MOJOK.CO – Media belakangan menggambarkan perempuan lewat Nia Ramadhani: kaya dan cantik, tapi di sisi lain dicitrakan nggak bisa ngapa-ngapain.
Pagi tadi, saya menggoreng ikan sampai gosong seperti arang. Sayang sekali, saya bukan Nia Ramadhani ya gengs, yang bisa pakai frekuensi publik sebebas sultan untuk bikin viral hal-hal yang luar biasa
Beberapa hari setelah video Nia Ramadhani nggak bisa mengupas salak viral, acara “Ngopi Dara” Trans TV menyiarkan judul Nia Ramadhani nggak bisa mengupas buah. Saya pikir, buah yang tidak bisa dikupas Mbak Nia adalah buah tebu atau buah kelapa. Kalau untuk mengupas dua buah itu memang perlu keahlian khusus megang sabit sih. Tapi ternyata, Nia Ramadhani ngupas manga aja nggak bisa.
Baik. Bisa dimaklumi. Blio beralasan, sejak kecil kalau mau makan, mamanya selalu menyediakan buah potong ke hadapannya sehingga tinggal makan saja.
Dalam episode Nia pertama kali pergi ke pasar, berikut adalah transkrip verbatim yang bisa saya dengar:
Jedar : Nia, emang kamu bisa masak?
Nia : Ya bisalah. Aku mau masak tahu yang dicocol-cocol itu. Itu tahunya digoreng, terus dicocol-cocolin itu. Pakai apa ya?
Jedar : Cabe?
Nia : Iya cabe.
Kemudian mereka berinteraksi dengan pedagang di pasar.
Nia : Saya mau masak tahu dicocol cabe itu. Cabenya yang mana?
Nia : Terus pake apa lagi, Bu, bikin cocolannya?
Nia : Aduh itu kok duit ditaruh di atas cabe?
Nia : Ini cabe apa sih? Oh, bikin lebih pedes.
Nia : Gimana sih masak tahu dicocol? Oh, tinggal cebur-ceburin doang (sambil kipas-kipas kepanasan).
Lalu, media digital keesokan harinya membuat konten berita spektakuler yang datanya diperoleh dengan berkeringat dari observasi mendalam lewat tayangan Youtube.
NIA RAMADHANI PERTAMA PERGI KE PASAR
NIA RAMADHANI HERAN BELANJA DI PASAR MURAH BANGET
NIA RAMADHANI NYEMPLUNGIN TAHU KECIPRATAN MINYAK
Bajilak, cocol dengkulmu.
Selain episode itu, episode soal disabilitas Nia Ramadhani dalam melakukan hal-hal yang seharusnya dapat dikerjakan oleh normal masih terus berlanjut.
Seperti: Nia tidak bisa menggoreng telur, Nia kesasar di rumahnya sendiri, Nia tidak bisa membuka pintu kamarnya, Nia tidak bisa melipat pakaian, Nia heboh kecipratan minyak, Nia tidak pernah naik KRL, dan segambreng kekonyolan lainnya untuk ditertawakan masyarakat kismin bersama-sama.
Dengan kata lain, perempuan di media digambarkan level Nia Ramadhani: perempuan super kaya dengan privilege kecantikan dan materi, tapi di sisi lain nggak bisa ngapa-ngapain.
Padahal, perempuan dengan power sebesar Nia sudah mestinya dapat berbuat banyak hal, bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk memberikan energi kebaikan kepada perempuan lainnya.
Saya yakin, orang-orang kaya yang normal lebih terekspos kepada banyak akses: akses pendidikan, akses ekonomi, akses politik, akses sosial alias pergaulan, bahkan akses hiburan. Sehingga, mereka sudah pasti lebih menguasai berbagai keahlian dan punya banyak pengalaman.
Sayangnya, media nggak mau itu terjadi. Media, dengan pandangan yang amat kuno dalam membentuk citra perempuan, mengharuskan perempuan memilih: cantik manja bego, atau miskin berjuang ditindas.
Padahal Mbak Najwa Shihab kan sudah bilang, kenapa perempuan harus selalu memilih? Seolah-oleh ia tidak bisa mendapat semuanya. Ya berpengetahuan, ya berdaya.
Saya kok yakin, dalam kesehariannya, Nia Ramadhani kayaknya nggak selemah itu sampai nggak tahu penampakan cabe sama bawang.
Sebetulnya, pandangan kuno soal perempuan itu pun sudah jauh berubah lho. Iklan kosmetik hari ini nggak cuma ngomongin soal warna kulit aja—misalnya, tapi bagaimana menampilkan perempuan beragam profesi yang memakai kosmetik yang paling nyaman untuk dirinya dalam rangka menjaga penampilan hariannya.
Itu bukti kalau sebuah stigma yang sudah mengakar ratusan tahun soal mitos kecantikan perempuan bisa berubah kalau industri yang menyuplai dan melegitimasi kuasa pengetahuan soal perempuan—dalam hal ini media—mampu menyediakan informasi yang baik.
Tapi kan salah masyarakat yang menonton itu? Definitely.
Masyarakat kita bisa jadi juga mengimani oposisi biner yang sudah jadi imaji penggambaran berabad-abad begitu: cantik manja nggak pernah ngapa-ngapain atau miskin bekerja keras ditindas. Perempuan kelas bawah menerima itu sebagai gambaran yang benar-benar nyata, bahwa maklum orang kaya tidak bisa ngapa-ngapain.
Well, perempuan di media kini tidak hanya perempuan cantik yang jahat atau perempuan miskin bertakwa pakai jilbab yang dianiaya suami kaya yang selingkuh lalu hanya bisa berdoa hingga suaminya mendapat azab. Kita sudah sampai pada level perempuan cantik dan super kaya, tapi harus bodoh.
Barangkali agar bisa ditertawakan bersama, agar kita bisa sejenak lupa persoalan komunitas perempuan yang sesungguhnya: perempuan dan kemiskinan, kawin anak, stunting dan gizi buruk, lingkaran setan kekerasan, beban ganda dan lain-lain.
Oh iya, kita kan sudah sangat terbiasa dengan tayangan kemiskinan di layar kaca yang jadi komoditas. Kini saatnya tayangan kekonyolan orang kaya dong yang jadi komoditas.
Terima kasih, Kak Nia Ramadhani.
Oh iya terakhir, mau kasih tahu aja ke Mbak Nia. Anu, Presiden sekarang udah bukan Pak SBY lagi lho, Mbak. Ya kali aja Mbak Nia nggak tahu yeee kan.
BACA JUGA Nia Ramadhani Hidupnya Enak, tapi Apa Seenak Itu? atau tulisan KALIS MARDIASIH lainnya.