MOJOK.CO – Rambu lalu lintas di Jogja tertutup papan reklame dan sampah visual. Sebuah kondisi yang membahayakan nyawa pengendara dan pengguna jalan.
September 2023 yang lalu saya mudik ke Jogja setelah sekitar 4 tahun tinggal di Perth, Australia. Saya menghabiskan kepulangan selama 10 hari ini untuk bertemu keluarga dan teman, lalu ziarah. Setelah itu, saya makan gudeg dan kuliner lain yang jarang atau tidak pernah saya jumpai selama merantau.
Entah saya sudah menempuh berapa ratus kilometer jalanan Bantul, Sleman, dan seputaran Kota dengan sepeda motor dan mobil di waktu berlainan. Dan, dari berlalu lintas di Jogja ini, saya tahu bahwa reverse culture shock itu nyata berkat kondisi jalanan dan kenyataan soal rambu lalu lintas.
Sebagai disclaimer, pertama, kenapa harus menyinggung lalu lintas Jogja? Ya karena saya memang mudiknya ke situ. Kedua, dengan membandingkan Australia dengan Indonesia, tidak berarti yang satu lebih baik dari yang lain. Tulisan ini lebih pada pengalaman pribadi bahwa saya mendapati berkendara di kampung halaman jadi tantangan tersendiri bagi perantau yang sudah terlalu lama tidak pulang. Salah satunya mencari “keberadaan” rambu lalu lintas.
Reverse culture shock yang saya rasakan di Jogja
Sebelum lanjut, ada baiknya saya mengenalkan reverse culture shock. Ringkasnya, ia adalah pengalaman gegar budaya yang dialami oleh seorang perantau yang telah tinggal di tempat (umumnya negara) lain ketika balik ke tanah airnya. Ia adalah kebalikan dari culture shock yang merujuk pada kekagetan budaya yang dialami perantau saat tiba di negara atau tempat baru untuk pertama kalinya.
Selama di negeri orang, si perantau mengalami perubahan dan terpapar pada budaya yang berbeda. Sementara, kampung halaman dan orang-orang yang dikenalnya mungkin berubah, mungkin juga tidak. Nah, ketika keduanya bertemu kembali setelah sekian lama, si perantau akan mendapati dunia yang berbeda atau dunia lama yang dia sudah tak lagi terbiasa. Misalnya kondisi rambu lalu lintas di Jogja yang “membingungkan” untuk saya yang lama di Australia.
Masing-masing orang akan berbeda dalam merespons ini. Namun, secara umum, ada kebingungan, rasa tidak nyaman, disorientasi, dan bahkan ada yang merasa terasing di kampung sendiri.
Sejauh ini, 4 tahun adalah waktu terlama saya merantau tanpa mudik. Dan, selama 4 tahun itu, saya membangun kebiasaan (mungkin lebih tepatnya keterpaksaan) mengikuti aturan yang ada di Australia, khususnya dalam berlalu lintas.
Lalu lintas di Australia
Lalu lintas di Australia nyaris seperti conveyor belt. Di jalan umum, kendaraan bergerak tertib di jalurnya dan pada kecepatan yang nyaris sama. Tidak boleh terlalu lambat dan tidak boleh melebihi batas kecepatan maksimal.
Selain itu, jumlah kendaraan roda 2 amat sedikit. Dari 19 jutaan kendaraan bermotor (bus dan truk termasuk), jumlah sepeda motor 900 ribu pada 2020. Artinya, dari 100 kendaraan bermotor, paling banyak hanya ada 5 kendaraan roda dua (kadang-kadang roda tiga juga, sih).
Tentu rasio ini jauh berbeda dibandingkan Indonesia. Sehingga, semacet-macetnya, selalu ada jarak antara kendaraan dan tidak ada pemandangan pesepeda motor melipir-melipir kemudian mengisi ruang di sela-sela antar mobil.
Lalu lintas dan cara berkendara diatur sedemikian rupa dan standar keselamatan sangat tinggi (sampai level lebay kadang-kadang saya ngerasanya). Nah, keteraturan semacam inilah yang jadi biang keladi reverse culture shock saat mudik dan mendapati kemacetan serta kondisi rambu lalu lintas di Jogja.
Rambu lalu lintas Jogja yang bikin jantung berdebar-debar
Saya berkali-kali harus tratapan atau ‘kaget yang membuat jantung berdebar-debar’ karena adanya pengendara (selalu sepeda motor) yang melawan arah dengan laju yang sama kencangnya. Mereka ini seperti rejeki, muncul dari tempat-tempat yang tak bisa diduga. Misalnya, saya sering menjumpai keadaan ini di ring road utara dan selatan.
Seperti saya bilang. Karena semuanya cenderung teratur, nyaris tak ada “kejutan” berarti selama saya berkendara di Australia. Apalagi sampai yang membahayakan seperti ini.
Hal kedua yang saya lupakan adalah jenis pengendara berleher beton. Mereka ini adalah pengendara yang keluar dari gang atau jalan kecil ke jalan besar tanpa berhenti dulu, lalu menengok ke kanan untuk memastikan jalur aman, baru kemudian belok kiri ikut arus lalu lintas. Padahal sudah ada rambu lalu lintas yang bisa menjadi patokan.
Adverbia Jawa mak kluwer ini sepertinya sudah lama tidak ada dalam direktori pikiran saya. Sudah begitu, saya sudah lupa bagaimana cara mengantisipasi dan/atau meresponsnya. Entah berapa kali saya mengumpat. Dan cuma itu yang saya lakukan.
Selain tratapan dan misuh, saya juga dibuat tak berdaya pada satu situasi. Kali ini objeknya adalah bundaran.
Bundaran UGM yang bikin otak nge-blank
Suatu sore saya harus melewati bundaran Universitas Gadjah Mada. Saya dari barat mengarah ke Demangan. Ini adalah bundaran tanpa lampu dan rambu lalu lintas pertama yang saya harus lewati sejak mudik ke Jogja.
Begitu mendekati bundaran itu, otak saya nge-freeze. Blank. Nggak bisa mikir. Saya injak pedal rem. Untuk beberapa saat saya sempat berhenti.
Saya banyak menjumpai bundaran di Australia. Khususnya di kawasan permukiman dan biasanya tidak ada lampu pengatur lalu lintasnya.
Selain sebagai tempat untuk putar balik yang aman, bundaran juga sebagai sarana untuk pengendara menurunkan kecepatan. Nah, aturannya, siapa saja yang akan masuk ke bundaran, entah mau belok kiri, terus, atau belok kanan, harus melambat dan memastikan tidak ada kendaraan dari arah kanan yang mau masuk ke bundaran.
Bundaran di Jogja tidak mengenal aturan seperti itu. Sambil memegang setir mobil, saya panik. Saat berhenti beberapa saat itu saya mikir mesti gimana. Saya bahkan sudah lupa bahwa di sini lampu dim dan klakson, bahkan lampu hazard punya guna yang berbeda dengan di Australia.
Untungnya saya lekas ingat “cara Medan”. Kasih maju saja pelan-pelan, nanti pengendara lain akan paham. Dan berhasil. Tapi, di hari-hari berikutnya saya memilih untuk menghindari lewat Bundaran UGM.
Soal marka dan rambu lalu lintas
Satu hal yang paling mencolok dalam lalu lintas di Australia adalah dominannya marka dan rambu lalu lintas. Dua penanda ini ada di semua tempat yang seharusnya dan tidak boleh terhalangi atau terganggu agar dapat terlihat jelas oleh pengendara.
Di pertigaan atau perempatan di kawasan perkotaan, sebagai contoh, umumnya terdapat antara 3 hingga 5 lampu pengatur lalu lintas untuk dari satu arah. Misalnya, ada 2 atau 3 sebelum persimpangan dan 1 atau 2 setelah persimpangan. Jumlah sebanyak ini dan memastikan tidak ada yang menghalangi rambu lalu lintas adalah ikhtiar untuk keselamatan bersama.
Nah, kebiasaan saya melihat marka dan rambu lalu lintas tanpa penghalang dan gangguan ini terbawa sampai di Jogja. Saya lupa, bahwa selain terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan, Jogja juga terbuat dari papan reklame, pamflet, dan poster berbagai rupa dan ukuran, khususnya di persimpangan jalan raya.
Akibatnya, saya beberapa kali ngeblong (‘menerobos’) lampu merah karena distraksi visual yang luar biasa kepada rambu lalu lintas. Mata saya kehilangan kemampuan untuk membedakan mana warna merah lampu dan mana papan Mixue; mana lampu hijau dan mana bendera partai. Untungnya saya nggak berani kencang-kencang mengemudi di Jogja, jadinya masih aman, selamat dan dilindungi.
Kualitas “tersembunyi” pengendara Indonesia
Dari pengalaman berlalu-lintas selama mudik ini saya mendapati setidaknya 3 kualitas orang Indonesia, khususnya di Jogja, yang mumpuni. Pertama adalah luwes dengan ketakterdugaan. Selalu siap sedia menghadapi pengendara yang melawan arah, yang mak kluwer, atau yang mendahului dari kiri terus belok kanan.
Kedua, adalah kemampuan untuk mencari celah. Pengalaman menembus Bundaran UGM mengingatkan saya bahwa dalam segala keruwetan, selalu ada ruang yang akan terbuka untuk dimasuki. Selalu ada kesempatan dalam kesempitan meski rambu lalu lintas tidak terlihat mata pengendara.
Kualitas ketiga adalah optimalisasi fungsi. Pabrikan merancang dan merakit kendaraan sedemikian rupa dan menyertakan kelengkapan dengan fungsi-fungsi tertentu. Ketika di jalan-jalan di Australia klakson, lampu dim, dan lampu hazard jarang sekali digunakan. Nah, di Indonesia, barang-barang itu dapat menjalankan tugasnya, untuk fungsi yang saya rasa melampaui atau bahkan mungkin tak terbayangkan oleh para insinyur perancangnya.
Misalnya, lampu hazard yang mestinya dipakai untuk menandai ada mara bahaya. Ketika dinyalakan oleh mobil tertentu, ia jadi semacam cara untuk membuka jalan agar bisa melaju lebih cepat ketimbang sesama pengguna jalan lainnya. Padahal ada rambu lalu lintas dilarang mendahului di jalanan Jogja.
Dan yang terakhir ini tentu saja merupakan praktik yang amat jamak di Indonesia. Makanya tidak perlu heran kalau seseorang tiba-tiba anaknya jadi ketua partai atau calon wakil presiden. Mungkin seseorang itu sekadar mempraktikkan kebiasaan optimalisasi “fungsi fitur kendaraan” yang dia punya. Hehe.
Penulis: Sugiyanto Widomulyono
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jalan Seturan Raya, Kawasan Paling Ribet di Sleman yang Semakin Ruwet karena Jogja Sendiri dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.