Persiapan Pernikahan Katolik yang Bikin Enggan Nikah Lagi

MOJOK.COSecara konsep agama, pernikahan Katolik itu hanya terjadi sekali dan tidak bisa terceraikan, selain oleh kematian.

Sebulan lagi adalah Hari Valentine 2019. Meski selalu diwarnai perdebatan soal Valentine itu budaya asing dan aseng, tokoh kafir, dan bla-bla-bla yang paralel, tetap saja tanggal 14 Februari itu—ya plus-minus seminggulah—adalah periode yang sering disebut sebagai musim kawin.

Apakah ketibaan Bapak Pemred Mojok di Blora erat kaitannya dengan musim kawin ini? Hmmmm. Hmmmmmmm!

Nah, di gereja-gereja Katolik yang ada di Indonesia, minggu-minggu ini saya bisa pastikan bahwa pada sesi pengumuman di akhir misa, jumlah calon manten yang diumumkan akan menikah jumlahnya meningkat signifikan sehingga durasi pengumuman jadi lebih panjang dari durasi khotbah.

Sekadar mengingatkan informasi, dalam tata cara gereja Katolik, jika akan ada pernikahan, hal ini harus diumumkan 3 pekan sebelumnya dalam wujud pengumuman pertama, kedua, dan ketiga. Jadi, sejak 3 minggu sebelumnya, masyarakat di gereja sudah tahu bahwa si Anu akan kawin. Hal ini tentu akan membebaskan si Anu dari pertanyaan paling menjengkelkan sepanjang segala abad: “Kapan kawin? Kapan nikah?

Ya, sesungguhnya meladeni pertanyaan “Kapan kawin?” bagi orang Indonesia beragama Katolik seperti saya betul-betul tidak mudah karena orang Katolik itu minoritas. Secara sederhana, begini: pilihan untuk mencari calon istri yang seiman tidak semudah teman-teman yang muslim. Lha, di Indonesia ini jumlah umatnya saja hanya kisaran 7 juta orang!

Angka 7 juta itu harus dipotong jumlah umat Katolik yang ada di tempat-tempat yang jauh dari domisili, dipotong lagi jumlah umat yang cowok dan yang selibat di pelayanan Tuhan. Lalu, angka ini dipotong lagi jumlah yang sudah menikah maupun masih balita, dipotong lagi gadis Katolik yang kepincut lelaki beda agama, serta sortiran terbanyak adalah saat dipotong lagi jumlah gadis Katolik yang mau sama saya.

Habis, Kak. Habis~

Makanya, saya selalu tekankan kepada adik saya yang lagi kuliah di universitas Katolik untuk mencoba cari pacar di kampus saja. Di kampus seperti itu, dia kan jadi mayoritas alias tinggal tunjuk saja pasti ada yang Katolik. Yhaaaa, meskipun di antara yang ditunjuk itu belum tentu ada yang mau juga, sih!

Nah, sesudah dapat pacar dan niat bulat untuk menikah, tibalah saatnya bagi calon manten untuk mempersiapkan segala dokumen untuk melegalkan hubungan. Khusus dalam konteks umat Katolik, hal itu berarti harus menyiapkan diri pada birokrasi ganda.

Salah satu hal yang menarik dari gereja Katolik memang hierarkinya. Kita mengenal ada Paus di Vatikan. Di bawah Paus, pada level setingkat negara ada yang namanya Kardinal. Di bawahnya lagi, di setara provinsi ada yang namanya Uskup. Pada tingkat berikutnya, ada yang namanya Paroki, yang dipimpin oleh seorang Pastor Kepala Paroki. Strata kaum selibat berhenti sampai di sini. Di dalam Paroki, dikenal juga semacam desa, yang sering disebut sebagai kring, rayon, wilayah, atau lingkungan. Bagian ini dikepalai oleh awam.

Jadi, ketika untuk mengurus dokumen di Catatan Sipil harus diawali dari surat RT, RW, Kelurahan, hingga Kecamatan, di Katolik ya ada lagi yang harus diurus: surat keterangan dari lingkungan. Untuk kasus saya yang menikah di parokinya calon istri, surat keterangan dari lingkungan itu harus saya bawa ke paroki untuk bikin surat pengantar dari pastor paroki bahwa ada umatnya yang akan numpang nikah di paroki sono.

Masalahnya adalah—sebagaimana Pak RT dan Pak RW—yang namanya ketua lingkungan itu orang sibuk dan punya profil sosial tinggi. Mengatur jadwal untuk bersua dan minta tanda tangan itu benar-benar tidak mudah.

Apakah birokrasinya hanya itu? O, tentu tidak, Ferguso. Dalam pencatatan pernikahan Katolik dibutuhkan Surat Baptis. Tidak sekadar Surat Baptis, tapi Surat Baptis yang telah diperbaharui oleh paroki yang mengeluarkannya!

Jadi begini, kalau kamu Katolik dan oleh suatu sebab kamu lahir di Atambua, lalu dibaptis di sana, kemudian dua minggu sesudahnya pindah ke Jogja, lantas tumbuh besar dan nggak pindah-pindah, maka ketika kamu ingin nikah, yang dibutuhkan adalah surat baptis yang diperbaharui oleh pastor paroki di Atambua, bukan surat baptis asli pada saat kamu lahir dan kamu fotokopi di Jogja.

Sekilas memang tampak merepotkan (dan memang benar-benar merepotkan bagi yang sudah putus kontak dengan kota tempat dibaptis). Akan tetapi, hal ini justru baik dari segi dokumentasi. Boleh jadi, kalau mau diaudit ISO 9001 tentang Manajemen Mutu pasal Dokumentasi, gereja Katolik sudah bisa dapat sertifikatnya.

Sudah?

Ya, belumlah! Ada lagi yang namanya Kursus Persiapan Perkawinan. Nama di setiap keuskupan beda-beda, tapi intinya ya sebelum menikah ada sesi pembekalan bagi calon manten. Materinya adalah hukum gereja, penjelasan soal dokumen-dokumen yang harus diurus, paparan dari sisi psikologi, ekonomi keluarga, termasuk juga curhat-curhat dari pasangan senior. Durasinya bisa 2 sampai 3 hari dengan biaya yang tidak murah-murah banget juga.

Dalam kursus ini, kita akan bersua dengan pasangan-pasangan lain yang sama-sama akan menikah. Untuk itulah, dalam kursus ini tidak diperlukan grup WhatsApp. Salah-salah, kita malah nggak jadi nikah gara-gara kepincut calon bini orang! Kalau gitu, kan, berabe! Sudahlah, mari kita pahami bersama bahwa saat-saat menjelang menikah justru merupakan waktu paling krusial untuk bubaran.

Yang unik lagi, di Jakarta, pada saat saya kursus, hanya 50% calon manten yang mengikuti kursus, yang merupakan pasangan Katolik dengan Katolik. Sisanya, nikah campur, baik itu nikah dengan Kristen maupun dengan agama lainnya.

Kursus semacam ini juga mulai dilirik oleh pemerintah sebagai bekal melengkapi diri bagi calon manten supaya nggak asal kawin saja. Jadi, sebelum menikah, para calon manten butuh tahu beberapa hal penting yang biasanya tertutupi oleh cinta kala pacaran maupun dorongan orang-orang yang maksa-maksa nikah dan bilang bahwa nikah itu seluruhnya enak.

Sertifikat kursus, surat pengantar, dan surat baptis tadi menjadi amunisi utama untuk mendaftarkan pernikahan di gereja yang dituju. Beres? Ya, belum. Ada lagi yang namanya Penyelidikan Kanonik. Pada bagian ini, calon manten akan diwawancara oleh pastor. Ini untung-untungan. Ada yang pertanyaannya di permukaan, ada yang sampai ke “Sudah ngapain aja?” Bahkan, ada  juga yang ditanya-tanya tentang definisi sakramen hingga Roh Kudus segala.

Oh ya, dari tadi itu saya hanya cerita soal nikah sama-sama Katolik, loh ya. Kalau mau nikah campur, harus urus lagi dispensasi dari Uskup. Lalu, pada saat Penyelidikan Kanonik, kudu membawa orang ketiga yang kenal kedua calon manten karena bakal ditanya-tanyai.

Pasca Penyelidikan Kanonik, bagian dokumentasi sudah agak legaan. Tinggal urusan gedung gereja dan pastor yang akan mengesahkan pernikahan. Urusan gedung ini juga ribet bagi tanggal cantik karena yang mau nikah rebutan. Maka, jangan heran kalau di kota besar, seperti Jakarta, manten anyar tidak dapat sesi foto di altar soalnya gerejanya sudah mau dipakai nikahan berikutnya. Jadi, ketika mendapat undangan pernikahan dari teman yang Katolik dan tertulis bahwa sakramen atau pemberkatan penikahan akan diselenggarakan di gereja Katolik, bisa dipastikan itu sudah merupakan hasil wira-wiri sana-sini untuk mengurus segala kelengkapan itu tadi.

Urusan birokrasi sudah ganda: ke Catatan Sipil dan ke gereja. Urusan gedung juga ganda: gedung gereja dan gedung resepsi. Mantap, kan, pernikahan Katolik itu?

Secara konsep agama, pernikahan Katolik itu hanya sekali dan tidak terceraikan, selain oleh kematian. Paus Fransiskus memang telah melakukan reformasi soal perceraian di gereja Katolik, tapi itu sebenarnya tidak mengubah inti ajaran gereja tentang perceraian.

Ah, nggak usahlah kita jauh-jauh mikir ke hukum perceraian. Lah wong lelahnya mengurus pernikahan saja sudah bikin enggan untuk nikah lagi. Mendingan, energinya dipakai untuk mempertahankan rumah tangga sekuat-kuatnya. Iya, kan?

Exit mobile version