Kekhawatiran saya setelah tarian Pacu Jalur viral
Tapi, kita perlu tetap eling lan waspada serta tetap harus mempunyai pikiran kritis terhadap suatu gejala kebudayaan. Saya mengkhawatirkan beberapa hal ketika kita terlalu mengeksploitasi koreo Rayyan Dhika.
Pertama, kita harus belajar dari sejarah dunia digital beberapa waktu belakangan ini. Bahwa sesuatu yang meledak viral dengan sangat cepat di medsos, punya kecenderungan untuk lekas pudar dan ditinggalkan warganet.
Dengan membludaknya informasi-informasi di sekitar kita melalui internet, terdapat fenomena warganet yang FOMO untuk ikutan bereaksi terhadap sesuatu yang baru di media sosial.
Saat sebuah kebaruan muncul, warganet cenderung eksploitatif mereproduksi, mendistribusi, dan mengkonsumsinya. Tapi, perlu kita cermati bahwa ada fenomena warganet yang cepat jenuh, bosan, merasa cringe, sehingga konten tersebut dengan segera akan menjadi tidak lagi up to date dan segera digantikan oleh konten viral lainya.
Begitulah hukum viralitas digital hari ini. Ya mudah meledak dan mudah pula ditinggalkan.
Berdasarkan gejala itu, saya khawatir kita akan segera melupakan Rayyan Dhika dan tradisi budaya Pacu Jalur. Ya seperti kita telah mengabaikan hal-hal yang sempat viral lainnya (1000 hari Tragedi Kanjuruhan, polisi menembak Gamma, korupsi Pertamina, koreografi velocity, fenomena film Jumbo, dan seterusnya).
Jika kelak hal itu terjadi, Pacu Jalur hanya meledak sesaat. Setelah itu akan kembali lagi berada di tempat mulanya, di tepian sungai Kuantan.
Terlalu fokus pada aura farming, bukan Pacu Jalur
Kekhawatiran kedua saya adalah kita terlalu fokus pada tarian aura farming daripada peristiwa tradisi Pacu Jalur. Secara visual, kemunculan konten aura farming Rayyan Dhika memang menarik.
Dia berdiri dan menari di ujung perahu yang sedang kencang melaju, menggunakan baju adat tradisional plus aksesoris kacamata hitam gemerlapan. Gerakannya yang lucu sekaligus lincah dengan keahlian tinggi untuk tetap stabil di atas perahu menjadikannya pusat perhatian dari acara Pacu Jalur.
Tapi, dalam berbagai pembahasan tentang viralnya aura farming ini, sedikit sekali saya temukan tulisan yang justru membahas tentang Pacu Jalur serta rencana-rencana pemerintah dalam mengangkat tradisi ini.
Padahal, jika pemerintah jeli memanfaatkan kondisi ini, akan ada peluang membawa salah satu tradisi budaya anak bangsa ke tempat yang lebih tinggi. Misalnya menjadikannya perlombaan perahu kelas dunia.
Kita juga belum menemukan kiat negara untuk menyejahterakan para pelaku budaya atlet dayung Pacu Jalur. Popularitas ini juga bisa dijadikan media ungkit untuk merancang strategi promosi wisata strategis di daerah Riau. Saya terus terang khawatir nasib atlet olahraga dayung tradisional itu justru terabaikan ketika kelak vitalitasnya telah sirna.
Semoga tidak asal viral
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa nasib para atlet Indonesia acap terkatung-katung digantung pemerintah. Kita juga harus mengakui bahwa pemerintah sering menganakemaskan atlet cabang olahraga tertentu.
Ingat tentang fenomena atlet sepak bola mendapat hadiah jam tangan mewah? Sementara itu, banyak atlet cabang lain yang mendulang emas justru diperlakukan dengan senjang?
Lindswell Kwok, salah satu atlet wushu berprestasi di negeri ini, sempat mengunggah protes tentang ironi kesenjangan bonus atlet ini. Sebenarnya hari ini juga ada berita gemerlap di bidang olahraga lain, yaitu Veda Ega Pratama, pembalap dari Gunungkidul Yogyakarta, yang usianya masih 16 tahun tapi telah membuat Indonesia Raya berkumandang di 3 podium MotoGp dalam 2 bulan terakhir ini.
Tapi, kecemerlangan Veda Ega tak diperbincangkan banyak orang. Kalah dengan viralitas aura farming.
Dalam konteks perlombaan Pacu Jalur, semestinya kita semua bisa berlaku adil terhadap para pegiat tradisi tersebut. Jangan sampai kita justru hanya fokus pada koreografi aura farming. Tapi, setelah itu, berlaku biasa saja terhadap makna peristiwa yang lebih inti, yaitu olahraga tradisionalnya.
Tugas pemerintah
Semoga saja pesimisme tentang pengabaian budaya itu tidaklah terjadi. Semoga pemerintah dengan menteri kebudayaannya yang baru ini tidak terkena gejala “yang penting ikutan viral”.
Mengingat ada dasar hukum tentang mengenai kewajiban pemerintah untuk memajukan kebudayaan seperti termaktub dalam UU (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
Di dalamnya terdapat 10 Objek Kebudayaan yang harus dimajukan. Yaitu: tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
Saya belum tahu apakah aktivitas budaya tradisi Pacu Jalur ini dikategorikan sebagai permainan rakyat atau olahraga tradisional. Meski begitu, pemajuannya tetap harus menjadi tugas pemerintah.
Aset dan potensi kebudayaan ini ke depan harus menjadi perhatian pak Menteri Kebudayaan beserta jajarannya. Tidak cuma berhenti di tataran viral media sosial saja, tapi ada langkah serius dan berkelanjutan.
Semoga saja pak Menteri Kebudayaan masih bisa membagi waktunya untuk tetap memikirkan tradisi Pacu Jalur, mengingat beliau ini tokoh bangsa yang kerjanya sangat padat. Setelah kemarin baru saja sibuk mencanangkan Hari Kebudayaan Nasional yang akan diperingati setiap 17 Oktober yang kebetulan bersamaan dengan hari lahir Bapak Presiden.
Beliau ini juga sedang dikejar deadline merampungkan proyek untuk menulis ulang sejarah Indonesia. Sibuk banget.
Yah, intinya, majulah olahraga tradisional Indonesia! Amin.
Penulis: Paksi Raras Alit
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Fadli Zon: Narasi Orde Baru dalam Bayang-Bayang Reformasi dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












