MOJOK.CO – Sudah, kalau di Cikarang saja menjanjikan, tidak perlu memaksakan diri kerja di SCBD demi status dan popularitas. Pusing.
Boyongan ke Ibu Kota Negara (IKN) yang baru memang masih lama. Namun, nggak ada salahnya untuk memikirkan langkah-langkah taktis terkait karier sejak sekarang. Terutama bagi mereka, yang sudah sejak lama kepingin berkarier di Jakarta, salah satunya kawasan SCBD yang “seksi” itu.
Memang, Jakarta masih akan tetap jadi pusat bisnis. Namun, ketika investor pada hengkang, Jakarta akan mengalami penurunan pamor. Apakah kawasan SCBD bakal kena dampaknya? Tidak mungkin tidak, meskipun kita belum bisa mengukur seberapa besar dampak tersebut.
Nah, beberapa hari yang lalu, jagat Twitter ramai setelah seseorang meminta nasihat untuk memilih pekerjaan di Cikarang dengan kompensasi lebih tinggi versus di SCBD dengan kompensasi lebih rendah, tetapi terlihat lebih keren.
Kalau saya, melihat selisih gajinya, sulit untuk memilih SCBD meskipun dia yang bertanya bisa tinggal di rumahnya sendiri di Jakarta dan harus ngekos di Cikarang. Hal yang membuat saya bingung, sebagai seorang warga Jakarta adalah, mengapa SCBD terlihat begitu keren untuk si penanya.
#1 SCBD memang bisa “memanjakan mata”, tapi dompet pasti nangis
Kawasan SCBD dan sekitarnya memang banyak dihuni oleh perusahaan kelas atas, beberapa lembaga negara, serta pusat perbelanjaan, kuliner, dan tongkrongan yang juga kelas atas. Apalagi di SCBD itu sendiri, misalnya ada Pacific Place dan Ashta yang pastinya memanjakan mata.
Masalahnya, harga barang di sini sering membuat air mata mengalir. Ujungnya, para pekerja memilih berbelanja di pusat perbelanjaan kelas menengah. Untuk makanan, kantin karyawan adalah jawabannya. Sementara itu, ketika jalan-jalan di SCBD, mentok window shopping.
Jika sesekali ke SCBD saja sudah cukup menyedihkan, apalagi bertahan di sini setiap hari?
#2 Lokasinya mudah dijangkau, tapi tempat tinggalnya mahal betul
Lokasinya yang berada di Jakarta Selatan memang tergolong mudah dijangkau transportasi publik. Mau TransJakarta? Ada. MRT, kemudian disambung KRL Commuter Line? Bisa juga.
Soal transpor memang masih bisa diatasi. Terutama bagi mereka yang tinggal dekat sana, meski numpang sama orang tua atau saudara.
Berita buruk datang jika kamu adalah perantau. Misalnya beberapa teman saya yang kerja di SCBD. Mereka memilih kos di kawasan penyangga. Transportasi publik jadi andalan.
Mereka pernah berencana untuk membeli atau setidaknya menyewa hunian yanh lebih dekat. Namun, untuk unit studio apartemen yang sudah uzur pun tidak murah. Sudah gitu, hunian di pinggiran juga makin mahal. Hunian di pinggiran ini terhitung sangat jauh lho dari SCBD.
Bayangkan jika lembur sampai tengah malam. Boro-boro menikmati pusat perbelanjaan dan tongkrongan di sekitar kantor. Sudah pusing memikirkan caranya pulang dengan ongkos sehemat mungkin. Pagi hari, ketika kadung terlambat masuk kantor, harus keluar ongkos ekstra layanan ojek online yang lebih cepat.
#3 Memilih jenis pekerjaan dulu atau lokasinya?
Umumnya, ketika berkesempatan memilih satu dari beberapa pekerjaan di SCBD, beberapa faktor akan diperhitungkan secara bersamaan. Misalnya, jenis pekerjaan, perusahaannya kayak apa, gimana skema kompensasi, status kontrak, sampai potensi pendapatan bersih yang bisa diperoleh setelah dipotong biaya-biaya yang dibutuhkan sehari-hari.
Jika gagal menemukan pilihan paling ideal, kita akan mulai mempertimbangkan faktor pendukung lainnya. Iya, yang saya maksud adalah lokasinya.
Biasanya, orang menjatuhkan pilihan kerja berdasarkan lokasi kantor ini bukan berdasarkan status atau popularitas. Teman-teman saya, misalnya, memilih yang dekat dan mudah dijangkau.
Nah, di sini timbul dilema. Orang sering salah mengambil pekerjaan karena terlalu memprioritaskan popularitas dan status. Padahal, pekerjaan yang ideal adalah yang bisa menghadirkan kesejahteraan dompet serta jiwa. Bisa memberi kita kesempatan berkembang. Terlalu tenggelam dalam popularitas dan status bakal membunuhmu perlahan.
#4 Pamor SCBD pasti turun seiring digitalisasi
Meskipun dua investor besar IKN hengkang, di mana SoftBank adalah salah satunya, bukan berarti pembangunan IKN berhenti. Roadmap yang bisa kita baca menegaskan bahwa pembangunan akan dilakukan secara bertahap dalam jangka yang cukup panjang. Artinya, Pemerintah punya waktu untuk mencari investor pengganti.
Memanfaatkan pendapatan negara dan berutang memang bisa saja. Namun, sebisa mungkin, jangan terlalu besar, sih, karena nantinya menjadi beban generasi berikutnya.
Ketika IKN mulai beroperasi nantinya, pasar di Jakarta tentu berkurang karena sebagian pejabat dan ASN pindah. Sebagian dari pihak swasta mungkin juga perlu boyongan jika kegiatan mereka membutuhkan aktivitas secara fisik di kantor lembaga negara.
Namun, memang, rasanya terlalu mahal untuk memindahkan pusat bisnis dan pendidikan ke IKN sehingga ujung-ujungnya status itu tetap akan diemban oleh Jakarta. Jakarta turun pamor, tetapi tidak cukup signifikan. Kayaknya, sih, demikian.
Ancaman yang lebih signifikan adalah digitalisasi yang diiringi oleh meningkatnya kompetisi di industri. Bertambahnya pesaing berarti ketatnya persaingan harga dan perlu disiasati dengan pengeluaran yang efektif dan efisien.
Pengalaman Work From Home (WFH) selama dua tahun terakhir ditambah perkembangan metaverse ke depannya akan mengurangi kebutuhan bekerja secara fisik dan bisa menghemat biaya kantor, apalagi yang masih sewa. Nah, sekalipun dia mewah, sisi elite akan berkurang ketika banyak ruang kosong muncul alias sepi pengguna.
Jadi, kehilangan dua investor besar belum tentu memupuskan harapan terwujudnya IKN di Kalimantan itu. Sekalipun IKN batal terwujud, perkembangan zaman bisa jadi membuat kebutuhan ruang kantor di SCBD dan sekitarnya berkurang, baik dari lembaga negara maupun pihak swasta.
Daripada mimpi bekerja di SCBD yang belum jelas status sisi elitenya, lebih baik impikan pekerjaan dengan kompensasi dan prospek berkembang yang cerah. Ya di Cikarang itu tadi, misalnya.
Oh iya, jika boleh ditanya, tidak sedikit di antara pegawai di ibu kota yang berharap kelak bisa Work From Home secara penuh selamanya. Dengan demikian, berkumpul di Jakarta dan sekitarnya tak perlu lagi dilakukan.
Dua provinsi terfavorit untuk pindah adalah Bali dan Yogyakarta. Harga tanah dan rumah di sana memang sudah tidak murah, tetapi masih lebih manusiawi dengan luas yang juga lebih ideal ketimbang memaksakan SCBD. Tinggal di pinggiran? Ya nggak masalah, tapi kamu harus bikin hitungan secara rinci tentang ongkos transpor dan kebutuhan lainnya.
Memilih pekerjaan tak pernah soal pendapatan semata. Sistem pendukungnya juga harus terjangkau, manusiawi, dan punya prospek jangka panjang. Sudah, kalau di Cikarang saja menjanjikan, tidak perlu memaksakan diri kerja di SCBD demi status dan popularitas. Pusing.
BACA JUGA Menerka Alasan Anak Muda Nggak Mau Kerja di Cikarang dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Christian Evan Chandra
Editor: Yamadipati Seno