Pelaku Zina Tak Dipenjara karena Tak Semua Dosa Bisa Dipidana

Negara tidak bisa memidana warganya yang tidak salat, puasa, zakat, dan juga mereka yang melakukan zina.

Pelaku Zina Tak Dipenjara karena Tak Semua Dosa Bisa Dipidana

Pelaku Zina Tak Dipenjara karena Tak Semua Dosa Bisa Dipidana

MOJOK.CO – Satu hal yang membingungkan dari warga negara penolak Permendikbudristek PPKS adalah tuduhan bahwa Pemerintah telah melegalisasi zina.

Akhirnya, setelah sekian lama menunggu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menerbitkan Permendikbudristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual! Selanjutnya, biar nggak ribet, akan kita singkat menjadi Permendikbudristek PPKS ya, Guys.

Selamat dan tentu saja terima kasih. Akhirnya, Negara berkomitmen untuk menyelenggarakan ruang aman dari kekerasan seksual dan juga berupaya memberi perlindungan kepada korban. Selamat, sekali lagi selamat!

Kisah seorang penyintas dari sebuah kampus di Jawa Timur kembali hadir di memori saya. Ia seorang mahasiswi-santriwati yang hampir gagal menyelesaikan studi S1-nya karena menjalani masa-masa akhir di universitas sambil berjuang memulihkan kerusakan fisik dan trauma psikologisnya. Ia menjadi korban kekerasan seksual sejak semester awal dari seorang dosen laki-laki yang telah beristri. 

Sepanjang masa studi, dosen bangsat ini memanipulasi korban dengan modus tugas studi, tugas penelitian, tambahan nilai mata kuliah, teror lewat gawai, bahkan teror secara langsung ke kos penyintas. Semua manipulasi itu dapat terjadi karena sebagai seorang dosen ia memiliki kekuasaan untuk melakukan semua modus tersebut.

Semua kekerasan itu membuat penyintas terus menyalahkan diri sendiri, merasa tak berharga, merasa tak ada masa depan dan depresi berat disertai dorongan bunuh diri.

Pelaku, yang juga seorang ketua proyek hibah dengan nilai triliunan di kampus, masih mendapatkan tempat yang nyaman di kampus dan kampusnya terus meneror Lembaga Pers Mahasiswa yang mengawal kasus tersebut.

Berawal dari liputan investigasi kolaboratif #NamaBaikKampus, The Jakarta Post, Vice Indonesia, dan Tirto.id menemukan 174 penyintas di 79 kampus dan 29 kota. Temuan lapangan tersebut bukan hal yang menggembirakan. Tidak ada satu lembaga pun yang memiliki data akurat perihal jumlah kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi di Indonesia. 

Sedangkan, survei daring pada 2016 oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene.co serta difasilitasi oleh Change.org Indonesia menemukan 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak pernah melaporkan kasusnya ke aparat penegak hukum.

Lembaga pendidikan yang semestinya jadi ruang aman bagi semua sivitas, ternyata turut menyuburkan tradisi kekerasan seksual.

Proyek kolaborasi ini menemukan bahwa pelaku kekerasan seksual di kampus adalah dosen, pejabat kampus, sesama mahasiswa, staf kampus, hingga dokter di klinik kampus. Korban tidak hanya mahasiswa perempuan, tapi juga mahasiswa laki-laki.

Permendikbudristek PPKS lahir dari pengalaman korban kekerasan seksual di kampus. Unsur pembahasan cukup lengkap, mencakup poin pencegahan, penanganan dan perlindungan kekerasan seksual yang berfokus pada perlindungan dan keadilan untuk korban. 

Tentu saja, Permendikbudristek tetaplah dokumen. Dokumen dapat memiliki “bunyi” jika diimplementasikan oleh “leading sector” yang berkomitmen.

Next, jika ada kasus pelecehan seksual dan kekerasan seksual di kampus, kamu boleh membayangkan alur seperti ini:

  1. Di masing-masing Fakultas di kampusmu telah memiliki SOP penanganan kasus kekerasan seksual;
  2. Penyintas dapat melapor di lembaga Crisis Center masing-masing Fakultas;
  3. Penyintas langsung mendapatkan pendampingan untuk pemulihan fisik dan trauma psikologis;
  4. Lembaga Crisis Center menyelidiki dan memantau kasus berdasarkan SOP Penanganan kasus;
  5. Pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal, penyintas mendapatkan hak keadilan.

Rasanya, semua warga negara normal turut berbahagia dengan lahirnya Permendikbudristek PPKS. Kecuali, sebagian kecil warga negara yang belum paham-paham juga bagaimana cara berpihak kepada korban kekerasan seksual.

Sebagian kecil warga negara ini menolak Permendikbudristek PPKS ini dengan tuduhan substansinya tidak sesuai Pancasila dan agama. Kelompok ini, mungkin akan lebih kaget lagi, jika terlebih dahulu Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama RI telah mengeluarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

Biar gampang, kita singkat sebagai Dirjen Pendis Kemenag 2019 tentang PPPKS pada PTKI, Guys.

Kamaruddin Amin, Direktur Dirjen Pendis, menjelaskan bahwa PTKI memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap diri pribadi, kehormatan, martabat, dan hak atas rasa aman bagi civitas akademika dari ancaman dan praktik kekerasan seksual. Bahasa kerennya sih menegakkan hifzun nafs, atau menjaga jiwa.

Semua produk hukum Islam lahir dari maqashid syariah, yaitu semangat perlindungan terhadap martabat kemanusiaan. Begitu pula PPPKS pada PTKI ini.

Kelompok penolak Permendikbudristek PPKS ini tidak sepakat dengan definisi kekerasan seksual sebagai tindakan pemaksaan di luar persetujuan seksual (sexual consent) seseorang. 

Warga negara normal umumnya sepakat dengan definisi ini. Itu artinya, kita sebagai manusia punya otoritas untuk menetapkan batas ruang aman bagi tubuh kita. Kita bisa melawan pihak-pihak yang melecehkan, mengancam dan menyerang keamanan tubuh kita.

Manusia beragama yang beriman bahwa seks yang berterima adalah seks berbasis kesepakatan di dalam lembaga pernikahan, dapat melindungi diri mereka dari praktik pelecehan seksual di sekitar mereka.

Tapi, kelompok kecil yang menolak tidak sepakat. Mereka justru membayangkan pemaknaan sexual consent akan membuat semua orang melakukan seks dengan suka sama suka. Mereka membayangkan semua orang tak punya pikiran mandiri dan tak punya martabat diri sehingga semua orang akan menyepakati aktivitas seksual. Sungguh sebuah imajinasi yang merendahkan manusia yang berakal dan bermoral.

Selanjutnya, kelompok yang menolak dokumen PPKS di Perguruan Tinggi ini menuduh LGBT menjadi penyebab maraknya kekerasan seksual.

Seperti kita semua tahu, bahwa tuduhan ini berlawanan dengan data yang ada, bahwa kekerasan seksual yang paling tinggi justru terjadi di dalam rumah dengan pelaku pihak-pihak terdekat korban, seperti ayah yang hetero memerkosa anak kandung, kakek yang hetero memerkosa cucu kandung, juga tetangga yang hetero memerkosa anak perempuan. O ya, dosen beristri yang memerkosa mahasiswi, tentu saja adalah manusia hetero dengan perilaku seksual mengancam kemanusiaan.

Entah kenapa fakta lebih iblis dari iblisnya manusia hetero ini tidak membuat manusia hetero dianggap menjadi penyebab terjadinya banjir, tanah longsor, tsunami, dan berbagai bencana alam.

Satu hal yang paling membingungkan dari warga negara yang menolak Permendikbudristek PPKS ini adalah tuduhan bahwa Pemerintah telah melegalisasi zina. 

Warga negara normal memahami substansi dokumen ini berisi penanganan kasus dan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Tidak ada satu pun pembahasan soal zina. Kenapa ada warga negara yang pikirannya ke zina melulu? Sungguh sebuah misteri logika yang menggelitik.

Premis logika kelompok kecil penolak PPKS ini, kira-kira sebagai berikut: 

Pemerkosaan dipidana. Kenapa zina tidak dipidana? 

Dosa harus dipidana.

Zina adalah dosa, maka zina harus dipidana.

Sedangkan faktanya, tidak semua dosa harus dipidana.

Negara tidak harus memidana warga yang tidak salat. Lebih baik, lembaga keluarga dan lembaga pendidikan mengajarkan bahwa salat adalah kewajiban. Akan tetapi, dosa warga negara yang tidak salat adalah dosa masing-masing.

Negara tidak harus memidana warga yang tidak berpuasa. Lebih baik, lembaga keluarga dan lembaga pendidikan mengajarkan bahwa berpuasa adalah kewajiban di bulan Ramadan. Akan tetapi, dosa warga yang tidak berpuasa di bulan Ramadan adalah dosa masing-masing.

Hukum negara bekerja dalam paradigma menghukumi pelaku dan terdapat korban. Oleh sebab itu, mesti ada korban yang melaporkan tindakan yang membawa kerugian pada dirinya. Pasal kumpul kebo dalam KUHP di Indonesia dapat dipakai hanya jika istri (yang menjadi korban perselingkuhan) melaporkan praktik zina suami (pelaku). 

Dalam hal ini, negara tidak bisa bekerja seperti aktivis masjid kampus yang hobi membubarkan muda-mudi yang mengobrol di taman kampus. Mengapa? Pertama, tidak semua istri ingin memidanakan suaminya atau melaporkan kasus secara litigasi. Lebih banyak istri yang ingin menyelesaikan masalah keluarga melalui mediasi dan rekonsiliasi hubungan.

Kedua, akan muncul praktik-praktik yang menyalahi Hak Asasi warga negara. Seperti, pasangan yang diarak telanjang dan foto-fotonya disebarkan oleh warga padahal mereka tidak bersalah sama sekali.

Hukum negara mesti menerjemahkan unsur pelaku, korban, dan kerugian sebuah tindak pidana. Dalam Prosedur Penanganan Kasus Kekerasan Seksual, juga mesti korban sendiri yang melaporkan kasusnya kepada APH. Sebuah kasus pidana tak dapat diwakili oleh laporan pihak lain yang tidak menderita kerugian atas kasus tersebut.

Di sinilah letak perbedaan zina dengan kekerasan seksual. Perkosaan tidak bisa diselesaikan dengan restorative justice sebagaimana istri yang ingin rujuk dengan suami. Korban perkosaan tidak boleh direkonsiliasi apalagi dinikahkan dengan pelaku. Korban kekerasan seksual menderita kerugian jangka panjang yang pencarian keadilannya tidak bisa di-restore.

Baik. Kita sepakat bahwa zina adalah perbuatan dosa. Zina juga terbukti menghadirkan banyak mudarat, seperti HIV-Aids, infeksi menular seksual, kehamilan tak diinginkan dan penyakit sosial lainnya.

Zina perlu diterapi, akan tetapi bukan lewat pidana. Terapi terbaik untuk zina adalah pencegahan zina. Caranya?

Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan dukung implementasi Permendikbudristek 30/2021 tentang PPKS. Mandat dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual adalah pencegahan. 

Pencegahan di lembaga pendidikan diwujudkan lewat pendidikan hak kesehatan seksual dan reproduksi secara komprehensif sejak pendidikan anak usia dini hingga Perguruan Tinggi. Dalam HKSR, anak akan mendapat penjelasan bahwa seks di luar lembaga pernikahan beresiko secara fisik, sosial hingga material.

Lewat pendidikan HKSR inilah, tiap-tiap anak di Indonesia diharapkan memiliki basis filosofis terhadap keamanan tubuhnya, lalu dapat mengambil sikap dan tindakan kritis untuk segala hal terkait tubuhnya.

Tapi, tunggu… wait…

Ternyata, kelompok ini lagi ini lagi juga yang menolak Pendidikan HKSR sejak dulu.

Jadi, siapa sih sebetulnya yang pemikirannya soal zina melulu? Mengcapek, hadeh.

BACA JUGA Apakah Zina Harus Selalu Diatasi dengan Hukum Pidana? dan tulisan KALIS MARDIASIH lainnya.

Exit mobile version