MOJOK.CO – Naik sepeda dari Jogja menuju Lamongan bukan tentang ratusan kilometer. Ini adalah usaha untuk pulang, menunaikan rindu kepada ibu.
Kadang hidup itu lucu. Kepala lagi ruwet, hati penuh kegelisahan. Eh, solusi yang kepikiran malah: “Sudahlah, gowes saja Jogja Lamongan PP.” Sendirian pula.
Orang lain mungkin akan bilang saya lagi cari perkara. Tapi, buat saya, perjalanan ini adalah semacam ziarah batin. Karena jelas, ini bukan sekadar soal jarak, tapi janji seorang anak yang sedang rindu.
Malam sebelum berangkat, sebenarnya saya sempat ragu. “Jadi berangkat nggak ya?” Pikir saya sambil menatap sepeda saya. Untung ada lirik Perunggu yang terus muter di kepala: “Beranikan kaki, melawan hati…” Ditambah lagi rasa kangen pada ibu yang nggak bisa ditunda. Semua hal itu membuat saya yakin untuk menerjang 600 kilometer Jogja Lamongan.
Akhirnya, sekitar pukul 3 pagi, saya bangun, ganti baju, ngecek sepeda dan tas yang akan saya bawa, sampai memastikan sunscreen aman biar kulit nggak gosong. Istri tercinta membantu semua proses ini dan dia jauh lebih ribet ketimbang saya.
Sebelum subuh, persiapan selesai dan saya pamit kepada istri. Ada sedikit haru di sana, tapi dukungannya bikin saya benar-benar mantap berangkat.
Dari Jogja menuju Lamongan
Berangkat dari Jogja menuju Lamongan sebelum subuh ternyata pilihan yang tepat. Jalanan masih sepi, udara sejuk bikin napas lebih panjang, dan kayuhan terasa lebih enteng.
Pemberhentian pertama saya adalah Masjid Al Aqsha di Klaten untuk salat Subuh. Selepas salat, saya langsung mengeluarkan telur rebus bekal dari istri. Katanya, saya harus makan banyak protein, biar kuat. Oke, telur rebus tandas.
Dari situ perjalanan berlanjut dan sunrise muncul di depan mata. Rasanya seperti semesta sengaja membuatkan jalur cahaya buat saya.
Di Sragen, saya berhenti untuk sarapan. Saat menyantap makanan saya sadar, bahwa gowes sendirian itu begitu nikmat dan menyenangkan. Nggak ada yang harus dikejar, nggak ada yang harus ditunggu. Semua keputusan di tangan sendiri. Mau berhenti ya berhenti, mau ngebut ya ngebut. Kayak hidup ideal yang sering kita bayangin: bebas.
Baca halaman selanjutnya: Demi rindu kepada ibu.
Musuh bebuyutan pesepeda
Tentu saja, jalan nggak selalu mulus. Di jalanan menuju Ngawi, saya harus berhadapan dengan musuh bebuyutan pesepeda: angin.
Bukan angin sepoi-sepoi manja, tapi jenis yang frontal. Angin kencang ini bikin sepeda yang saya kayuh seolah nggak maju-maju. Saking kencangnya, ketika saya istirahat di warung es degan, sepeda yang saya sandarkan di meja warung sampai roboh diempas angin.
Belum lagi tanjakan sebelum dan sesudah Watu Jago menjelang Padangan. Bukan karena kemiringan, tapi karena di sana saya harus sering berpapasan dengan truk-truk besar yang bikin sepeda karbon saya goyang kayak odong-odong. Perjalanan dari Jogja menuju Lamongan memang seriuh ini.
Untungnya saya bisa mampir ke rumah kakak ipar di Cepu. Di sana, saya numpang istirahat dan salat Ashar. Saking nyamannya, saya malah ketiduran.
Saya tidak lama mampir di rumah kakak ipar karena ingin mampir juga di rumah mertua di Senori, Tuban. Jaraknya tidak terlalu jauh, tapi penuh tanjakan.
Sekitar pukul 5 sore, saya berangkat dari rumah kakak ipar. Dan pada waktu itu saya mengalami momen paling sunyi di perjalanan dari Jogja menuju Lamongan ini.
Senja mulai turun dan gelap datang merayap. Jalur Cepu-Senori sepi dan gelap. Di kanan dan kiri hutan jati mengapit. Pohon-pohon jagung meranggas usai panen.
Cyclocomp saya menunjukkan gradient tanjakan sudah di angka dua digit dan suara toa masjid menjelang Maghrib terdengar sayup-sayup. Rasa takut dan rindu bercampur. Akhirnya saya video call istri, biar nggak merasa sendirian di perjalanan dari Jogja menuju Lamongan ini. Pukul setengah 7, saya sampai di rumah mertua.
Jalan dari Jogja menuju Lamongan naik sepeda bikin ibu mertua kaget
Begitu sampai, ibu mertua saya setengah kaget, setengah panik. “Ya Allah mas, tak kiro gowo sepeda, kok ya gowo onthel. Wis ndang adus, sholat, maem terus istirahat.”
Saya baru sadar. Di Jawa Timur, kalau bilang “sepeda” ya maksudnya ‘motor’. Kalau yang saya bawa ini disebut “onthel”. Jadi, mungkin kalau saya bilang mau berangkat dari Jogja ke Lamongan naik “onthel” pasti tidak akan diberi izin. Yah, malam itu, saya mengaso di rumah ibu mertua dan akan berangkat ke Lamongan sepagi mungkin.
Saya sudah berencana berangkat ke Lamongan sebelum subuh. Namun, ibu mertua menahan saya. Katanya, saya wajib sarapan dulu. Tentu saya tidak bisa menolak perintah ibu mertua dan memutuskan untuk sarapan. Baru pukul 7 pagi, saya melanjutkan perjalanan dari Jogja menuju Lamongan.
“Ya Allah mas, mene maneh gowo sepeda wae toh ben ora kesel. Iki ameh tak gawani beras kok ya gowo onthel. Ati-ati ya, alon-alon wae.” Salam perpisahan ibu mertua memang cukup panjang. Beliau menyertai saya dengan doa ketika sinar matahari sudah mulai silau di mata.
Semesta punya rencana
Perjalanan dari Tuban menuju Lamongan saya tempuh lewat jalur Pantura. Panasnya edan, anginnya mobat-mabit. Sampai-sampai saya beberapa kali harus ngadem di bawah AC minimarket.
Di salah satu mini market, saya membeli dua botol air untuk mengisi ulang bidon. Mas penjaga mini market memberi saya bonus minuman isotonik.
Dapat bonus malah membuat saya bingung. Mau ditaruh mana bonus itu karena saya hanya bawa satu bottle cage di sepeda. Saya juga tidak mungkin menghabiskannya langsung. Bisa-bisa perut saya suduken karena kebanyakan minum.
Dengan masih bingung saya menerima bonus itu lalu menuju pintu keluar. Di depan pintu, ada seorang anak kecil menadahkan tangannya, “Mas, minta mas buat makan.”
Tanpa pikir panjang, langsung saya kasih minuman itu plus sepotong roti dari tas. Rasanya kayak semesta sengaja ngatur. Bonus nyasar jadi rejeki si bocah. Seperti perjalanan dari Jogja menuju Lamongan ini.
Akhir perjalanan Jogja menuju Lamongan
Sampai di Lamongan, saya sempat melintas di depan Wisata Bahari Lamongan (WBL). Saya hanya nyengir sendiri karena seumur hidup baru sekali ke sana. Ironisnya, WBL memang tempat wisata yang megah. Namun, yang saya rindukan dari Lamongan justru jalanan di tepi sawah, SMP lama saya, dan jalur kecil yang dulu saya lalui naik sepeda Phoenix mini.
Sampai di rumah, bapak saya kaget setengah mati. Saya memang nggak bilang mau pulang, apalagi bilang dari Jogja menuju Lamongan naik sepeda. Yah, bapak kaget tapi setidaknya saya sampai dengan selamat. Setelah istirahat dan mandi, saya langsung menuju makam ibu.
Tanah di makam ibu kering karena kemarau. Rumput liar tumbuh di sekitar nisan ibu. Saya membasuh nisan itu lalu mencabuti rumput-rumput liar itu.
Saya berbisik ke nisan ibu, “Bu, aku di sini, aku rindu. Maaf aku tidak bisa sering mengunjungimu.”
Sebelum air mata tumpah, saya buru-buru berdoa. Angin sore menemani. Sunyi, tapi hangat. Saya yakin, ibu tak pernah benar-benar pergi.
Setelah puas bercerita dan berdoa di makam ibu, saya pulang. Selama satu hari penuh saya istirahat di rumah. Untuk jalur dari Lamongan menuju Jogja, saya pilih lewat Bojonegoro, Padangan, lalu sama seperti ketika berangkat.
Kembali ke Jogja
Saya sempat merasa “aneh” di perjalanan kembali ke Jogja dari Lamongan. Semuanya jadi terasa lebih mudah. Jalanan lancar layaknya hati yang lapang. Seolah semua rindu sudah terbayar. Seolah ada sosok ibu yang menemani di setiap kayuhan.
Total waktu perjalanan dari PP Jogja-Lamongan adalah sekitar 27 jam. Semua lelah lenyap begitu sampai Jogja, senyuman dan pelukan istri menyambut dengan hangat.
Saya menghitung, total perjalanan PP saya adalah sekitar 640 kilometer. Tapi sejak awal, ini bukan soal angka. Perjalanan ini adalah janji seorang anak yang sedang rindu kepada ibu. Dan janji itu, akhirnya tertunaikan.
Sampai di titik inilah saya sadar. Pulang memang tidak selalu berarti sampai ke rumah. Bisa juga berarti kembali ke tempat asal, ke pusara ibu, ke remahan masa muda yang pernah berantakan tapi tetap jadi bagian dari diri kita.
Bagi saya, pulang juga bisa berarti berdamai dengan jalanan panjang yang bikin betis kram tapi hati jadi lega. Pulang juga bisa berarti memastikan bahwa orang-orang yang kita cintai tahu kita tidak lupa dan sedang baik-baik saja. Bahwa di tengah rutinitas, ada jeda panjang yang kita sisihkan hanya untuk menepati janji.
Mungkin itulah kenapa perjalanan pulang dari Lamongan menuju Jogja terasa lebih enteng. Karena jarak 300 kilometer bukan lagi jarak, tapi semacam doa yang sudah selesai dilantunkan.
Saya gowes dengan rasa lapang karena semua rindu kepada ibu sudah tersampaikan. Dan saya percaya, di tiap kayuhan itu, ibu menemani. Tidak tampak, tapi terasa. Seolah setiap embusan angin yang menyapu wajah adalah pelukan kecil dari beliau.
Pulang, pada akhirnya, bukan tentang seberapa jauh kita pergi. Pulang adalah tentang memastikan kita ingat dari mana kita berasal, dan berani kembali meski dengan cara paling sederhana: mengayuh sepeda, perlahan, tapi menuju tujuan yang pasti.
Penulis: Mohammad Sadam Husaen
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Ibu Pergi ke Laut dan catatan perjalanan lainnya di rubrik ESAI.
