MOJOK.CO – Karena Mas Nadiem Makarim ini lumayan down to earth, saya harap beliau aware sama kondisi lapangan sebelum mau ngajak kita “Merdeka Belajar”.
Terima kasih buat Mas Nadiem Makarim yang sudah woke dengan pendidikan kita yang kaku banget. Walaupun saya sudah keburu lulus dari bangku SMA, saya tetep nyimak kebijakan Mendikbud yang satu ini.
Mas Nadiem Makarim menginginkan lingkungan belajar yang cukup open-minded buat siswa supaya mau mengembangkan potensinya, dengan memanfaatkan keunggulan teknologi dan kearifan lokal yang ada.
Oke maaf, kedengeran belibet ya. Tapi yang jelas, Mas Nadiem udah ngerti, kalau manusia sebagai individu itu otonom, punya keunggulan tersendiri. Rasanya nggak adil kalau nge-judge siswa bodoh karena nilainya jelek di mapel tertentu.
Atau, siswa yang selama ini belajar dengan menghapal rumus supaya “pintar”. Paham atau nggak paham materinya ya bodo amat. Saya rasa ini kasus yang umum banget.
Untuk itu, Mas Nadiem Makarim membuat planning tentang sistem pembelajaran yang berbasis teknologi dan mengerahkan keunggulan yang ada untuk menggali potensi siswa.
Kayak yang dibilang sendiri pada webinar Kemendikbud pada 5 Mei 2020 kemarin, semua dimulai dari guru. Tenaga pengajar nggak boleh gaptek dan harus lebih berpikir terbuka.
Intinya, Mas Menteri nggak mau ada anak berprestasi yang nggak naik kelas hanya karena nilai bahasa dan matematikanya jelek seperti kejadian yang sudah-sudah.
Kebijakan Mas Nadiem Makarim ini bikin saya teringat sama masa-masa di mana ada menteri yang ingin menginginkan siswa untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan sendiri, nggak lagi disuapin.
Iya, Kurikulum 2013.
Nggak lama saya di SMP, saya sudah dijadiin proyek (katanya) “coba-coba” Kemendikbud ini. Kurtilas, yang sering diplesetin guru-guru di ruangan mereka jadi “Kurikulum Tidak Jelas”.
Barangkali karena sudah berpuluh-puluh tahun belajar dengan sistem disuapin, begitu Mendikbud tiba-tiba bilang “siswa harus mencari ilmu sendiri”, guru-guru senior belum tentu pada ngerti harus ngapain.
Yang ada, mereka malah nyinyir, “Oke, murid belajar sendiri, terus guru tugasnya ngapain?”
Ujung-ujungnya, para guru terpaksa mengajar dengan metode “asal ikut SOP”. Siswa dibikin gila sama tugas yang sama gilanya, sementara guru tinggal masuk kelas sambil bilang, “Yak, bagi kelompok buat presentasi. Habis presentasi, ulangan,” tanpa sepatah introduction dulu.
Jadi, sekali lagi monmaap ya, Mas Nadiem. Tapi kalau Mas berpikir tentang sebuah loncatan jauh ke depan, saya pikir melihat kondisi ekonomi politik Indonesia kek begini, kok agak utopis ya?
Kalau anak IPS yang lagi belajar sosiologi, harusnya tahu kalo perubahan yang cepat dan skala besar harus dibayar dengan kematangan rencana, stabilitas, dan dukungan mayoritas kalangan.
Ah, Mas Nadiem Makarim yang lulusan kampus luar negeri pasti udah tau lah ya. Tapi karena Mas Nadiem ini lumayan down to earth, saya harap beliau aware sama keadaan di lapangan.
Satu, nggak ada yang bisa jamin kalo kebijakan Merdeka Belajar ini bakal awet bahkan seandainya Mas Nadiem Makarim nggak kena reshuffle sekalipun. Ya, gampangnya tinggal berkaca aja sama kebijakan Menteri Kelautan kita yang “cerdas nggak ketulungan” setelah Bu Susi nggak jadi menteri lagi.
Kalaupun, syukur-syukur kebijakan yang keren ini bakal dilanjutin, menteri pengganti Mas Nadiem nanti bukan tidak mungkin ada aja tingkah pecicilan dan program tarik cicilannya. Tarik ulur ini lah, kaji ulang itu lah, dan hal lain yang bakal ngehambat seperti yang sudah-sudah.
Dua, belum tentu semua siswa dan guru bisa ngerti apa yang sebenarnya dimau dari Merdeka Belajar ini. Kalau berkaca dari drama Kurtilas yang iklannya sampe di-bully itu, jangan sampe cuma asal jalanin SOP tapi nggak kena target, gitu loh.
Katakan aja, guru dituntut harus lebih open-minded, nggak gaptek, dan mengembangkan kemampuan siswa dengan keunggulan yang ada.
Sekarang gini. Banyak loh guru di luar sana yang ngotot nggak mau berkembang. Apalagi guru senior. Contoh, guru matematika yang kalau ulangan harus pakai cara yang dia ajarin dan nggak boleh pake cara lain.
Kan berabe kalau mindset guru seperti mereka harus dilurusin satu-satu. Kalaupun berhasil, ujung-ujungnya malah menghasilkan guru yang pasif dan ho’oh saja sama opini murid, tanpa ada tukar pikiran. Salah juga.
Dari sisi siswa, kita inget lagi deh kenapa bimbel-bimbel bisa lahir di Indonesia. Pada dasarnya, nggak semua siswa bisa ngerti dengan cepat apa yang diomongin gurunya di sekolah.
Begitu juga dengan ngertiin konsep suatu pelajaran seperti Hukum III Newton, stokiometri, atau pelajaran ngejelimet lainnya. Ujung-ujungnya, teknik menghapal yang bertindak.
Saya rasa Mas Nadiem sudah tahu, kalau semua orang memiliki kecepatan memahami sesuatu yang berbeda-beda. Makanya, kalau pemahaman materi jadi tolak ukur kesuksesan pendidikan, sekalian aja bikin sistem SKS buat anak SD. Yang cepet ngerti materi, cepet lulus. Selesai.
Tiga, kita belum siap infrastruktur buat ngedukung apa yang namanya “pembelajaran berbasis teknologi”. Apalagi, ada rencana Kemendikbud buat mempermanenkan perkuliahan dan pembelajaran online.
Iya sih, produk dari program “Merdeka Belajar” ala Nadiem Makarim ini sangat zaman now dan cucok buat era industri 4.0 banget. Cuman mohon maaf, lagi-lagi tolong pertimbangkan aspek “pemerataan”.
Nggak usah jauh-jauh bahas kuliah online dulu. UNBK aja yang cuma empat hari, nggak semua sekolah di seluruh Indonesia siap, bahkan di Provinsi Jawa Barat dan Banten yang jaraknya sejengkal dari Jakarta.
Gini, buat masa pandemi aja, orang perkotaan yang harusnya ada segalanya masih kesulitan buat masalah kuota. Apalagi di pelosok daerah yang ampe harus manjat ke atas pohon.
Mas Nadiem Makarim paling juga udah tahu kabar ada anak didiknya yang tewas terjatuh dari menara masjid karena nyari sinyal buat kulon beberapa waktu lalu.
Entah kenapa, dari zaman M. Nuh pas saya SMP, belum ada menteri yang perhatiannya membenahi masalah dulu. Pemerataan minimnya fasilitas belajar di daerah pelosok—misalnya. Semua menteri langsung pengen mau main ngajak lari aja, padahal masalahnya belum diberesin.
Kalaupun barangkali Mas Nadiem berpikir dengan bikin terobosan “pembelajaran berbasis teknologi” seperti ini bakal maksa pembangunan infrastruktur pendidikan dikebut, saya ragu. Lah gimana? Menteri yang se-kabinet aja suka nggak jalan bareng dan nggak sedikit yang kerjaannya cuma “kejar setoran” ke partainya doang.
Jadi gini, Mas Nadiem yang terhormat. Nggak ngeledek atau nyinyir rencana kebijakan Merdeka Belajar kok. Ini murni wanti-wanti secara tulus.
Nggak ada salahnya—bagus malah—jika semua orang ngebet pendidikan Indonesia semaju Malaysia atau Finlandia. Cuman, kita dihambat dari semua aspek. Nggak orangnya, nggak teknologinya, nggak pejabatnya. Barbar banget emang.
Apakah program Merdeka Belajar ini bakal jadi sistem pendidikan campursari seperti kurikulum sekolah kita yang “Kurtilas enggan KTSP nggak mau”? Atau kita bakal merasakan kebijakan ini sukses 20 tahun lagi? Hm, lama juga ya. Udah kayak antre naik haji aja.
BACA JUGA Pidato Nadiem Makarim “Gelar Bukan Segalanya” Ditujukan ke Siapa Sih? atau tulisan Vinito Rahmat Febriano lainnya.