MOJOK.CO – Sangat aneh kalau Pemda Jogja mengeluh jumlah pelancong berkurang selama Lebaran ketika pelayanan publik sangat tidak memuaskan. Jatuhnya nggak tahu diri aja.
Singgih Raharjo, Kepala Dispar DIY, baru-baru ini memaparkan sebuah data. Katanya, dia meleset ketika memperkirakan jumlah wisatawan yang masuk ke Jogja selama libur Lebaran. Harusnya, Singgih menyimpan data ini untuk dirinya sendiri. Kunci mulutmu serapat mungkin. Kalau bisa, kuncinya dibuang jauh-jauh atau ditelan sekalian. Kenapa? Karena malu. Harusnya, sih. Itu kalau memang masih punya malu.
Lebih tepatnya, mengutip dari Harian Jogja, Kepala Dispar DIY bilang begini, “Kami prediksi wisatawan akan melimpah ruah, ternyata agak meleset.” Dari data yang dipaparkan, jumlah wisatawan kali ini (((hanya))) 70% dari tahun lalu. Berapa angka tepatnya? Dan apakah perhitungannya presisi? Wallahu a’lam.
Kenapa harus malu? Jawabannya banyak. Ah, banyak banget malah.
Jogja dan Solo bagai bumi langit
Data itu dikeluarkan ketika kondisi jalanan Jogja selama libur Lebaran masih padat dan mengular. Perlu waktu berjam-jam hanya untuk mencapai satu destinasi ke destinasi lain yang jaraknya nggak terlalu jauh. Dan kata kawan saya yang datang melancong ke Jogja, dia membandingkan Jogja dengan Solo dengan kata-kata yang keras: bagai bumi dan langit.
Jalanan di pusat kota memang masih tergolong bagus. Nah, coba datang ke jalanan yang menghubungkan antara kota dan kabupaten, Jalan Pleret misalnya, yang berlubang dan lebih cocok dijadikan lokasi tanding anak-anak motocross ketimbang jadi akses masyarakat seperti kami. Nggak manusiawi rasanya jika kondisi jalanan yang seperti kulit anak yang baru puber ditambah macet dan penuh dengan truk lintas provinsi.
Memberikan rasa nyaman kepada wisatawan bagi saya jauh lebih penting ketimbang hanya memikirkan soal jumlah. Nyatanya, para wisatawan ini kecewa setelah masuk Jogja. Ingat, kepuasan akan melahirkan konsumen abadi yang bakalan balik lagi entah esok atau lain kali. Melalui kondisi trafik saja Pemda Jogja gagal membuat pelancong nyaman berkeliaran di dalam kota.
Kalau nyaman, siapa yang untung? Tentu saja pegiat usaha. Makro atau mikro. Destinasi yang sudah viral atau bahkan akan viral kemudian hari. Jika akses mudah, enak dilalui, dan kemacetannya nggak bikin gila, wisatawan akan terus eksplorasi ke banyak tempat.
Baca halaman selanjutnya….
Hanya memikirkan soal angka, bukan kepuasan
Target mengeruk 5,9 juta pelancong, jika kondisi trafik nggak beradab, transportasi umum…(duh, nggak bisa komentar lagi saya kalau masalah transportasi karena dari tahun ke tahun, nggak ada perbaikan nyata) nggak mengakomodasi wisatawan. Kesannya malah mau jadikan 5,9 juta target pelancong ini seperti sedang royal rumble alih-alih plesiran.
Saya tahu banyak konglo (gubernur, sultan, mantan walikota) punya banyak bisnis wisatawan seperti hotel, taman bermain, spot foto, warung makan, tapi hanya memikirkan angka ketimbang bagaimana kepuasan. Itu jahat sekali. Jika hotel terisi, mal mewah melimpah ruah, dan taman bermain selalu penuh, lantas apakah nasib pedagang kecil dan orang-orang terpinggirkan yang juga bertumpu mencari rupiah dari aspek pariwisata juga dipikirkan?
Penjual oleh-oleh skala kecil, UMKM di pinggiran kabupaten, dan penjual tiket bus offline di terminal yang nggak merasakan nikmat ramai Lebaran karena wisatawan sudah muak dengan kondisi trafik di Jogja, apakah masuk dalam data? Bagi saya, tugas pemda itu membuat kesejahteraan bagi masyarakat, bukan hanya para konglo semata… eh, konglo-konglo ini juga termasuk wisatawan, ding.
Melindungi warganya sendiri saja nggak becus, apalagi wisatawan
Karena nggak merata, lahir manusia-manusia nakal yang ingin mengeruk pendapatan sebanyak-banyaknya karena memiliki pikiran “mumpung-mumpung”. Seperti ongkos parkir di luar nalar dan warung makan yang harganya mencekik wisatawan.
cerita parkir istimewa di sebuah grup cegatan pic.twitter.com/unDWreZFvr
— era 2023 tampil beda (@BisKota_) April 29, 2023
Memang sudah ada aturan tentang hal ini. Namun, apakah efektif ketika kalian hanya memikirkan jumlah wisatawan masuk alih-alih kontrol kesejahteraan orang-orang kecil yang bertumpu pada pariwisata dan wisatawan itu sendiri? Saya rasa nggak. Karena kesejahteraan mereka dipikirkan, kejadian berulang nggak akan terjadi terus-menerus.
Ayolah, jangankan kesejahteraan, keamanan wisatawan saja masih jadi aspek yang jauh dari perhatian. Berapa kali kasus klitih hanya dianggap sebelah mata dan kasus minor? Padahal, budaya yang gagal total ini adalah koreng Jogja dalam hal melindungi warganya sendiri.
Melindungi warganya sendiri saja nggak becus, apalagi wisatawan. Pola pikir ini lahir karena sudah banyak kasus yang mencuat dan diabaikan. Wisatawan juga bisa mikir, layakkah Jogja menjadi destinasi lagi?
Wisatawan datang itu mau senang-senang, bukannya mau obral nyawa di tangan bocil kematian yang membawa clurit dan tongkat baseball. Jangan anggap bahwa Jogja adalah pusat alam semesta tempat plesir menyenangkan dan para wisatawan akan sesak napas jika liburan nggak ke Jogja. Enggak. Jogja nggak sepenting itu jika pemda masih mengabaikan hal-hal krusial macam ini.
Jualan romantisme itu sudah nggak laku
Sudut-sudut Tugu dan Malioboro ya gitu-gitu saja. Novel Malioboro at Night juga cuma menyorot bagian utama saja, yang gemerlap-gemerlap saja. Nggak seperti Malioboro dalam lansekap lebih detail dan sentimentil ketika Nidah Kirani diambang pilihan menjadi lonte atau nggak seperti novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur-nya Muhidin M. Dahlan.
Akun-akun romantisme itu juga nggak bisa dipercaya lagi. Saya pernah melakukan riset tentang salah satu akun di Twitter dan Instagram di Remotivi (https://www.remotivi.or.id/amatan/812/romantisasi-jogja-amunisi-perang-narasi-pemerintah-diy) hasilnya memang menyebalkan sekali. Bikin dongkol. Akun-akun ini kowar-kowar romantisasi ketika kasus klitih sedang naik.
Tolong pikirkan nasib warga Jogja dulu
Tapi kalau mau membuat opini yang agak bikin kesal banyak pihak, ketimbang mikirin wisatawan, pikiran saja dulu nasib warganya sendiri. Kesejahteraan, kebahagiaan, keamanan, dan tentu saja kenyamanan warganya. Jika warganya saja nggak dibuat nyaman, ibarat mengundang tamu ke dalam rumah yang atapnya siap runtuh, yang kapan saja bisa rubuh.
70% persen dianggap angka yang sedikit padahal sudah buat macet jalanan kota itu kalian mau memuaskan siapa, sih? Pedagang kecil atau pemilik hotel dan penguasa kota ini? Sudah serakah, kok rasanya malah nggak tahu diri ya.
Penulis: Gusti Aditya
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pinggiran Jogja Itu Rasanya Kayak Neraka dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.