Profil Sekolah yang Dituduh Zalim karena Nggak Kasih Diskon SPP

Selama pandemi, beberapa profil sekolah harus mengeluarkan biaya tambahan demi pembelajaran yang lebih baik.

Profil Sekolah yang Dituduh Zalim karena Nggak Kasih Diskon SPP MOJOK.CO

Profil Sekolah yang Dituduh Zalim karena Nggak Kasih Diskon SPP MOJOK.CO

MOJOK.COSejak pandemi, profil sekolah swasta mendapat sorotan. Ada dari mereka yang memberi diskon SPP, ada yang nggak.

Tentu saja masing-masing sekolah memiliki dasar yang kuat ketika membuat kebijakan seperti itu. Salah satunya, buat yang nggak ngasih diskon SPP adalah kebutuhan memenuhi kebutuhan pembelajaran online. Misalnya membangun kabel LAN, memasang wifi, membeli lisensi Zoom, dan lain sebagainya. Intinya, ada yang sampai harus membuat studio mini demi kenyamanan murid-muridnya dalam belajar.

Bisa dibayangkan biaya yang perlu dikeluarkan untuk membangun studio mini. Oleh sebab itu, ada yang nggak bisa memberi diskon SPP. Oleh banyak orang, terutama emak-emak di media sosial, profil sekolah swasta yang nggak bisa ngasih diskon dituduh zalim.

Belum lama, di sebuah laman Facebook, seorang ibu curhat dengan menuliskan judul: “Adakah Sekolah yang Zalim?”.

Saya jadi geli membaca isi curhatan itu. Di balik kegelian saya, ada rasa jengkel yang tersembunyi. Gemes aja gitu. Kok bisa, lembaga pendidikan dengan profil sekolah tertentu yang telah memberikan pendidikan akidah, akhlak, serta ilmu pengetahuan dikatain zalim hanya karena nggal ada diskon SPP. Alasannya, kegiatan pembelajaran masih online, belum tatap muka.

Halo, emak-emak solehah, yang nyuruh sekolah online bukan lembaga pendidikan. Pemerintah, lewat Surat Edaran (SE) Mendikbud nomor 4/2020 yang diperkuat dengan SE Sekjen nomor 15/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan BDR selama darurat Covid-19, yang pengin sekolah online dulu.

Mas Menteri Nadiem Makarim, lewat situsweb resmi Kemendikbud menuturkan tujuan dari pelaksanaan Belajar Dari Rumah (BDR) adalah memastikan pemenuhan hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan selama darurat Covid-19, melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk Covid-19, mencegah penyebaran dan penularan Covid-19 di satuan pendidikan dan memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, peserta didik, dan orang tua.

Pembelajaran daring beberapa profil sekolah difokuskan pada peningkatan pemahaman siswa mengenai pandemi Covid-19. Aktivitas dan tugas pembelajaran tentu bervariasi, sesuai minat dan kondisi profil sekolah masing-masing, termasuk dalam hal kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah. Bukti atau produk aktivitas belajar diberi umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna dari guru, tanpa diharuskan memberi skor/nilai kuantitatif.

Kemudian, Mas Menteri menerbitkan Surat Edaran Nomor 4/2020 tentang Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Coronavirus Disease (Covid-19). Salah satu pokok penting edaran ini adalah keputusan pembatalan Ujian Nasional (UN) 2020.

Masih ingat, kan, waktu itu Maret 2020 dan dua bulan berikutnya harusnya UN. Namun, UN dibatalkan demi kesehatan anak bangsa. Apa ya masih belum jelas ketika beberapa profil sekolah memutuskan online?

Saya bertanya kepada rekan guru yang bertugas di studio sekolah. Salah satunya proses membangun studio mini yang membutuhkan duit yang nggak mini jumlahnya, mencapai ratusan juta rupiah.

Beberapa profil sekolah harus membeli peralatan pencahayaan, dua kamera, sound mixer, video switch, dan mikrofon kondenser. Semuanya dibeli secara bertahap. Tentu saja karena mehong alias mahal.

Studio mini yang seluruh temboknya berwarna hijau itu dipakai untuk pembuatan video pembelajaran. Selain itu, dipakai buat streaming YouTube, webinar, maupun kegiatan lainnya yang membutuhkan pengambilan gambar dan suara.

Guru yang memanfaatkan studio itu tidak secara instan begitu action di studio, lalu jadi video. Masih harus lewat proses diedit dulu melalui aplikasi. Biasanya dari hape masing-masing guru yang bikin bahan ajar.

Tentu hape butuh kuota, bukan? Biaya lagi. Selain itu, beberapa guru dari profil sekolah tertentu harus meluangkan waktu untuk mengedit video. Kapan mereka punya waktu luang? Tentu saja di malam hari. Jadi, ketika pandemi, tugas guru dan sekolah bertambah banyak. Semua demi memenuhi hak murid, yakni pembelajaran yang menyenangkan.

Sekolah, guru, murid, dan wali murid itu ibarat sebuah rumah yang di dalamnya ada ayah, ibu, dan anak-anak. Jika setiap anggota keluarga saling menghargai, tentu aura rumah itu sangat tenang dan dirindukan.

Ayah, sebagai kepala rumah tangga, dihargai sepenuh hati dan segenap jiwa. Ibu disayangi dengan tulus dan anak-anak diberi fasilitas belajar dan bermain yang sesuai. Tentulah rahmat Tuhan akan turun bertubi-tubi. Ibadah menjadi nikmat. Dan syaitan laknatullah kabur karena tak ada celah masuk ke dalam hati individunya.

Clear ya sampai di sini?

Urusannya panjang jika ngomongin curhatan emak-emak yang sampai ke ranah medsos. Bukannya apa, betapa konyolnya sebuah curhatan yang mengatakan bahwa profil sekolah tertentu itu zalim karena nggak ngasih diskon SPP.

Apalagi dengan bahasa yang seolah-olah yang salah itu sekolahnya. Protes dengan kebijakan sekolah online, tapi masih banyak yang tidak mau memilih opsi belajar di sekolah. Protes dengan tugas anaknya yang katanya tiap hari bikin rempong, tetapi menolak jika si anak tak ada sekolah online alias sekolah diliburkan tanpa tugas.

Ribet banget kan? Iya, sejak zaman Alif sampai Qaf yang namanya emak-emak itu kudu disekolahin lisannya biar nggak nyakitin banget.

Masih mau mengolok-olok lembaga pendidikan?

Saya seorang guru. Mengajar di sekolah swasta. Saya juga memiliki anak yang sekolah di sekolah swasta. Saya tahu betul ribetnya seorang guru menyiapkan anak bangsa agar tetap bisa belajar di masa pandemi di profil sekolah tertentu.

Sekolah sibuk menyiapkan kelas virtual yang nyaman tanpa terputus dari pukul tujuh pagi sampai pukul satu siang. Tak pernah terbersit secuil pun di hati saya, kapan ya sekolah anakku memberi diskon SPP? Tidak pernah.

Karena saya meyakini bahwa ilmu itu cahaya. Cahaya hanya akan masuk kepada ruh yang bersih. Ruh itu hati. Dan hati yang bersih terlihat dari tutur kata. Tutur kata bisa dinilai oleh semua orang melalui tulisan. Salah satunya tulisan di medsos! Jadi, hati-hati curhat di medsos. Suatu saat anak Anda akan membacanya, dan dia akan meniru!

Oh no…..

BACA JUGA Apa Iya Pendidikan Abad 21 Cuma Bakal Berisi Belajar Online, Doang? Dan artikel menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version