Pahitnya Menjadi Feminis Nanggung yang Tidak Diakui Sister Feminis dan Ukhti Fillah

Menjadi Feminis Nanggung MOJOK.CO

MOJOK.COMenurut admin akun Instagram Indonesia Feminis, yang mengaku feminis tapi nggak mau mendukung LGBT adalah feminis nanggung. Apa pun alasannya.

Belakangan ini unggahan di akun Instagram Indonesia Feminis (IF) kerap dibubuhi kalimat, “tidak menerima komentar ‘aku feminis, tapi aku nggak pro LGBT’ dan sejenisnya.”

Bagi kelompok yang mengklaim sebagai komunitas feminis nomer satu di Indonesia itu, tidak ada gunanya mengaku diri feminis kalau tidak mau mendukung perjuangan LGBT because feminism is intersectional. Perjuangannya menyeluruh, termasuk mengadvokasi eksistensi LGBT berikut tuntutan haknya.

Menurutnya, mereka yang mengaku feminis tapi nggak mau mendukung LGBT adalah feminis nanggung. Tidak peduli apa alasan penolakan tersebut, pun jika itu syariat agama sebagaimana para feminis muslimah. Bagi IF, feminis macam itu nggak diperlukan dalam perjuangan, bahkan akan di-autoblock kalau berani komen, “Aku feminis tapi nggak pro LGBT”, di lapak mereka.

Sebagai so called the biggest feminist community in Indonesia, pernyataan mereka tentu saja melukai teman-teman yang selama ini mendukung feminisme tetapi nggak begitu saja menelan dan menyetujui semua sekte perjuangannya. Sebab, seperti kita sudah sering dengar: aliran feminisme tuh banyak banget.

Sedikit review nih barangkali teman-teman lupa. Dari awal munculnya setidaknya ada delapan jenis pendekatan pemikiran feminisme yang disarikan Rosemarie Putnam Tong (2008): liberal; radical (libertarian dan cultural); marxist dan socialist; psychoanalytic; care-focused; multicultural, global, postcolonial, ecofeminism, dan postmodern.

Nah kedelapan (aliran) pemikiran itu bukan tidak pernah saling serang. Bahkan bisa dibilang pemikiran mereka kerap kontradiktif meskipun jarak kemunculannya tidak terlalu berjauhan.

Misalnya, feminis posmo yang menolak segala pemikiran dengan pendekatan “single explanation” sehingga semua suara perempuan wajib diberi ruang. Bagi mereka, it’s okay bagi perempuan untuk menjadi feminis apa pun yang mereka inginkan. Tidak ada one single definition of being a good girl alias “pembebasan perempuan” itu relatif.

Kalau di Indonesia, kelompok ini bisa dilihat pada teman-teman yang disebut geng Indonesia Feminis sebagai “feminis nanggung”. Alih-alih melakukan perjuangan intersectional yang inklusif, mereka justru mengkampanyekan kalau menjadi feminis nggak berarti harus mendukung LGBT atas nama hak. Menjadi feminis nggak berarti harus menyetujui seks bebas dan prostitusi atas nama otoritas tubuh, dll. Semacam menjadi “feminis yang baik” dengan nggak melanggar keyakinan keagamaannya.

Sedihnya, bagi beberapa kelompok keagamaan sendiri, feminis muslim/ah juga ditolak sebab keberadaannya dirasa tidak perlu dalam Islam. Karena kelahirannya berangkat dari kondisi yang sebenarnya nggak relatable dengan Islam serta beberapa (akar) pemikirannya yang bertentangan dengan hukum syariat.

Sementara itu, konsep “feminis yang baik” ini sebenarnya juga dinilai politically incorrect alias nggak pas bagi ideologi feminisme secara umum. Sebab kalau ada feminis yang baik (dengan tetap berpegang pada prinsip keagamaan), berarti ada feminis yang tidak baik? Padahal dalam sejarahnya feminis gelombang ketiga lahir dengan tujuan penghapusan narasi “good feminist” seperti itu.

Sedihnya lagi, meskipun dianggap politically incorrect dan perjuangannya nggak intersectional, teman-teman feminis nanggung ini lah yang justru dengan rajinnya memperkenalkan feminisme pada mereka yang sering kali sudah terlanjur benci terhadap feminisme. Melalui program pemberdayaan ekonomi perempuan, advokasi hak pendidikan perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, dan hak-hak perempuan lain yang sering dipinggirkan sistem.

Meskipun tidak menyinggung hak-hak minoritas gender seperti kaum LGBTQ, perjuangan sohibul feminis nanggung ini bukannya gampang, lho. Eh, tapi udah capek-capek begitu, malah nggak diakui sama sesepuh feminis sendiri. Gimana tuh rasanya berjuang tapi nggak dianggap? Perih gais, perihhh… Apalagi kalau berjuangnya sendirian. Hiks.

Tentu saja ada beberapa orang yang masih berusaha lobi alus dengan feminis sejati macam admin Indonesia Feminis dkk kalau semestinya mereka yang menolak LGBT tapi mengaku diri feminis tetap dihargai, apa pun pilihan mereka. Ada juga yang menasihati Admin and Friends biar nggak terlalu galak dan membuat orang membenci feminisme, utamanya mereka yang memang awam terhadap ideologi intersectional ini.

Tapi bukan Admin and Friends namanya kalau nggak ngegas hehe. Sampai saat ini pun mereka masih keukeuh kalau “feminis nanggung” begitu justru menjadi kerikil perjuangan. Bahkan ketika diingatkan untuk “lebih lembut”, menurut mereka akun IF yang sudah berjalan lama itu memang sudah saatnya bergerak tegas. Kalau nggak galak begitu, kapan majunya? Kata mereka.

Apakah kegalakan ini menunjukkan admin IF (and friends) nggak ngerti feminisme? Duh, nggak sopan, ngatain senior ini mah.

Apakah admin IF (and friends) kurang baca? Seperti judgement terhadap admin ITF, sehingga nggak bisa membedakan memperjuangkan kesetaraan gender dan mendukung LGBT? Wah, bisa dilempar setumpuk buku tuh sama admin.

Lalu kenapa geng IF seolah bersikeras memastikan seluruh feminis (Indonesia) mendukung pergerakan LGBT? Menurutku ya karena memang sudah saatnya sebagai komunitas feminis mereka menunjukkan posisi.

Bagi para pejuang LGBTQ, tahun-tahun belakangan momentum sekali untuk pergerakan mereka. Ya legalisasi pernikahan sesama jenis lah, ya gay parade yang makin heboh lah, ya produk-produk pop culture yang tambah semangat mengangkat mereka lah.

Apa yang terjadi kalau ada (banyak) momentum tapi ngga dimanfaatkan? Ya, doi keburu direbut orang, Bro! Hehehe.

Admin IF bukannya lupa kalau feminisme itu nggak boleh memaksakan satu definisi “feminis baik”. Sebaliknya mereka ingin agar kawan-kawan yang menurutnya nanggung itu berhijrah pada feminisme yang kaffah, intersectional, dan inklusif. Dan bukankah memang tujuan feminisme seperti itu? Hehe.

Sementara buat saya dan teman-teman (yang merasa) feminis nanggung lainnya, peristiwa ini justru menjadi momentum buat menyatakaan perasaan, eh keberpihakan. Bahwa pada titik tertentu kita memang harus memilih mau menetap di hati mana, eh di sisi mana. Bahwa ternyata menjadi too liberal to be conservative yet too conservative to be liberal itu, meski sekilas keren sebenarnya nggak membawa kita ke mana-mana.

Sebab berjalan di dua hati, eh ideologi, selain merepotkan juga melelahkan hati dan pikiran kita. Eh, kita? Saya aja sih. Kan, kamu nggak mau berjalan bersama saya. Hiks.

Exit mobile version