MOJOK.CO – Warga Muhammadiyah sempat dilarang menggelar ibadah salat Idulfitri di lapangan publik. Sebuah puncak komedi.
Gagal menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, kita pun kemudian berebut lapangan sepak bola. Kali ini, bukan untuk kepentingan sepak bola, melainkan untuk mendirikan salat Idulfitri.
Pemicunya dari Pekalongan dan Sukabumi. Wali Kota dari dua daerah tersebut, Afzan Arslan Djunaid dan Achmad Fahmi menolan pemanfaatan lapangan publik untuk salat Idulfitri pada 21 April 2023.
Keduanya mulanya tidak mengizinkan lapangan masing-masing digunakan warga Muhammadiyah. Kemudian, saat tulisan ini dimuat, pelarangan tersebut sudah diralat dan izin keluar.
Izin itu keluar setelah terjadi keriuhan di media dengan ledakan komentar dan ragam analisis. Fikih dan dalil dihadirkan seakan kita ini “khilafah” dan bukan republik. Padahal, ini soal perizinan ruang publik untuk kepentingan masyarakat melakukan aktivitas baik, kegiatan yang bermanfaat.
Bahkan, ada yang meminta, sebaiknya Muhammadiyah kembali lagi saja ke masjid untuk mendirikan salat Idulfitri. Segampang itu. Sesederhana itu.
Muhammadiyah adalah pionir
Tapi, sejarah ber-idulfitri di tanah lapang itu bagi Persyarikatan Muhammadiyah adalah jalan ijtihad yang mereka ambil. Setahu saya, Muhammadiyah menjadi pionir dalam soal mendirikan salat Hari Raya di lapangan terbuka.
Peristiwa itu disarikan secara menarik oleh majalah Bintang Islam No. 9, Th. III bertarikh 16 Syawal 1343 H atau dalam kalender masehi jatuh pada 10 Mei 1925. Majalah yang dipimpin tim editor, antara lain H. Fachrodin, R.M. Tjakraaminata, Moechtar Boechary, H. Soedjak, dan M. Soemodirdjo ini memuat kabar salat Id di lapangan itu dengan judul “Sembahjang hari Raja”. Disusul subjudul: “Loear biasa”.
Saya bisa memahami ke-“loear biasa”-an peristiwa ini karena menjadi bagian dari sejarah penting dan kelak menjadi kebiasaan hingga Idulfitri tahun ini. Yakni, salat di lapangan terbuka. Lebih spesifik lagi, bersujud massal di lapangan sepak bola.
Sebelum 1 Syawal 1343 atau 25 April 1925, kebiasaan umat di Hindia Belanda menyelenggarakan ibadah Idulfitri di masjid atau surau atau rumah. Pendeknya, bersembahyang secara indoor.
Baca halaman selanjutnya
Salat Idulfitri outdoor pertama dalam sejarah
Salat Idulfitri outdoor pertama dalam sejarah
Barulah 1 Syawal 1343 atau 25 April 1925 itu, muncul pertama kali di Yogyakarta salat Idulfitri di lapangan. Dan, itu dilakukan Muhammadiyah. Simak kalimat redaksi Bintang Islam yang saya salinkan secara verbatim:
“Perserikatan Moehammadijah di Djokja, telah adakan sembahjang hari Raja tida di Masdjid, tetapi di adakan ditanahlapang, dan jang sama toeroet sembahjang itoe boekan sadja kaum laki-laki, tapi kaum perempoean toeroet joega, dan boekan sadja orang orang toea-toea, tetapi anak-anak poen sama toeroet sembahjang berdjamaah”.
Alasan akhirnya Muhammadiyah memutuskan menyelenggarakan salat Id secara outdoor adalah bahwa “dilihat dari banjaknja orang jang pada sekarang sangat memerloekan mendjalankan ibadat, terboekti dilihat dari adanja orang-orang jang sama bersembahjang Djoem’at di Mesdjid sekarang soedah penoeh. Djadi timboel pengiraan: bahwa sembahjang di Mesdjid boeat hari Raja ini tida bisa tjokoep lagi.”
Pada saat itu, memang, kapasitas Masjid Besar atau Masjid Gedhe di Kauman hanya cukup 5000 orang saja. Itu saja sudah meluber keluar.
Lantaran perkiraan jemaah yang salat untuk Hari Raya lebih besar lagi, atau dalam kalkulasi Bintang Islam sebanyak 8000-an jemaah, keputusan untuk memindahkan dari masjid (indoor) ke lapangan (outdoor) menjadi pilihan rasional.
Kelaziman baru
Lapangan pertama yang menjadi eksperimen peribadatan Idulfitri secara outdoor ini bukan Alun-Alun Utara maupun Selatan Keraton Yogyakarta, melainkan tanah lapang Gampingan. Perkiraan saya, kemungkinan yang dimaksud “Tanahlapang Gampingan” itu, terkini, adalah RS AMC Yogyakarta, di sisi barat JNM (ASRI) atau SMA Negeri 1 Teladan.
Sebelum menjadi rumah sakit, lokasi itu menjadi kampus utama Universitas Muhammadiyah Yogya sebelum pindah ke Kasihan, Bantul. Jarak dari Masjid Gedhe (Keraton) ke “Tanahlapang Gampingan” di Pakuncen ini lebih kurang 1,7 kilometer yang dalam bahasa Bintang Islam berada “di loear Kota Djokja“.
Salat Hari Raya outdoor di luar Kota Jogja itu diimami oleh voorzitter Headbestuur Moehammadijah, K.H. Ibrahim, sementara yang bertindak sebagai khatib adalah Hadji Wasool yang juga Ketua Bidang Tableg. Baik K.H. Ibrahim maupun Hadji Wasool adalah imam dan khatib pertama salat Hari Raya di lapangan terbuka pada masa Hindia Belanda.
Sejak saat itulah, terutama dalam tubuh Muhammadiyah, salat Idulfitri di lapangan terbuka menjadi kelaziman baru yang kelak menjadi kebiasaan umat Islam se-Indonesia. Paling tidak, sejak awal, Muhammadiyah telah menambah perbendaharaan manfaat lapangan terbuka yang bukan sekadar diperuntukkan untuk kegiatan olahraga, pasar tiban, rapat umum politik, atau pertunjukan, melainkan juga mendirikan ibadat senyap bernama salat.
Puncak komedi
Jika hari ini atau 98 tahun kemudian, muncul lagi wacana memperhadapkan Muhammadiyah dengan lapangan dalam percakapan sosial di pekan hening Ramadan jelang puncak, saya kira keterlaluan cara berkomedinya.
Semoga saja, pengguguran dari “penolakan izin” pemerintah kota di Sukabumi itu dilambari oleh sebuah kesadaran historis salat Idulfitri di Indonesia, bukan karena desakan deras publik di internet. Itu.
Penulis: Muhidin M. Dahlan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Semua akan Menjadi Muhammadiyah pada Waktunya dan analisis menarik di rubrik ESAI.