MOJOK.CO – Terlepas dari hiruk pikuk dan sumuknya Surabaya, saya suka sekali langit sore di sini. Merokok di rooftop sambil menangis melepas kesedihan karena patah hati.
Terus terang, saya kurang paham kalau ada orang bilang kota A itu romantis dan kota B nggak romantis. Yogyakarta, Bandung, dan Malang kayaknya paling sering disebut-sebut sebagai kota romantis. Derajat romantisme Surabaya sepertinya termasuk rendah, untung sambelannya enak-enak. Mungkin gara-gara hawa panas itu orang jadi agak males keruntelan, beda sama Malang atau Bandung. Kayaknya di sini gandengan aja bisa bikin kemringet.
Tahun lalu, saya sedih sekali setelah patah hati dan putus. Setelah melewati fase mengurung diri, saya mulai keluar kamar untuk mencari udara segar. Mencari tempat untuk menangis di Surabaya dengan derajat romantisme yang rendah tentu bukan hal yang sulit. Spot buat pacaran atau lokasi yang mengilhami lahirnya lagu-lagu cinta seperti Malioboro sepertinya nggak terlalu telecekan di sini. Apalagi awan mendung hawa dingin yang cenderung bikin mellow, mana ada. Mari kita bersedih!
Lokasi favorit saya untuk menangis di Surabaya tentu saja di sekitar Pintu Air Jagir. Di pojokan samping PT Jasa Tirta, ada taman berpaving yang kalau malam ada buka warung kopi. Parkirnya gratis, lesehannya bersih, nggak berisik, pemandangan langsung ke riverbank, warungnya juga lumayan komplet. Kadang ada tukang becak tiduran di becaknya atau orang mancing di plengsengan kali, santai banget.
Lumayan juga tempat itu buat menangis. Saya suka menangis sambil ngeliatin sungai. Oh ya udah, hidup itu ngalir kok. Ntar juga ketemu arusnya. Malam itu, saya nangis sesenggukan di plengsengan kali, sendirian sambil rokokan dan minum es teh.
Tiba-tiba, terdengar suara kresek-kresek dari kanan bawah. Saya kira orang mancing, ternyata ada bapak-bapak lagi boker. Ya udah sih, dari zaman dulu kan emang sungai tempatnya orang boker. Kami liat-liatan bentar, lalu kembali ke kesibukan masing-masing.
Lokasi berikutnya di Surabaya untuk menangis adalah lampu merah Siola, di bawah taman gantung yang menghubungkan Siola dengan Koridor Coworking Space.
Sejak ada Street Boba, setiap jam sibuk daerah itu selalu macet. Wah pokoknya kalo ngga minum boba orang-orang ini pada tipes. Kami mau boba sekarang!!! Berikan kami boba atau revolusi?!
Segitu pentingnya distrik badokan itu di Tunjungan, kami para pekerja yang balik dari arah utara harus berdesakan, sedikit manuver biar nggak kesenggol pengendara nggateli yang ngeyel buat nyelip-nyelip. Masih ada bonus ketetesan air siraman taman demi deretan kendaraan yang parkir di pinggir jalan. Kadang baru sampai Kramat Gantung saya udah nyari-nyari topik buat menangis, biar sekalian ntar stresnya.
Kalau kalian mau bersedih karena patah hati sambil nontonin youth culture, bisa mampir ke Skate Park. Ini lokasi bersedih favorit saya sejak kuliah. Banyak remaja latihan nge-dance atau main skateboard, saya kadang ngeliatin mereka sambil mbatin, “Dik, jadi orang dewasa ngga enak. Jancukan pokoke!”
Kehadiran mereka di situ lumayan ngasih saya “teman” biar nggak suwung-suwung banget. Ngelamun di sini bisa mampir beli Gurin (susu campur cincau) dulu di Delta, terus jalan kaki ngeliatin lampu-lampu kota sama air mancur. Baliknya jangan malem-malem, soalnya parkiran Delta terkenal rada angker.
Metode menangis di Surabaya lainnya yang sudah saya coba adalah sambil bersepeda. Berangkat dari Raya Darmo, saya memilih rute ke arah Girilaya. Jalannya agak nanjak, tapi nanti begitu sampai TVRI sampai perempatan Palapa banyak bonus alias jalannya menurun. Dari situ ntar bisa mulai nangis, nggak perlu mengayuh jadi boleh lho kalo hidungnya penuh ingus. Rasanya lega banget nangis sambil ngerasain pipi dielus-elus angin semilir.
Kalau sudah nggak seberapa pengin menangis tapi pikiran masih agak kosong, saya biasanya jalan kaki dari Raya Darmo sampai Tunjungan Plaza. Trotoar favorit saya adalah sepanjang jalan Urip Sumoharjo: ngelewatin toko Arlisah yang legendaris itu, rumah susun dan barisan pohon trembesi di tepi sungai, Plaza BRI, Hotel Bumi, sampai ke Tunjungan Plaza. Langit Surabaya lagi cantik-cantiknya di musim kemarau. Awan-awan gembul mengapung malas di langit biru cerah. Menjelang senja, coba naik ke jembatan penyebrangan depan Hotel Olympic. Kalau noleh ke arah Timur, langitnya warna abu-abu, tapi kalo noleh ke arah Barat, langitnya warna merah muda.
Karena nggak suka clubbing, kadang saya pergi ke pasar tradisional menjelang tengah malam hanya untuk melihat orang berdagang. Saya beli buah, ngeteh di warung, lalu tidur dengan hati yang nggak sepi-sepi amat. Kalau nanti tengah malam kebangun, saya nggak sendirian, ada mereka yang masih terjaga.
Saya menghabiskan banyak waktu untuk tenger-tenger sendirian ketika patah hati tahun lalu. Kadang saya sekadar muter-muter Surabaya nggak ada tujuan, cuma mau lihat lampu kelap-kelip biar nggak kerasa sepi (kayaknya spirit animal saya memang laron). Mungkin saya cuma mau ngerasain kehadiran orang lain, tapi ngga terlalu dekat jadi saya masih punya ruang memproses kesedihan. Atau, mungkin saya pengin ngeliat orang-orang sedih (nggak mungkin saya sendirian yang bersedih!) di jalan, di trotoar, atau di warung-warung. Mereka tetap berfungsi dan beraktivitas seperti biasa, walau hati mereka terasa berat.
Saya jadi ingat salah satu scene di Kamome Diner-nya Naoko Ogigami, “Whereve you go, sad is sad.” Memang benar, sedih dan menangis ini universal. Kalau kata Silampukau, “Sedang dunia punya duka yang sama”.
Saya kurang percaya kalau liburan bisa menghapuskan kesedihan. Setelah dipikir-pikir, saya hanya butuh jeda beberapa saat. Di mana saja boleh. Keluar duit jutaan buat tenger-tenger di balkon sebuah vila di Seminyak boleh juga, tapi topik yang ditangisi ya sama saja dengan menangis di atas seprei bolong-bolong di kamar kos.
Karena terbentur rutinitas dan biaya, saya cuma bisa muter-muter mencari tempat yang sejenak memisahkan saya dari tanggung jawab yang memaksa saya untuk tetap “berfungsi”. Dari periode muram itu, saya belajar buat… ah ngapain belajar? Nggak usah deh, nggak semua kejadian perlu dicari hikmahnya. Saya hanya ingin bersedih. Menangis di beberapa lokasi di Surabaya terasa seperti mengambil jatah bersedih dengan sistem cicilan; hari ini sejam, besok dua jam, begitu terus sampai lega dan bisa menemukan ritmenya lagi.
Terlepas dari hiruk pikuk dan sumuknya Surabaya, saya suka sekali langit sore di sini. Seperti biasa, pulang kerja saya merokok di rooftop kos-kosan sambil menunggu langit perlahan berubah warna dari ungu ke biru tua. Saya menghela napas panjang, “Kok bisa ya ada yang tega bikin saya sedih di tengah cuaca senyaman ini?”
BACA JUGA Ucapkan Jancuk dengan Fasih Sesuai Tajwid Surabaya dan tulisan mengharukan lainnya di rubrik ESAI.