Betapa susahnya verifikasi sehingga beberapa penulis kerap mengabaikan. Termasuk saya. Setidaknya, seingat saya, tiga kali saya menyebarkan berita yang tidak tepat karena belum diverifikasi. Akibatnya sangat fatal, pembaca tertipu, orang yang ditulis namanya tercemar, dan yang paling buruk: integritas dan kredibilitas saya rusak—kalau saya masih punya.
Oryza Ardyansyah, jurnalis Berita Jatim yang juga senior saya, pernah mengatakan bahwa jurnalis adalah pedagang kejujuran. Ia harus selalu jujur. Karena sekali ia berbohong, pembaca tidak akan pernah mempercayainya lagi. Ajaran ini saya pegang teguh seperti saya menjaga tali nyawa. Meski demikian, toh saya juga beberapa kali kedapatan kurang awas verifikasi. Hasilnya, malu luar biasa.
Gegabah dalam verifikasi bisa membawa kepada fitnah, kebencian, dan kerusakan yang tak mungkin diperbaiki. Menarik bagaimana Mohammad Sohibul Iman, Presiden baru PKS, berpendapat tentang media sosial dan verifikasi. Melalui akun twitternya ia berkata—boleh jadi ini paradoks paling heboh di era medsos: makin melimpah informasi bukan makin bijak dan penuh hikmah, tapi makin ceroboh dan tebar fitnah. Lebih lanjut ia mengatakan, fitnah bisa menimbulkan irreversible damage.
Mojok, sebagai media opini, kali ini kena getahnya. Dalam kasus BPJS dan MUI, mereka menurunkan dua artikel yang kurang tepat. Premis yang diserang bahwa BPJS dinyatakan Haram, padahal tidak demikian adanya. Ini jadi menarik, mengingat Arlian Buana, pimred Mojok adalah sosok yang cukup galak dalam verifikasi. Satu tulisan saya pernah ia bantai dan koreksi habis karena menggunakan sumber yang tidak bertanggungjawab.
Kesalahan Mojok ini menjadi polemik, tidak besar, namun fatal. Polemik ini diawali dari kabar bahwa MUI mengharamkan BPJS, semua media besar pun memberitakan begitu. Setelah beberapa lama bola panas itu bergulir di publik, baru MUI melakukan klarifikasi.
Fauzan Mukrim, jurnalis CNN, dalam artikelnya Fatwa (Monyet) Pujangga, mengkritik media-media yang kerap memanjakan para clicking monkey. Apa clicking monkey itu? Fauzan merujuk pada kolom Daru Priyambodo, Pemimpin Redaksi Tempo.co, tanggal 15 November 2013, yang berjudul The Clicking Monkeys. Menurut Daru, clicking monkeys adalah “orang yang dengan riang gembira mengklik telepon selulernya untuk mem-broadcast hoax ke sana-kemari, me-retweet, atau mem-posting ulang di media sosial.”
Para clicking monkey ini memang susah ditertibkan. Menjadi celaka apabila pekerja media menjadi satu barisan dengan mereka.
Para clicking monkey ini secara tidak langsung membuat itikad baik MUI menjadi buruk sebelum dipahami. Saya pribadi sebagai umat muslim tidak selalu setuju dengan MUI, namun ketidakadilan kepada mereka bukan berarti mesti kita terima sebagai sesuatu yang wajar.
Mojok dalam hal ini sudah melakukan klarifikasi, memberi penjelasan dan meminta maaf secara terbuka. Ini sebenarnya hal biasa yang dilakukan media ketika mereka berbuat salah. Namun hal yang biasa ini jadi luar biasa karena jarang dilakukan oleh media di Indonesia.
Hanya media yang memiliki integritas moral, tanggung jawab, dan yang lebih penting nurani, yang sanggup meminta maaf secara terbuka. Berapa kali anda menemukan media atau media abal-abal yang tak jelas redaksinya menyebar berita bohong dan kebencian? Setelah ketahuan bohong, mereka lebih suka lepas tangan tanpa permintaan maaf.
Indonesia sebenarnya punya tradisi minta maaf. Ketika ada berita yang salah, maka media bersangkutan akan memberikan hak jawab kepada orang/organisasi yang merasa dirugikan. Dewan Pers akan menjadi pihak yang menengahi. Bahkan beberapa media akan melakukan permintaan maaf secara terbuka dan koreksi jika berita yang ada memang terbukti salah, bohong, atau dibuat dengan tendensi tertentu.
Mojok perlu berbenah. Selama ini, Mojok kerap menjadi media kagetan. Tiap ada keramaian, seperti barisan monyet yang lapar Mojok langsung merespons. Saya juga termasuk. Semestinya, Mojok memberikan kesempatan para penulisnya untuk memahami sebuah masalah sebelum menuliskan. Lapisan pembaca awal dan editor Mojok mesti ditambah. Beban mesti dibagi sehingga kualitas bisa terjaga. Jika tidak, seperti monyet-monyet yang hanya bisa berteriak ketika ada keributan, Mojok akan jalan di tempat dan turun derajat jadi media sampah yang hanya bisa menyebarkan kebohongan.
Mojok sejauh ini menjadi angin segar ketika bacaan berisi kebencian dan kemarahan seperti air baih. Ketika media-media abal-abal yang berlabel agama menyerukan penyesatan dan pengkafiran, Mojok dengan santai membahas makanan. Ketika media lain sibuk bicara politik, Mojok bisa dengan lihai memberikan penulisnya kesempatan untuk curhat. Namun perasaan menjadi yang terbaik memang melenakan. Akibatnya kualitas tidak terjaga dan mutu menjadi rendah.
Saya pribadi tidak ingin Mojok jatuh menjadi hina seperti media-yang-sukanya-menghapus-postingan-ketika-ketahuan-bohong. Atau menjadi media medioker-partisan-tapi-malu-malu yang mendukung salah satu partai. Mojok mesti berpihak, berpihak pada kenakalan dan wisdom of the crowd. Para penulis Mojok sebaiknya adalah orang-orang bijak yang lebih memilih menahan diri dalam berkomentar dan jernih dalam berpikir.
Intinya menahan diri. Seperti menahan diri untuk balikan ketika tahu mantan sudah bahagia bersama yang lain.