Duka di Sumbu Filosofi: Jerit Pilu PKL Malioboro yang Dipermainkan dan Diadu dengan Sesama Rakyat Jogja Hanya Demi Sebuah Kepastian

PKL Malioboro Dipermainkan, Diadu dengan Sesama Rakyat Jogja MOJOK.CO

Ilustrasi PKL Malioboro Dipermainkan, Diadu dengan Sesama Rakyat Jogja. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSumbu filosofi penuh duka. Nasib PKL Malioboro dipermainkan, diadu dengan sesama rakyat Jogja, hanya demi sebuah kepastian hidup. 

Belum genap 2 bulan 2025 berjalan, sudah terdengar jeritan pilu di Jogja. Bukan di antara gang sempit berbau kemiskinan, tapi di tengah ingar bingar sumbu filosofi kesukaan UNESCO. PKL eks-Pedestrian Malioboro yang lelah dipermainkan sedang dihajar. Bukan oleh penjajah asing, namun oleh sesama rakyat.

Rakyat melawan rakyat, di hadapan gedung perwakilan rakyat. Ketika monarki sibuk memoles sumbu filosofi, para PKL meminta kepastian. Kenapa mereka harus tergusur (lagi)? Kenapa mereka jadi bola yang dioper sana-sini? Kenapa mereka tidak boleh berniaga dengan damai? Alih-alih bahagia, mereka ditumbalkan saudara sendiri.

“Tidak ada orang miskin di sumbu filosofi,” janji pemerintah. Memang benar, karena mereka saling menghajar. Demi mimpi kota yang molek, orang miskin ditendang.

Dua tahun yang kelabu bagi PKL Malioboro Jogja

Saya teringat momen terakhir para PKL Malioboro terusir dari pedestrian Malioboro pada 2022. Suara mendukung penggusuran ini memang kelewat kencang. Banyak yang sepakat, Malioboro harus rapi dan tertata. Belum lagi narasi para PKL “merampok” deretan pertokoan. Tapi di balik penataan, saya menyaksikan kebingungan yang haru.

Satpol PP minta maaf karena menjalankan tugas. Pedagang bingung mengatur ulang display dagangan. Pengunjung kebingungan dengan riuh di pusat pariwisata. Semua yang terjadi di lapangan, semua (harus) patuh pada Surat Edaran Gubernur DIY Nomor 3/SE/1/2022.

Akhirnya pemerintah merelokasi PKL Malioboro di Teras Malioboro 1 dan 2. Malioboro benar-benar berganti rupa. Namun relokasi ini memang tidak pernah mulus. Berkali-kali masalah muncul. Dari atap yang bocor, banjir di lantai dua Teras Malioboro 1, sampai hilangnya pendapatan. Pemerintah Jogja mungkin lupa untuk membantu PKL setelah direlokasi. Bukan dana, namun membantu menghidupkan pusat PKL baru ini.

Relokasi kembali tanpa memikirkan nasib

Tidak ada penyelesaian masalah. Yang ada malah wacana pemindahan yang karut marut. Para PKL Malioboro kembali diminta (baca: dipaksa) pindah ke Teras Malioboro Timur dan Barat. Padahal, selepas relokasi pertama, belum semua PKL yang resmi sebagai anggota Koperasi Tri Dharma mendapatkan hak-nya.

UPT Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kota Yogyakarta dituding tidak transparan dalam pengundian lapak. Pemerintah juga dinilai abai dalam melindungi hidup dan hak para PKL. Namun, pemerintah Jogja tegas menyatakan bahwa relokasi tidak bisa lagi ditunda.

Pemerintah menjanjikan diskusi untuk mencapai mufakat. Namun, malam 7 Februari 2025, 2 tahun sejak relokasi pertama, tidak ada diskusi. Yang ada adalah ketegangan. Malam itu, sumbu filosofi menjadi tempat rakyat diadu dengan rakyat.

Baca halaman selanjutnya: Rakyat diadu, penguasa diam. Itulah Jogja.

Malam mencekam di sumbu filosofi Jogja

Sayang sekali, malam itu saya tidak dapat bersolidaritas. Saya hanya bisa memantau kawan-kawan yang ada di Jalan Malioboro Jogja. Mas Dinta Yuliant, salah satu kawan serikat yang bersolidaritas, bercerita tentang malam mencekam itu.

Semua diawali saat sore. Awalnya, massa aksi dan aparat sama-sama tertib. Tapi tidak berselang lama, segerombol orang yang mengaku juru parkir dan tukang becak mendatangi. Mereka berteriak-teriak meneror massa aksi PKL Malioboro. Tapi masih sempat dihadang oleh aparat kepolisian.

Kejadian serupa terulang lagi saat istirahat salat Isya. Gerombolan tadi kembali meneror. Tidak hanya berteriak, namun kali ini mereka menyerang para PKL Malioboro yang berniat masuk ke gedung DPRD. 

Gerombolan tadi mengaku massa aksi mengganggu aktivitas parkir mereka. Walaupun sudah diketahui bahwa pada pukul 18:00, tidak ada kendaraan yang melintas di Malioboro.

Setelah masuk ke dalam gedung DPRD DIY, gerombolan yang mengaku juru parkir melakukan pengepungan. Massa aksi sendiri meminta agar ada perwakilan DPRD yang menemui mereka. 

Namun, hingga pukul 20:00, tidak ada satupun perwakilan DPRD yang menemui. Akhirnya massa aksi membuat pernyataan sikap dan membubarkan diri dengan pengawalan ketat dari kepolisian.

Rakyat lawan rakyat di sumbu filosofi Jogja

Mendengar kisah itu, rontok hati ini. Di tengah ingar-bingar Malioboro yang romantis, sesama rakyat sedang disabung. Mereka yang punya kuasa bahkan tidak mau menemui. Sumbu filosofi tetap digaungkan sebagai berlian Jogja. Meskipun harus menyisakan duka lara, seperti semalam.

Mas Dinta memandang ini semua adalah ironi yang membuat miris. Namun itulah kenyataan yang ada di sumbu filosofi Jogja. Dari matanya sendiri, dia melihat rakyat yang berjuang harus berhadapan dengan sesamanya. Karena nyatanya, kemiskinan tetap merajalela di Malioboro dan sumbu filosofi Jogja.

Saya memahami fakta itu. Bayangkan, aksi PKL Malioboro yang memperjuangkan hak mereka dilawan sesama warga. Padahal, yang mereka tuntut bukanlah kerakusan. 

Menurut @suaramalioboro, mereka menuntut adanya jaminan selepas relokasi. Juga transparansi data relokasi karena masih ada yang tidak dapat hak lapak. Namun, lebih penting, mereka menuntut tata kota yang partisipatif dan demokratis. Serta menolak wacana warisan budaya dunia yang menggusur rakyat.

Namun apa lacur, perjuangan PKL Malioboro malah dihadang sesama rakyat. Mereka berebut sesuap nasi di tengah sumbu filosofi yang entah apa manfaatnya. Bahkan harus menghadapi serangan ketika meminta kejelasan.

Warisan budaya dunia yang penuh duka bagi PKL Malioboro

Keberlanjutan nasib PKL Malioboro segelap ringroad barat. Ancaman pencabutan hak guna lapak sudah meneror mereka yang belum genap sebulan direlokasi. Mungkin dikira mudah untuk pindah dan berdagang. 

Tapi, modal dan biaya operasional di tempat baru belum terpikirkan. Masih juga disibukkan dengan adaptasi dan, yang sudah pasti, situasi tidak tentu di Teras Malioboro yang baru.

PKL Malioboro sudah menurut, meskipun sulit, pada pemerintah Jogja. Dari skema dan proses pembangunan, mereka sumonggo kerso pada pemegang kekuasaan. Namun yang diperoleh tidak sesuai harapan. Dari lapak yang harus dipakai 2 pedagang, sampai hilangnya jatah 15 PKL yang diduga diambil pihak nakal.

Jika menyalahkan para PKL Malioboro yang “tidak tertib”, kenapa Jogja membiarkan mereka berpuluh-puluh tahun? Jika demi kota yang tertata dan layak jadi warisan budaya, kenapa harus mewariskan ketidakpastian pada mereka? Jangan lupa, mereka ikut hadir dalam dinamika Malioboro. Mereka ikut mengubah Malioboro dari jalur pertokoan menjadi romantis dan ngangenin.

Jika melihat dossier awal usulan Kawasan World Heritage UNESCO, PKL menjadi bagian penting dari Malioboro. Namun mereka harus menyingkir demi garis imajiner yang penuh imajinasi. Imajinasi kemakmuran, kemuliaan, dan keharmonisan monarki.

Apa lagi setelah ini? Siapa lagi yang akan disabung di sumbu filosofi? Rakyat Jogja mana lagi yang harus mengemis kepastian dan kesejahteraan pada pengayom? Mungkin semua terlambat. Sumbu filosofi yang sejatinya warisan budaya dunia hanya mewariskan duka lara bagi rakyat Jogja.

Penulis: Prabu Yudianto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Detik-detik Terakhir PKL di Malioboro, Mendengar Suara Sumbang Para Pedagang dan kenyataan pahit lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version