembuka yang amat pas. Membuat kita membayangkan sampai di tanah Sulawesi, lalu disambut dengan amat meriah. Sedangkan tak ada yang lebih pas jadi penutup selain “Badik”.
Lagu ini kemudian jadi metafora amat pas, bahwa dalam sigajang laleng lipa, tradisi duel untuk mempertahankan kehormatan, serupa dengan carok di Madura, kemungkinannya hanya dua: pulang ke rumah atau pulang ke pencipta. Bagi yang pulang ke pencipta, maka tirai kehidupan sudah tertutup.
Oh ya, ToD tak bisa kamu temui di layanan streaming seperti Spotify, Deezer, atau Apple Music dan sejenisnya. Untuk mendengarnya, kamu bisa membeli CD-nya, atau mendengarkannya secara gratis di Soundcloud atau situs mereka. Dan percayalah, album ini adalah salah satu album terbaik yang pernah dilahirkan musisi Indonesia.
BACA JUGA Membayangkan Dunia Tanpa Konser dan tulisan-tulisan lainnya di rubrik ESAI.