MOJOK.CO – Terkait radikalisme disebarin sama orang “good looking” menurut Pak Menteri Agama, kita harus paham bahwa maksud pernyataan itu baik.
Menteri Agama, Fachrul Razi, mengatakan bahwa paham radikalisme disebarkan oleh seorang yang good looking itu udah bener. Perkara kemudian mendapat protes keras dari kalangan umat (bahkan MUI) itu sih wajar.
Apalagi ketika Menag dibilang suruh belajar agama lagi. Hm, tidak ada yang salah dengan itu.
Menyuruh orang belajar itu amar ma’ruf. Long life education, belajar sepanjang hayat. Siapapun memiliki kewajiban belajar sampai maut menjemput. Toh kritik seperti itu menandakan bahwa memang tidak pernah ada yang salah dengan tubuh demokrasi kita.
Mendikbud juga dikritik PGRI, Menkes dikritik IDI, apanya yang aneh?
Terkait good looking tadi, Pak Menteri Agama sedang memainkan logika kita dengan sedikit permainan gaya bahasa. Sesungguhnya, blio sedang main-main dengan majas sinekdoke pars pro toto dalam pernyataannya.
Sebentuk majas lain yang jarang dipakai dan ternyata efektif sekali untuk membongkar rendahnya literasi bangsa ini. Itung-itung check the water lah ibaratnya. Repot-repot lihat ranking PISA, gini aja ternyata udah keliatan.
Majas bukan cuma satire dan sarkas, akh, masih ada 22 lagi. Gagal memahami artikel satire dan sarkas saja bisa digojlokin di kolom komentar, apalagi ditambah majas-majas yang lain. Jangan terlalu pemurah jadi filantropis bullyan netizen.
Sedikit mengulang pelajaran bahasa Indonesia. Mungkin dulu ketika materi ini jam terakhir pas ngantuk-ngantuknya. Majas sinekdoke ini majas yang berupa perwakilan mengungkapkan sesuatu. Pars pro toto artinya sebagian mewakili keseluruhan.
Contoh yang paling sering dipakai: “batang hidung”.
Sudah ingat, kan?
Lawannya, totem pro parte, betul. Ilustrasi yang disampaikan sangat mungkin adalah sebagian yang mewakili keseluruhan yang ingin disampaikan.
Sedikit tergambar sudah duduk perkara Pak Menag ternyata sedang memainkan pars pro toto ketika mengeluarkan pernyataan good looking berpotensi menyebarkan paham radikalisme di masjid-masjid.
Saya kutip sedikit transkrip pernyataan Pak Menag yang beredar di media, “Cara masuk mereka gampang, kalau saya lihat polanya. Pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan bahasa Arabnya bagus, hafiz, mulai masuk, jadi imam, lama-lama orang situ bersimpati, diangkat jadi pengurus mesjid, kemudian mulai masuk temannya dan lain sebagainya, mulai masuk ide-ide seperti yang kita takutkan.”
Ada tiga hal yang mewakili pars pro toto tadi: good looking; bahasa Arab, hafiz, imam, pengurus masjid ini satu konteks; terakhir ide-ide seperti yang kita takutkan (maksudnya radikalisme).
Yap, kita mulai.
Pertama, good looking.
Ganteng-cantik saja? Akarnya mungkin di situ, enak dipandang.
Good looking memang nolong banget untuk membentuk personal branding lewat first impression. Berapa banyak ulah menyimpang dari publik figur yang good looking tidak pernah kekurangan jalan untuk dimaklumi.
Ulah yang sama bakalan dimakan habis-habisan jika yang melakukan publik figur itu—maaf—secara fisik dan brandingnya tidak good. Kaum good looking ini memang efektif membawa brand baru untuk mudah diterima masyarakat. Bukan hanya fisik bawaan, tapi juga penampilan artifisial.
Inilah kenapa yang merasa cogan-cogan tidak perlu merasa terpanggil mendengar penyataan good looking Pak Menteri Agama tadi.
Belum tentu kalian, keles. malah penampilan artifisial ini lebih menarik dibanding bekal fisik, apalagi intelegensi.
Pakaian mengkilap, dasi, kendaraan mewah, barang branded, dan pandangan dengan dagu yang sedikit mendongak ini bisa menyilaukan dipandang. Cara bicara, framing tingkah laku simpatik, kehati-hatian di media sosial, atau foto-foto artistik dan dengan bubuhan caption dramatis pun termasuk penampilan artifisial yang memanjakan mata.
Ketika membayangkan good looking dalam pernyataan Pak Menag jangan langsung tergambar sosok wajah tampan berjenggot, gamis putih bersih, wangi, pembawaan kalem dan senyumnya yang meneduhkan. Itu hanya pars dari sebuah totem. Lebih luas dari itu, masih ada pars yang lain.
K-POP yang jejingkrakan dengan rambut warna-warni itu juga good looking, publik figur, dan influencer yang diendorse pemerintah pun begitu. Apalagi setelah dimaknai bersamaan konteks pars pro toto pada bagian selanjutnya nanti, bakalan semakin benderang.
Kewaspadaan pada kemungkinan semua jenis good looking ini membawa sesuatu-yang-ditakutkan ini memang perlu dikembangkan. Biar tidak terlalu permisif karena disamarkan penampilan saja. Lihat dulu apa yang dibawa di balik peci, blangkon, topi, sorban, atau gaya rambutnya. Masih untung kalau ternyata kosong.
Kira-kira begitu maksudnya Pak Menteri Agama.
Oke, lanjut yang kedua. Konteks bahasa Arab, hafiz, imam, dan pengurus masjid, tentunya ini hanya perwakilan kecil saja ya.
Kata bahasa Arab mewakili segala bentuk bahasa, baik itu bahasa formal, bahasa gaul, bahasa slang, sampai bahasa tubuh.
Penguasaan bahasa, retorika, janji-janji kampanye, ucapan bersayap, tweet, caption, hastag, dan semua hal dapat dimanfaatkan sebagai alat propaganda berkomunikasi adalah keseluruhan dari sebagian yang diwakilkan dengan diksi bahasa Arab.
Lalu yang selanjutnya, hafiz maksudnya mewakili individu yang cakap dan menguasai konten. Imam dan pengurus masjid mewakili individu yang perlahan merebut atensi, simpati, dan jabatan kepercayaan publik.
Ketika dipandang dari ruang lokal agama pun, diksi-diksi di atas dapat mewakili keseluruhan agama. Bahasa, pemuka agama, penceramah, pemimpin umat, dan tempat ibadah. Konsepnya di semua agama ada.
Lagian, Kemenag bukan hanya menaungi agama Islam saja. Jadi jelaslah bahwa dalam konteksnya yang disasar bukan satu agama, melainkan keseluruhan.
Bahkan jika dibawa ke ruang yang lebih mungil lagi, antar-organisasi sekolah pun tidak luput dari tingkah saling sebar propaganda. Sebuah paham, sereceh apapun, pasti menggoda penganutnya untuk mengajak orang lain ikut arusnya.
Sepak bola ada fans klub yang adu eksis. K-POP punya fanbase yang seakan selalu siap mengganyang para Wibu, atau bahkan berseteru dengan sesama member fanbase. Artis-artis punya penggemar diehard.
Influencer punya follower yang setiap saat dengan senang hati melihat endorsan konten kreatifnya. Komunitas, dengan doktrin anutan dan panutannya, tentu punya hasrat radikal untuk melebarkan idealismenya. Terlepas dari diwujudkan atau tidaknya.
Energi ini dimanfaatkan betul oleh siapapun yang jeli pada peluang. Entah dalam bentuk menunggangi maupun simbiosis mutualan. Jadi, bener kan? Ternyata memang banyak penyebaran paham dan doktrin yang melibatkan semua kalangan, di mana saja. Kekhawatiran Pak Menag sungguh beralasan.
Lalu penutupnya, ada pada klausa ide-ide-yang-kita-takutkan. Klausa ini membawa kesan untuk mengkungkit trauma masa lalu terhadap dia-yang-namanya-tidak-boleh-disebut. Voldemort!
Alih-alih langsung menyebut paham radikalis, Pak Menag lebih memilih ungkapan yang lebih menyentuh ranah perasaan, tanpa lewat jalur logika terlebih dahulu yang memakan waktu, dengan menggunakan kata… “takutkan” tadi.
Penyebutan tidak langsung ini pun mengesankan bahwa paham radikalisme memang tidak main-main, sehingga lidah pun diusahakan untuk sejarang mungkin mengucapkan kata tersebut secara vulgar.
Tapi apa yang dimaksud paham radikalisme itu pasti agama? Opini kita otomatis tergiring ke situ karena lamanya kita bercumbu dengan narasi penganut agama yang radikal.
Padahal, bisa jadi agama hanya parsnya, sedangkan totemnya adalah keseluruhan ideologi dan idealisme komunal, seperti disebut di atas tadi. Radikal bisa apa saja, di mana saja, dan beberapa memang perlu kita-takutkan. Radikal bebas misalnya.
Akan tetapi kalau melihat konteks webinar Pak Menteri Agama yang ditujukan untuk kalangan ASN, bisa jadi juga maksudnya para ASN diminta untuk waspada terhadap paham radikalisme yang mungkin sudah pelan-pelan masuk ke ruang kerjanya dengan cara yang menarik dan good looking. Seperti paham gila jabatan dan mabuk kekuasaan.
Hal ini juga termasuk radikal karena ciri-cirinya yang muncul jika sudah terjangkit biasanya adalah memaksakan kebenaran tunggal. Tidak tahan kritik. Kalau sudah begitu wajar jika Pak Menag mewanti-wanti sekali.
Kalau saja Kemenag pakai penjelasan majas tadi mungkin bisa sedikit membantu agar masyarakat lebih mudah memahami.
Bagaimanapun, saya harap Pak Menteri tetap sabar. Salah dipahami itu biasa. Salah paham adalah budaya kita. Pak Menteri adalah kita, kaum yang sering kali disalahpahami.
Buat Pak Menteri, lain kali kalau mau kasih pernyataan, coba pakai personifikasi saja. Biar yang dipakai benda mati, jadi nggak bakalan bisa protes. Asal jangan kitab suci juga sih.
BACA JUGA Bacaan untuk Fachrul Razi Sebelum Beneran Larang Cadar (dan Celana Cingkrang) atau tulisan Slasi Widasmara lainnya.