Pemalakan Berkedok Retribusi di Makam Raja Imogiri, Peziarah kena Rp700 Ribu Menjadi Borok dan Mencoreng Nama Baik Jogja

Pemalakan Berkedok Retribusi di Makam Imogiri Jadi Borok Jogja MOJOK.CO

Ilusrasi Pemalakan Berkedok Retribusi di Makam Imogiri Jadi Borok Jogja. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COBeberapa hari yang lalu viral peziarah Makam Imogiri “Dipalak” Rp500 ribu untuk retribusi. Insiden yang jadi borok Memalukan bagi Jogja.

Makam Raja-Raja Imogiri Jogja memang bukan makam biasa. Terlepas dari siapa yang dimakamkan, ada suasana angker yang nyata. Tapi saya tidak sedang bicara spiritual ya. Kurang angker apa ketika mau ziarah saja digetok biaya 700 ribu? Ini lebih horor daripada satu batalion demit muncul di depan Anda.

Inilah realitas paling nggak masuk akal di Jogja (sejauh ini). Ketika kita diajak mengingat sejarah dan leluhur, tapi terhalang biaya. Ketika sebuah daerah punya dana budaya triliunan, namun masih saja nuthuk harga ziarah. Mau dibawa ke mana wacana memperkenalkan budaya dan sejarah ketika makam saja dikomersilkan dengan ugal-ugalan?

Ya dibawa jadi dagangan, lah!

Jeritan peziarah Makam Imogiri membuka semua

Semua keributan ini diawali unggahan @merapi_uncover. Akun ini membagikan keluh kesah seorang peziarah yang baru saja mengunjungi Makam Raja-Raja Imogiri. Sang peziarah sudah tahu perkara biaya ziarah. Dari sewa busana peranakan sampai retribusi tiap mengunjungi kompleks. Peziarah ini juga paham bahwa kompleks pemakaman Raja Jogja dan Surakarta punya manajemen berbeda. Sehingga masing-masing punya retribusi sendiri.

Tapi, yang mengejutkan adalah saat sang peziarah dan rombongan akan membayarkan retribusi ziarah. Dia harus membayar sampai 700 ribu! Detailnya, peziarah dan rombongan ini dikenai retribusi sebesar 500 ribu di makam Sultan Agung. Lalu, ada tambahan retribusi saat mengunjungi 2 kompleks makam Raja Jogja. Ini belum termasuk biaya sewa busana.

Unggahan ini langsung mendapat respons beragam. Ada yang mempertanyakan tentang sistem retribusi yang tidak jelas. Ada juga yang membela retribusi dan menyalahkan peziarah Makam Raja-Raja Imogiri Jogja. Entah karena tidak konfirmasi di awal, atau memandang peziarah ini tidak tahu adat. Biasa, komentar khas sobat narimo ing pandum.

Tapi, apakah masalahnya sekadar besaran retribusi? Apakah ini masalah miskomunikasi semata? Tentu saja tidak!

Baca halaman selanjutnya: Insiden yang mencoreng keistimewaan Jogja.

Komersialisasi Makam Imogiri adalah penghinaan

Ketika membaca kasus Makam Raja-Raja Imogiri ini, saya hanya mampu tersenyum kecut. Melihat sebuah makam yang jadi simbol monarki Mataram kini tidak ada bedanya dengan spot foto di tempat wisata. Semua serba komersil dan bermahar.

Bagi saya, ini adalah penghinaan besar terhadap para raja yang dimakamkan di Imogiri. Kedaulatan dan kedigdayaan mereka sebagai raja hanya jadi sapi perah retribusi. Seolah-olah para raja ini sedang mengemis pada para kawula demi makam yang terawat. Terlebih perkara retribusi di makam Sultan Agung. Sosok raja terbesar Mataram ini dikenang dengan kedigdayaannya. Namun, makamnya kini jadi simbol wisata spiritual semata.

Model retribusi ini juga memperlebar jurang antara para leluhur dengan rakyatnya hari ini. Tentu banyak masyarakat yang enggan berziarah ke peristirahatan para raja Jogja ketika harus membayar mahal. Akhirnya, sejarah yang kini tersemat di pusara mereka ikut dilupakan oleh generasi sekarang. Semua karena perkara rupiah. Klise, bukan?

Ah, jangankan para peziarah. Saya saja belum pernah mengunjungi makam Sri Sultan HB II. Padahal beliau adalah leluhur saya, dan sudah sewajarnya saya berziarah ke makamnya. Apalagi lokasi makam beliau di Kotagede yang notabene tidak terlalu jauh dari rumah. Alasannya cuma satu. Mau berkunjung ke makam leluhur saja harus bayar!

Danais melimpah tapi masih harus bayar mahal?

Saya jadi mempertanyakan fungsi Dana Keistimewaan (Danais) di sini. Dana yang bersumber dari APBN ini punya fungsi sebagai dana pelestarian budaya Jogja. Apakah Danais tidak cukup untuk membiayai urusan pemeliharaan Makam Raja-Raja Imogiri? Padahal nilainya 1 triliun lebih, lho!

Apabila retribusi tadi digunakan untuk pemeliharaan, apakah Danais tidak bisa digunakan? Toh selama ini Danais digunakan untuk memugar berbagai situs Kraton Jogja. Bikin pagar Alun-Alun Utara yang nilainya miliaran saja bisa, lho. Apalagi untuk memelihara persemayaman terakhir para raja?

Jika retribusi ini digunakan sebagai biaya operasional abdi dalem Imogiri, harusnya Danais juga bisa digunakan. Para abdi dalem tidak harus berharap pada retribusi ketika mendapat gaji dari Danais. Sekali lagi, biaya operasional ini masih terhitung kecil jika dibandingkan Danais yang 1 triliun lebih.

Dengan adanya Danais, seharusnya para peziarah tidak lagi direpotkan dengan biaya retribusi. Masyarakat tidak lagi harus berpikir dua kali untuk mengunjungi Makam Raja-Raja Imogiri. Pada akhirnya, masyarakat bisa berziarah sekaligus mengenal sejarah leluhur mereka. Bukankah ini senada dengan tujuan Danais sebagai dana kebudayaan?

Insiden yang jadi borok dan menghina keistimewaan Jogja

Dengan insiden retribusi Makam Raja-Raja Imogiri, keistimewaan Jogja juga ikut tercoreng. Sebagai daerah istimewa dengan dana khusus, urusan budaya jelas jadi prioritas. Ketika Jogja sibuk memperkenalkan nilai-nilai budayanya, masyarakat malah dipisahkan dari akar sejarahnya. Mending jika dipisahkan karena perkara norma serta kesakralan sebuah makam. Ini malah dipisahkan karena makam raja menjadi objek komersil.

Saya tidak ingin berspekulasi masalah retribusi ini. Terutama masalah legalitasnya. Tapi saya yakin, retribusi ini menghina keistimewaan Jogja! Seolah Jogja yang menyandang status istimewa ini harus mengemis pada peziarah demi memelihara makam leluhurnya. Memang, budaya komersialisasi makam terjadi di banyak tempat. Tapi ketika terjadi di Makam Raja-Raja Imogiri, apa pantas? Makam raja lho ini!

Jadi mau di bawa ke mana sejarah dan budaya adiluhung Jogja? Apakah ingin didekatkan pada masyarakat, atau jadi dagangan semata? Apakah akan dipelihara bersama keistimewaannya, atau bakal jadi pergunjingan karena retribusi yang mahal?

Penulis: Prabu Yudianto

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Sejarah Makam Imogiri, Tempat Raja-raja Jawa Bersemayam di Alam Damai dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version