Reuni dan Nostalgia Setelah 20 Tahun dengan Lato-Lato Adalah Kesalahan

Memang, sejak awal, lato-lato ini saya anggap tak mungkin menyamai keseruan balapan Tamiya, apalagi dibandingkan dengan membaca komik.

Reuni dan Nostalgia Setelah 20 Tahun dengan Lato-Lato Adalah Kesalahan MOJOK.CO

Ilustrasi Reuni dan Nostalgia Setelah 20 Tahun dengan Lato-Lato Adalah Kesalahan. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COSetiap orang punya cara untuk bernostalgia. Misalnya menonton film, memutar video masa lalu, dan yang bar-bar seperti memainkan lato-lato.

Umat manusia lagi-lagi terpecah menjadi dua kubu. Kali ini disebabkan oleh sebuah mainan. Mereka umumnya berwarna cerah, terbuat dari plastik, dan disatukan seutas tali. Selain visualnya yang ceria, bola-bola ini juga punya suara riuh, jika rikuh disebut berisik. Namanya lato-lato dan mainan ini memang menyebalkan.

Ethek-ethek, ethekan. Usum-usuman. Lare memengan, njaluk sampek tangisan.” (Ethek-ethek. Sedang musim. Anak-anak kecil memintanya sampai menangis.)

Penggalan lirik di atas pernah dikenal masyarakat pada periode awal 2000. Yah, setidaknya oleh saya dan kawan-kawan di sekolah. Saat itu saya masih SD dan geliat ethek-ethek sedang tumbuh di seluruh penjuru negeri. Sekarang ia dikenal sebagai lato-lato, namun dahulu kami mengenalnya sebagai ethek-ethek. Dan tentu saja, sebutan tersebut berasal dari suara khas yang ditimbulkan ketika dua buah bola plastik itu beradu. Saat itu, meski tak ada media sosial, ia tetap viral dan menjadi pemberitaan di koran dan televisi nasional. 

Nostalgia mainan zaman dulu

Menyaksikan banyak anak kecil memainkannya, mau tak mau membawa diri ini terbawa nostalgia. Sedikit kenangan mampu membuat saya merindukan masa kecil, meski hampir semua yang terkait dengan lato-lato tak meninggalkan kenangan indah. Tangan lebam kebiruan dan wajah seorang teman yang bonyok, adalah beberapa kenangan tak indah yang masih terbawa hingga kini. Pada kenyataannya, saya tak pernah memiliki mainan ini, dan itu bukan karena keadaan ekonomi saya.

Hampir 20 tahun terpisah, kami dipertemukan lagi lewat video viral di medsos dan beberapa anak kecil yang memainkannya di sekitar rumah. Lagi-lagi, saya tetap tak bisa menyukainya, meski saya bukan penikmat kesunyian, dan dibuktikan dengan saya yang tinggal di pinggir jalan raya lumayan ramai. Sebuah bengkel juga ikut memeriahkan suasana, di mana suara knalpot motor modifikasi kerap menyeruak di gendang telinga hampir setiap hari. Saya tak mengeluh pada keadaan macam itu. Namun, tidak pada si ethek-ethek, atau lato-lato, meski saya tetap berusaha untuk memakluminya.

Lato-lato tidak ada serunya

Memang, sejak awal, lato-lato ini saya anggap tak mungkin menyamai keseruan balapan Tamiya, apalagi dibandingkan dengan membaca komik. Saya tak pernah tertarik pada mainan ini, dan rasa itu makin kuat saat mulai mencobanya di umur delapan atau sembilan tahun. 

Berbekal meminjam milik sepupu, tangan saya membiru dan perlu beberapa hari untuk sembuh. Mungkin saya dinilai mudah menyerah, karena memang perlu waktu supaya bisa menguasai permainan ini. Kawan lain rela memiliki luka yang jauh lebih gawat dari yang saya alami agar jago memainkannya. Tapi, ia memang tak bisa menyenangkan masa kecil saya, kurang seru dan menyakitkan. 

Selain tangan membiru, ada juga luka lain yang lebih berkesan, meski bukan milik saya. Akibat dari ayunan tangan seorang kawan yang terlalu bersemangat, serta seutas tali tipis lato-lato yang putus, pipi seorang kawan yang lain pernah benjol dan lebam setelah salah satu pendulum menyerangnya. Orang tua korban mendatangi sekolah, sehingga timbul keriuhan yang lebih riuh dari puluhan lato-lato yang dimainkan bersamaan. Maka setelah kejadian itu, saya dan lato-lato berpisah lama, untuk kemudian bertemu lagi di hari-hari ini.

Ia ada di mana-mana

Si lato-lato memang mengganggu, terutama suaranya. Akan lebih terasa mengganggu saat kita memang tak menyukai wujud mainan itu sejak semula. Tapi, melihat pedagang mainan yang sedang panen keuntungan, tentu saya tak serta merta bisa membenci bola-bola plastik itu. 

Ia ada di pasar, depan pertokoan, kawasan CFD (Car Free Day), hingga tempat sakral yang biasanya sunyi macam masjid dan makam. Jika biasanya anak-anak kecil di lingkungan rumah saya asyik berkumpul sembari memandangi gawai mereka selama berjam-jam, kini mereka terlihat lebih aktif sembari mengadu beragam trik yang ciamik. Bahkan, suara bising lato-lato itu terus terdengar dari pagi hingga malam.

Begitu juga saat melihat wajah para orang tua yang semringah akibat bernostalgia. Mainan ini sudah ada sejak lampau, mengakibatkan para pencinta generasi lamanya bangkit lagi. Mereka tak mau kalah dengan anak dan cucunya. 

Segala trik masa lalu mereka pelajari lagi. Beberapa sendi yang mungkin sudah kaku, sepertinya tak bisa menahan gejolak mereka untuk bernostalgia. Memori otot yang belum luruh, begitu juga memori masa kecil mereka yang masih ingin diulang, tak ingin disia-siakan.

Ini soal selera saja, mungkin memang begitu adanya. Saya boleh tak menyukai lato-lato, namun orang lain punya hak untuk menyukainya sampai dalam tulang. Saya bisa saja merasa terganggu dengan suaranya, dan boleh mengeluh soal itu. Tapi, bagi pencintanya, suara bising itu ibarat musik surgawi. 

Apalagi bagi para juri perlombaannya, yang mungkin sudah mampu membedakan mana yang sumbang dan seperti apa yang merdu. Lagi pula, mainan ini sedang tren, dan biasanya yang semacam itu bersifat tak tahan lama.

Bentuk pengulangan tren

Lato-lato adalah bukti pengulangan tren. Ia adalah bentuk dari sesuatu yang tengah viral di masyarakat, mirip seperti apa yang terjadi pada fidget spinner, batu akik, odading Mang Oleh, dan Fajar Sadboy. Muncul tanpa kita tahu sebabnya, dinikmati karena sedang menjadi primadona, dan mungkin akan segera hilang menguap begitu saja. 

Jadi, mungkin saya dan Anda yang tak menyukai suara bising lato-lato, begitu juga takut dengan bahayanya, saya kira hanya perlu bersabar dan menunggu ia hilang lagi. Ya, seperti dahulu.

Yang pasti, bagi saya dan sampai hari ini, lato-lato atau ethek-ethek tetap tak bisa menimbulkan perasaan nostalgis yang melankolis. Saya tetap tak bisa mencintainya. Apalagi nama barunya, membuat saya makin tak merasa bersalah menjauhinya.

Cara menikmati nostalgia

Sesekali saya menonton lagi film, acara televisi, serta anime yang dahulu menemai masa kecil. Sembari menatap layar gawai, saya sedang menjelma menjadi seorang anak yang belum ganti baju sehabis pulang sekolah, lalu sepiring makan siang ada di pangkuan, matanya terpaku pada para robot raksasa dan mengikuti petualangan seorang ninja cilik yang ingin jadi Hokage. Meski akhirnya dia harus berangkat mengaji di tengah acara dan terpaksa mandi.

Nostalgia, sebuah mekanisme yang membuat candu, meski sebenarnya dibutuhkan dalam porsi yang tepat. Karena jika terlalu berlebihan, justru cenderung berbahaya. Seperti yang pernah dikatakan oleh penyanyi Raisa dalam lagunya yang berjudul “Terjebak Nostalgia”. Terjebak nostalgia, alias sulit move on, atau malah gagal. Semua memang harus pas takarannya, agar tak ada harapan yang berlebihan. 

Setiap orang boleh memilih caranya sendiri untuk bernostalgia, begitu juga boleh untuk tak menyukai cara bernostalgia orang lain. Pasti ada yang menonton film, melihat foto lama, memutar video masa lalu, membaca koleksi buku, mengenakan baju masa mudanya, berkaraoke, ikut reuni, dan beberapa orang memilih cara yang bar-bar seperti memainkan lato-lato. 

Mungkin akan beda ceritanya jika yang sedang mengulang musimnya adalah Tamiya, tentu saya dengan sukacita ikut serta bernostalgia. Bahkan, jika perlu sambil mengharu biru. Namun, mobil-mobilan yang sudah saya rakit dan pamerkan ke kawan-kawan satu kampung itu, tetap belum membuahkan hasil. Pada akhirnya saya tak punya lawan tanding, dan kata mereka saya buang-buang waktu saja.

Terjebak nostalgia

Mungkin itu benar. Tapi, setidaknya saya bukan orang yang memasang gambar tempel orang tua yang tersenyum sambil melambaikan tangan. Lalu sebuah kalimat tanya “Piye, isih penak jamanku, to?” dibubuhkan juga di sana. Entah apa yang diharapkan dari gambar tempel itu. Nostalgia mungkin?

Padahal, tak hanya sekadar lebam dan bonyok yang didapat banyak orang pada zaman itu. Lebih parah, lebih jahat, dan praktik serta rasa sakitnya belum usai hingga kini. Saya kira cara bernostalgia, atau bahkan terjebak nostalgia macam itu, membuat lato-lato menjadi terasa mulia sekali.

BACA JUGA Gedek Setengah Mampus sama Kelakuan Suami yang Hobi Beli Mobil-Mobilan dan kisah menarik lainnya di rubrik ESAI.

Penulis: Bayu Kharisma Putra

Editor: Yamadipati Seno

Exit mobile version