MOJOK.CO – Berkali-kali saya “ditipu” suami saat naik sepeda. Salah satunya ketika kami bersepeda jauh 55 kilometer menuju Waduk Sermo.
Di kalangan teman-teman, kami mendapat julukan “pasutri gabut”. Nah, salah satu contoh kegabutan kami adalah ngide beli sepeda ketika iseng main ke mall.
Saat itu, kami membeli London Taxi. Ini adalah sepeda pertama kami yang kami beli karena lucu dan warnanya pastel. Sudah pasti, kami belum punya banyak pengetahuan tentang sepeda. Pokoknya asal beli dan kami pakai. Namanya aja “ngide”.
Namun, saat itu kami lupa bahwa rumah kami berada di kaki Gunung Merapi. Pilihannya hanya 2 saat bersepeda, yaitu pulang nanjak atau berangkatnya yang nanjak.
Jatuh cinta sama sepeda
Saat awal bersepeda, kami cukup senang bisa menempuh jarak 10 kilometer, lalu nambah jadi 15, dan akhirnya bisa 20 kilometer. Gitu aja kami udah bangga bukan main. Rasanya udah kayak atlet sepeda.
Saking senangnya, kami sering bikin video saat bersepeda. Suatu saat, suami saya terjatuh dari sepedanya ketika merekam saya. Saat itu kami bersepeda ke Prambanan.
Hasilnya, sepeda suami saya rusak. Setelah itu, cukup lama kami tidak bersepeda. Namun, karena sudah kadung cinta, momen “istirahat” ini justru bikin suami punya banyak waktu untuk riset soal sepeda.
Selang beberapa bulan, setelah belajar lebih banyak soal sepeda, suami saya membangun 2 sepeda. Dua sepeda ini menggunakan bahan karbon. Bahan ini kami pilih karena lebih ringan ketimbang besi. Jadi, nantinya kami akan lebih mudah melibas tanjakan.
Nah, di titik ini, terjadi peristiwa “ditipu suami” bagian pertama. Suami saya tidak memberi tahu kalau bahan karbon itu sepeda itu jauh lebih mahal ketimbang besi. Kata dia waktu bikin harganya nggak mahal-mahal amat. Nyatanya, bikin saya marah, dong. Dia itu memang tipe “lebih baik minta maaf daripada minta izin”.
Yah, meski marah, tapi begitu melihat sepeda baru, semangat untuk gowes jadi makin kuat. Kami mulai berani untuk mencoba jarak yang lebih jauh. Mulai dari 40 kilometer, lalu naik ke 50 kilometer. Mantap juga dengkul, ucap kami.
Ditipu suami bagian 2
Sepeda baru dan keberhasilan menempuh jarak 50 kilometer bikin kami merasa keren dan agak sombong. Bersama kesombongan itu, kami mendaftar event audax 100 kilometer. Ini menjadi pengalaman pertama dan menjadi “derita” bagi saya.
Jadi, bersepeda jauh itu bukan soal punya pengalaman “pernah” menempuh jarak sekian kilo. Banyak hal yang harus kamu pertimbangkan. Misalnya, yang paling utama, adalah kesiapan mental. Kalau mental nggak kuat, pasti rasanya jalan itu nggak habis-habis.
Lalu, kamu harus punya manajemen waktu yang baik. Event audax itu ada cut off time untuk finish yang sudah ditentukan.
Makanya, selain kuat mental dan fisik, harus bisa mengatur waktu. Jadi, untuk saya yang nggak pernah mengatur waktu naik sepeda, event audax 100 kilometer jadi terasa sulit. Apalagi di jalan raya, kamu harus selalu waspada dengan keberadaan motor, mobil, dan bus wisata yang ngagetin itu.
Karena tidak pernah menghitung waktu dan jarak, saya jadi mengandalkan suami. Cukup sering dia bilang, “Dikit lagi.” Ternyata yang dia maksud itu 40 kilometer lagi. Itu nggak “dikit” sih untuk pesepeda pemula kayak saya. Dia menipu untuk menguatkan saya HAHAHA.
Awalnya yang dari “Dikit lagi” untuk menguatkan saya. Lalu, akhirnya berubah jadi, “Kuat, yuk. Kuat.” Sampai terakhir bilang, “Nggak finish nggak papa, kok.”
Awalnya, yang bakal membuat saya menangis adalah tanjakan. Ternyata, yang bikin nangis adalah panasnya Jalan Piyungan tepat pukul 12 siang. Terik matahari siang itu bikin jalan terasa tidak ada habisnya.
Namun, panasnya siang itu luntur setelah mendengar suami saya bilang, “Nggak finish nggak papa, kok.” Kalimat itu malah memacu saya untuk semangat. Saya merasa apa yang udah dimulai, harus diselesaikan. Hati mungil saya ter-trigger. Ya masa nggak finish di bawah cut off time (COT), sih. Anjay
Alhasil kami bisa menyelesaikan audax 100 kilometer ini. Kami dapat medali, kebanggaan, kulit gosong, dan badan sakit semua. Namun, kami malah ketagihan.
Kepercayaan diri yang terbangun berkat audax 100 kilometer
Setelah berhasil menyelesaikan audax 100 kilometer, kami bersepeda normal pada umumnya. Jaraknya antara 20-30-50 kilometer dengan rute biasa.
Bedanya, kepercayaan diri saya jauh lebih bagus. Kalau 100 kilometer saja bisa finish, ya masak nggak lagi.
Setelah event itu, kami mendapat tawaran untuk ikut bersepeda gravel. Rutenya lewat persawahan, jalan cornblock, pokoknya jalan-jalan tidak rata dan berbatu. Masalahnya, jalur gravel hanya bisa dilalui sepeda dengan ban besar. Sementara itu, sepeda saya yang sekarang hanya bisa ban kecil.
Karena aku sangat excited, suatu hari suami menghadiahi sepeda Polygon Bend R2. Sepeda ini bisa dipakai di segala medan. Alhasil, sekarang di rumah ada 5 sepeda. Senang!!! Ya masa udah ada sepeda road dan gravel masih nggak semangat sepedaannya.
Ternyata rute gravel sangat menyenangkan karena tidak balap-balapan. Alias speed harus pelan kalau mau selamat melewati jalur yang tidak rata. Kami beberapa kali ikut bersepeda road bike dengan teman-teman. Saya selalu kewer alias ketinggalan karena speed mereka ugal-ugalan.
Persiapan bike camping, naik sepeda ke Waduk Sermo
Selang beberapa bulan, tepat di hari ulang tahun suami. Untuk merayakannya, saya ngide untuk bike camping naik sepeda.
Setelah berselancar di media sosial dan atas rekomendasi teman, akhirnya kami setuju untuk bike camping di Waduk Sermo. Kami cek dari rumah jaraknya hanya 55 kilometer. Ah, pasti easy!
Jadi kami hanya perlu naik sepeda dan bawa baju ganti. Soal tenda, di Waduh Sermo sudah tersedia. Saya mengurus semua kebutuhan tenda dan makan. Suami mengurus rute. Dia yang lebih paham Google Maps dan memakai aplikasi Komoot untuk membuat rute.
“Gravelan ya kita nanti,” ucap suami. Tentu gas saja ucap saya. Saya pernah nyeletuk kalau sudah gravel karena nggak kebut-kebutan.
Karena tenda baru bisa ditempati pukul 3 sore, kami berangkat dari rumah pukul 10 pagi. Estimasinya, sampai di Waduk Sermo bisa pas pukul 3 sore. Naik sepeda 4 jam dengan speed santai, lah.
Ditipu suami bagian 3
Ingat, suami yang bikin rute. Katanya, rute gravel ini enak, kok. Namun, ternyata rute yang suami bikin sungguh di luar dugaan.
Saya pikir, dia akan bikin rute seperti biasanya. Misalnya, lewat persawahan dan jalan berbatu. Namun, kesulitan yang terjadi lebih dari itu semua.
Jalurnya: kami melewati gang-gang kecil. Bahkan saking kecilnya, hanya pejalan kaki atau sepeda yang bisa lewat. Papasan saja tidak bisa. Sesekali kami melewati kendang sapi dan kambing.
Perjalanan jadi terasa sangat lama. Selain jalan yang belum pernah kami lalui, juga jarang ketemu penduduk. Benar-benar hutan dengan sedikit sinyal.
Setelah 2 jam berlalu, lalu masuk jam ketiga, terlihat jalanan yang sangat tidak masuk akal bisa dilewati dengan mengayuh sepeda. Bahkan saking tidak masuk akalnya, motor Honda Beat karbu saya pasti nggak bisa jalan ini.
Bahkan warga sempet meneriaki kami, memberi tahu kalau kami menuju jalan buntu. Katanya, di ujung jalan, sudah berdiri perumahan. Namun, suami tetap percaya diri dan bilang kalau di sana ada jalur. Dan ternyata warga benar. Itu jalan buntu.
Untuk melewatinya ada 2 cara. Kami bisa melewati jalanan itu dengan menuntun sepeda atau melewati jurang. Gokil!
Fun bike sudah mulai menjadi reog bike
Selama menempuh jalur yang ruwet itu, saya berulang kali harus menuntun sepeda. Kemiringan jalan itu saja sudah susah untuk ditempuh jalan kaki, apalagi kalau sepeda. Makanya, energi saya habis dengan cepat.
“Masih jauh nggak, sih?”
“Dikit lagi. Tinggal 12 kilometer lagi,” jawab suami.
Jadi, 12 kilometer itu, kalau naik sepeda, bisa cepat. Makanya, saya masih berusaha untuk percaya diri.
Namun, masalahnya, jarak 12 kilometer itu lewat jalur yang tidak biasa. Awalnya jemawa bisa sampai Waduk Sermo sebelum pukul 3 sore. Menjelang pukul 3 sore, kami masih di antah-berantah. Emosi saya mulai tidak stabil.
Jalur antah-berantah ini penuh dengan tanjakan dan turunan. Jika ditanya lebih takut tanjakan atau turunan, saya lebih takut turunan curam. Sebelumnya, saya sudah pernah tersungkur hingga jersei robek karena turunan yang curam.
Nah, saat itu, ada sebuah turunan curam dan terjal yang harus kami lewati. Saking terjalnya, sepeda saya sampai getar tidak karuan. Garmin di sepeda saya sampai muncul notifikasi bahwa saya “On emergency, call emergency number.” Sementara itu, emergency number saya adalah suami yang sudah di depan. Jantung saya berdetak sangat brutal dan keringat bercucuran.
Penderitaan menuju Waduk Sermo
Karena kelelahan, kaki saya sempat kram. Semua gula-gula yang ada di saku untuk menambah energi sudah mulai habis. Saat itu juga kondisi mulai gelap.
Penderitaan berlanjut ketika di depan kami ada tanjakan dengan gradient 20%. Buat saya ini miring banget. Ketika suami berhasil mengayuh sepeda sampai atas, saya hanya bisa menuntunnya. Sampai di atas, ternyata rantai sepeda suami putus. Kapok!
Saya sudah sangat kesal sama suami. Rute macam apa yang kamu bikin. Sudah begitu, di puncak tanjakan yang miring itu terdapat plang besar bertuliskan “Dilarang melintas selain Perhutani”. Wah yang bikin rute ugal-ugalan. Namun, kami tetap melintas meskipun bukan Perhutani.
Setelah selesai membenahi rantai, ternyata jalan menuju jalan raya satu-satunya adalah jalan berbatu. Batunya besar-besar lagi. Saya jamin, nggak ada pesepeda pro yang bisa melewati jalur ini dengan mengayuh sepeda. Taruhannya adalah jatuh ke jurang. Dengan “permisi” permisi karena sudah mulai agak gelap dan takut kesambet, kami menuntun sepeda sampai jalan raya.
Kehabisan energi di atas sepeda
Bau air sudah tercium, dikit lagi nih. Ternyata di jalan raya itu jalanan menanjak tidak ada habisnya. Tentu saya lebih banyak menuntut sepeda ketimbang mengayuhnya. Selain energi yang sudah habis, kemiringannya juga lumayan. Saat itu kami sudah menyalakan lampu karena mulai gelap dan mendung.
Saya nggak henti-hentinya memberi sugesti ke diri sendiri: “Dikit lagi”.
Namun, penderitaan nggak habis-habis juga. Saat energi udah mulai habis, eh kami salah jalan. Penyedia tenda sudah berulang kali menanyakan kami sampai mana. Saya cuma bisa menjawab, “Sedikit lagi.” Namun, sampai 2 jam kemudian, kami tak kunjung sampai.
Lelah di atas sepeda yang terbayar tuntas
Akhirnya, gerimis menyambut kami di lokasi. Kami sampai tepat saat azan Magrib berkumandang. Target pukul 3 sore sudah sampai, ternyata mundur sampai 2,5 jam. Tidak ada hal lain yang bisa saya lakukan selain meluruskan kaki dan mengucapkan syukur meskipun masih marah ke suami.
Untung saja tenda kami sangat lucu. Posisi tenda kami tepat di pinggir waduk tanpa terhalang tenda lain. Penyedia tenda juga sudah menyediakan daging untuk grill. Minuman dan alat masak juga sudah tersedia.
Meski tidak mendapatkan sunset, semua penderitaan ini terbayar. Tenda kami nyaman, hangat, dan instagramable untuk dipamerkan ke medsos hehe. Dunia perlu tahu kalau saya bisa sampai sini itu harus nangis dulu di atas sepeda.
Malam harinya kami mengobrol, makan Pop Mie dan daging untuk merayakan ultah suami. Saya mau banget ke Waduk Sermo lagi, tapi nggak lewat jalur biadab itu, batin saya. Kami memang bisa tidur dengan nyenyak karena kelelahan. Namun, tetap saja kepikiran jalan pulang ke kaki Gunung Merapi.
Semua perjalanan di atas sepeda menuju Waduk Sermo memberikan pesan bahwa tidak semua jarak yang kelihatannya “hanya” 55 kilometer itu sama. Seperti kehidupan, jika melihat pencapaian orang lain terlihat hanya “segitu aja” ya jangan diremehkan. Kita tidak tahu seberapa susah dia mencapai titik itu. AZHEKKK!
Penulis: Khoirunnisa Fayakun Yusono
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Akhirnya Saya Tahu Alasan Orang Beli Sepeda Mahal Sampai Ratusan Juta: Gagal Finish, tetapi Setidaknya Gagal Secara Nyaman dan Bermartabat dan catatan seru lainnya di rubrik ESAI.












