MOJOK.CO – Enam tahun pemerintahan Jokowi mestinya cukup untuk melatih kita untuk kritis sama apa pun perkataan blio. Apalagi soal vaksin gratis ini.
Buat orang-orang yang kadung kesusu mengucapkan terima kasih, Pak Jokowi-terima kasih, Pak Jokowi, satu pertanyaan untuk kalian: Anda-anda ini polos atau sedang kena alzheimer?
Hanya karena merasa sudah menang melawan para terduga buzzer Istana, lantas segera merasa Indonesia akan baik-baik saja. Seakan 2021 akan langsung diisi hari-hari yang cerah dan membahagiakan.
Senang memang, membayangkan para terduga buzzer Istana menelan ludah sendiri. Sudah bela-belain membawa opini ndlogok seperti, “Bisa ke Bali kok nggak bisa bayar vaksin?” lha kok malah dimentahkan (terduga) bos sendiri.
Sudah pasang muka tembok membela wacana vaksin berbayar dengan alasan “malas ngantri”, lha kok besok terancam ngantri beneran. Apes, apes.
Memakai opini “Bisa ke Bali kok nggak bisa bayar vaksin?” memang pekoke ora umum. Contoh kebiasaan lama beropini goblok: kalau ada satu orang yang ketahuan kaya mendukung vaksin gratis, lantas semua-mua orang yang ingin vaksin gratis dianggap kaya.
Lha, nggak usah jauh-jauh, anak-anak Mojok itu lho, gajinya pada di atas UMP Jogja, tetep aja ada yang nggak pernah ke Bali. Karena apa? Karena wisatawan domestik ke Bali pada tahun normal seperti 2019 saja hanya 9,7 juta orang.
Artinya, meski ada berjuta-juta orang bisa selow gas pol nyah-nyoh liburan ke Bali, masih ada puluhan juta orang yang tidak bisa. Dan tidak bisanya karena pertimbangan ekonomi.
Jika alasan yang terdengar masuk akal begitu saja ra mashook, apalagi opini “malas ngantri karena jumlah tenaga kesehatan terbatas”. Subhanallah… pemerintah Indonesia memang gagal mencerdaskan kehidupan bangsa.
Saya aja malu, padahal cuma baca. Ini logikanya diparkir depan gang apa gimana ea?
Kan simpel pertanyaannya. Apa kalau vaksinnya berbayar terus yang nyuntik Google Assistant? Alesan seperti ini egoisnya ngalah-ngalahi lelaki patriarkis, asli. Memperlihatkan dengan jelas mental nggak mau ngalah pada yang lebih berhak.
Lagian kalau sampai ngantri lama padahal barangnya lengkap, ya itu salah pemerintah. Dan memang curiganya harus ke situ mengingat mereka bikin barang gampang kayak nyetak E-KTP aja bisa bikin orang nunggu lima tahun, kalah sama tukang fotokopi dekat kampus.
Dan jika sudah begitu, tugas kita adalah mengawal agar itu tidak terjadi. Bukannya membenarkan segregasi kelas ekonomi. Dasar buzzer neolib.
Namanya menang memang melenakan. Apalagi bagi orang-orang yang sudah biasa kalah di hadapan negara sendiri. Menang dari buzzer harus bilang wow. Tapi sadarilah, kurang penting jika larut dalam ilusi kemenangan ini.
Mau vaksin gratis, berbayar, dapat cashback, atau gratis ongkir, buzzer tetap gajian. Tak usah boros-boros ludah, nyatanya ada satu persoalan yang mesti lebih menyita perhatian kita perkara pengumuman vaksin gratis ini. Yakni perihal rekam jejak Jokowi yang suka bikin deg-degan.
Jujur saja, apa pun perkataan Jokowi hari ini, saya sudah di tahap menyamakannya dengan ibu saya yang setiap Lebaran selalu berpesan, “Uangnya dititipin ke Mama dulu,” alias mencurigakan.
1. Jokowi punya rekam jejak sebagai “presiden antonim”
Mei lalu kita sudah dibuat sadar bahwa cara terjitu memprediksi kondisi negara ialah dengan mendengarkan apa yang dikatakan Jokowi, lalu bayangkan kebalikannya.
Kesimpulan ini terbeber jelas dalam banyak contoh. Misal, ketika pada Maret 2020 Jokowi mengatakan akan membunyikan genderang perang melawan corona, di bulan Mei dia malah mengimbau kita hidup berdampingan dengan virus ini.
Ketika Maret Jokowi minta masyarakat tidak mengkhawatirkan stok pangan kita, sebulan kemudian Presiden curhat stok makanan di puluhan provinsi mengalami defisit.
Pengalaman menghadapi presiden antonim ini tidak bisa tidak, harus membuat kita waswas ketika Jokowi mengumumkan vaksin corona akan gratis untuk semua orang….
2. Jokowi punya problem dengan diksi
Jika Sukarno membuat kita belajar kosakata asing, Soeharto mengajarkan apa itu eufemisme, dan SBY mencontohkan cara edgy mempraktikkan campur kode, Jokowi adalah alasan terbesar kita mendalami filsafat kata-kata.
Menjelang libur Lebaran tahun ini, tampaknya kunjungan ke situs KBBI daring meningkat bersamaan dengan pernyataan Jokowi bahwa mudik dan pulang kampung itu berbeda.
Ketika netizen mendapati bahwa di KBBI mudik dan pulang kampung itu sama saja, secara tidak sadar Jokowi sedang mendekonstruksi bangunan pengetahuan kita sebagai penutur asli bahasa Indonesia. Uopooo.
Ya, kita diajak lagi mengulang masa remaja ketika pernah resah mempertanyakan apa itu cinta dan apa bedanya dengan sayang. Tahun 2020 adalah waktunya untuk merenungkan kembali semua kata dalam bahasa Indonesia yang selama ini kita kira sudah kita pahami artinya.
Pengalaman itulah yang membuat saya pribadi, detik ini dan di tempat ini, dilanda pertanyaan: apa itu vaksin? Apa itu gratis?
Karena sangat mungkin kita terjebak sebagaimana yang sudah-sudah. Kadung senang karena Shopee gratis ongkir, ternyata maksimal gratis 20 ribu. Demikian pula dengan vaksin gratis, usahakan untuk senantiasa waspada pada permainan kata. Jangan-jangan vaksin gratis, tapi vaksinasinya bayar.
Misalnya lhooo.
3. Jokowi punya rekam jejak ingkar janji
Banyak orang tentu masih mengingat bahwa Jokowi pernah berjanji macet dan banjir di Jakarta akan lebih mudah dia tangani jika menjadi presiden. Banyak orang juga tentu masih mengingat, hanya dua bulan setelah Jokowi dilantik sebagai presiden periode kedua, banjir terbesar sejak 2007 melanda Jakarta dan Jawa Barat.
Jika mengungkit janji penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu sudah terlalu klise, mari kita ingat pula bahwasanya Jokowi pun pernah menjanjikan kita akan kembali hidup normal per Juli 2020. Janji yang sekali lagi kita semua ketahui, lolos begitu saja.
Sembari deg-degan menanti janji vaksin gratis ini benar-benar terlaksana, mungkin ada baiknya kita mulai menyepakati untuk ke depannya janji harus diperlakukan seperti utang bank. Nggak mampu melunasi, rumah disita.
4. Jokowi menjanjikan barang yang belum ada
Bagaimanapun baru 1,2 juta dosis vaksin Sinovac yang tiba di Indonesia. Kalau 268 juta penduduk Indonesia masing-masing mendapat dua dosis, berarti dibutuhkan 536 juta dosis vaksin yang nggilani-nya, masih diragukan seberapa aman.
Memang tak salah bersiap sejak dini merembuk apa yang akan kita lakukan ketika semua vaksin itu tiba. Tapi kalau dipikir-pikir, semua debat soal vaksin ini tak jauh beda dengan obrolan saya dengan teman-teman sekantor soal berapa uang yang akan kami bayarkan untuk membeli rumah.
Asyik lho membicarakan sesuatu yang tidak ada. Sekali-sekali kamu harus coba.
***
Menjadi pesimis bukan masalah, Gaes. Pesan moral 2020, pastikan mode default-mu di-setting untuk bersiap pada yang terburuk. Jelas lebih bermanfaat daripada mengharap yang baik-baik.
Namun harap dicatat, meskipun mayoritas kita semakin ragu dan ragu pandemi ini bakal segera berlalu dari Indonesia, itu bukanlah penghalang untuk terus berusaha dan berdoa.
Dan di hari yang indah ini, sementara Bumi masih berputar, rimbun bambu hias milik tetangga berkesiur merdu seperti biasa, pun Upin Ipin belum berhenti tayang, saya hendak memanjatkan pinta:
Ya Allah ya Tuhan kami, berikanlah warga Indonesia kekuatan dan keajaiban untuk dapat sehat seperti sediakala. Ya Allah ya Tuhan kami, segerakan kami untuk bisa bekerja demi membayar vaksin 536 juta dosis dikali minimal Rp100 ribu sehingga total Rp53,6 triliun yang semuanya diimpor dari luar negeri itu.
Ya Allah ya Tuhan kami, berikanlah kekuatan pada anak-anak kami agar tabah dan tidak cepat mental breakdown saat tahu mereka menerima warisan utang Rp6 ribu triliun yang niscaya akan selalu bertambah itu.
Amin, amin, amin ya rabbal ‘alamin.
Terus Tolstoy menyahut, “Tuhan tahu, tapi Ia menunggu.”
Dyar.
BACA JUGA Logika Memenangi Pilkada jika Kamu Bukan Gibran Rakabuming Raka dan esai Prima Sulistya lainnya.