Iya, yang saya maksud adalah Candra Malik. Sufi muda yang juga seorang artis, penulis, perokok, peminum kopi dan tak lupa juga: tokoh tasawuf. Saya harus sungkem virtual dulu ke beliau saat artikel ini ditayangkan Mojok.co.
Candra Malik adalah generasi muda yang bermetamorfosis dari seorang wartawan Jawa Pos hingga seperti sekarang ini. Saya yakin, tak seorang pun rekannya di A. Yani 88 Surabaya, markas besar Jawa Pos group, ataupun Palmerah 17 Jakarta (kantor Jawa Pos lama sebelum pindah menjadi gedung Indopos) mampu menerka pria gondrong ini menjadi seperti sekarang. Semua, tidak termasuk saya.
Sikap andhap asor, dibalut dandanan yang seadanya menjadi modal utama Candra Malik. Juga kesabaran. Walau beberapa kali muncul kejutan. Suatu malam di tahun 2002, krisis headline terjadi karena berita hari itu datar-datar saja. Candra Malik tiba-tiba mengatakan bahwa dia punya wawancara eksklusif dengan Nurcholis Madjid. Redaksi bersorak. Demikian juga lewat tangan dinginnya, berita-berita internasional digodognya hingga menarik.
Kami terpisah cukup lama sampai saya dengar Candra Malik mundur dari Jawa Pos dan bergabung media lain. Lalu kami bersilaturahmi kembali via Facebook dan Twitter. Ketika mulai muncul tulisan-tulisan tentang sufi dengan permainan kata yang indah, saya bergumam, inilah Candra Malik yang asli. Organisasi-organisasi bisnis sebelumnya hanya mengekang originalitas bakat alaminya.
Candra Malik lebih muda dari saya. Tapi bakat dan kemampuannya membuat saya, bahkan juga penulis kondang selevel Puthut EA, memutuskan untuk memanggilnya Masyai. Arman Dhani dan Iqbal Aji Daryono mungkin malah bersedia cium kaki Candra Malik demi mengalap berkah.
Tempo hari, saya dikagetkan dengan tulisan beliau di Mojok.co. Sebuah tulisan renyah penuh makna. Menasihati penulis-cum-pengusaha yang juga pria Aries keras kepala bernama Puthut EA. Sungguh iri saya dibuatnya. Tulisannya sederhana tapi penuh makna. Halus, tapi menampar. Saya yakin batin Puthut EA dan juga egonya dibuat naik turun.
Saya juga sering menerima buli halus Candra Malik yang terbungkus rapi dalam candaannya yang kriuk tapi dalam. Untuk mengetahui makna buli seorang Sufi seperti Candra Malik, saya perlu merenung 1-2 hari. Apa maksud tersembunyi beliau. Mengingatkan? Melarang? Mengajak? Tidak mudah bagi orang awam seperti saya.
Saya sungguh berharap semakin banyak tokoh muda seperti Candra Malik. Selalu mengedepankan woles dan beragama, bersikap, dan berperilaku dalam kehidupan. Tidak kemrungsung seperti Arman Dhani, tidak melulu sok komitmen diet seperti Aunnurrahman ‘Nuran’ Wibisono, tidak seperti Arlian Buana yang seolah santun me-reject naskah dengan bahasa-bahasa bullshit.
Suatu hari saya memimpikan Arman Dhani dapat berkeliling seperti Candra Malik. Menyebarkan ilmu-ilmu, mengajak berbincang banyak anak negeri tentang indahnya Islam, indahnya Indonesia, dan indahnya kedamaian. Berbeda dengan Candra Malik yang cas-cis-cus dengan #fatwarindu dan #seucap, Arman Dhani sering terjebak bermain dengan kenangan mantan. Entah sebenarnya curahan hati atau #kode lagi caper terhadap seseorang. Saya juga kerap berharap Candra Malik mengajak Nuran ke daerah-daerah. Bincang mengenai filosofi kopi dan kretek berikut kecintaan terhadap pangan lokal.
Akhirul kalam, saya berdoa supaya Masyai Candra Malik senantiasa sehat wal afiat, murah rejeki dan terus menebarkan kedamaian di kantong-kantong yang menjadi circle of influence beliau. Saya cukup menjadi fansnya saja.