Tiga hari sebelum hari Natal, Desember lalu, saya plesiran ke Guangzhou, Tiongkok. Tentu niatnya bukan untuk gagah-gagahan ala politisi yang juga sedang nglencer reses ke negeri cantik Uzbekistan. Juga bukan meniru Pak SBY dan Pak Ical yang sedang berlibur di Amerika Serikat setelah penat hiruk pikuk pilpres.
Saya diajak menemani seorang rekan yang sedang mencari pesugihan. Ya, pesugihan.
Di ujung selatan kota Guangzhou, di kaki gunung Daijao, ada sebuah kuil bernama Nansha Matsu Temple. Sebuah patung dewi penjaga samudera setinggi 15 meter dibangun di pelataran. Dewi bernama Lin Mo itu dipercaya bisa melindungi dan membawa keberuntungan bagi pebisnis di bidang maritim. Maklum saja, teman saya ini, termasuk orang penting soal poros maritim-maritiman yang lagi jadi hot news di pemerintahan Jokowi.
Sebagai muslim Jawa yang sedang berusaha belajar menjadi dukun bersyariah, tentu saya tidak tergoda menyalakan dupa dan membungkuk di depan Dewi Lin Mo. Walaupun kata beberapa pengunjung yang saya wawancarai singkat, 40 hari setelah berkunjung di kuil itu, rejekinya tambah deras.
Wah, menggiurkan juga ini, batin saya. Bayangan saya, kalau jadi kaya raya, saya bisa meniru Kokok Dirgantoro yang gonta-ganti Alphard seperti mencomot bakwan di angkringan.
Ada banyak cara merayu Tuhan untuk mendapatkan rezeki dan atau duit. Masing-masing kepercayaan, beda cara merayu dan memohon padaNya. Kalau pesugihan Nansha Matsu di Guangzhou tadi erat dengan kepercayaan Taoisme. Tidak usah jauh-jauh, di Klaten ada pesugihan Bulus Putih di desa Jimbung. Ada pula pesugihan Gunung Kemukus, Sragen, Jawa Tengah, yang kondang sampai Australia karena ritualnya direkam wartawan bule.
Soal duit memang rumit. Coba baca tulisan Puthut EA soal sedekah brutal. Alih-alih tambah kaya, pelaku sedekah brutal justru bisa meringkuk di penjara. Sementara, buku-buku how to dalam rangka mencari duit laris-manis di toko buku. Ada yang menjamin 99 hari berubah nasib, ada yang menjamin omzet meledak 200 persen, pokoknya judulnya dibuat menggoda, agar dibeli, dan penulisnya yang berubah nasib.
Sebenarnya, para pinisepuh tanah Jawa sudah dari dulu memikirkan anak-cucunya. Karena itu, petunjuk mencari rezeki disusupkan dalam tembang-tembang, dalam serat-serat dan kidung-kidung Jawa. Sayangnya, anak muda jaman gadget, makin jauh dengan yang begitu-begitu. Coba tanya Agus Mulyadi bisa nggak dia nembang dhandanggulo, prediksi saya kok ndak bisa.
Dalam Serat Rerepen gubahan Sunan Prawata (Raja Demak keempat yang memerintah 1546-1549), disampaikan salah satu kunci agar kita bisa mendapat rejeki. Bentuknya memang tidak cuma berwujud duit, bisa karir lancar, popularitas, keluarga bahagia dan seterusnya. Kuncinya adalah dengan bersikap Karyenak Tyasing Sesama, atau bisa membahagiakan hati sesama.
Jika itu dilakukan, masih menurut serat itu, rejeki kita akan mbanyu mili alias seperti air mengalir. Kalau air menggenang itu tempatnya penyakit. Air di penampungan bisa jadi sarang jentik-jentik nyamuk bernama cantik tapi berbahaya itu, Aedes Aegepty. Nah, kalau air mengalir, membawa kebaikan dan manfaat buat sesamanya.
Dari situ saya jadi paham kenapa Arman Dhani, bisa kondang sebagai selebtwit dan laris jadi penulis. Senyumnya yang seperti bayi kekenyangan asi itu bener-bener Karyenak Tyasing Sesama, membahagiakan hati yang melihatnya. Dari situ saya juga jadi paham kenapa Agus Mulyadi bisa ngehits bahkan sampai diundang komedian termahal Indonesia, Si Sule, di acara talkshownya. Tertawanya Agus yang cemerlang benar-benar Karyenak Tyasing Sesama.
Tentu masih banyak ilmu-ilmu sepuh Jawa soal mengundang rejeki. Ada yang menggunakan srono atau medium keris, rapal mantra, puasa mutih, puasa ngrowot (hanya makan umbi-umbian, bukan beras—pakar puasa ini Kokok Dirgantoro, coba tanya dia), puasa ngebleng, dan sebagainya.
Ada juga dengan memelihara binatang-binatang yang dipercaya bisa membawa kebahagiaan batin. Misalnya burung perkutut. Si Kliwon, burung perkutut kesayangan Rusdi Mathari, salah satunya. Perkutut bersuara cemengkling alias merdu itu diantar tiba-tiba oleh seorang eks aktivis PKI dari Madiun ke rumah Rusdi, karena terpesona oleh tulisan-tulisannya.
Maka, daripada jauh-jauh cari pesugihan sampai Guangzhou, bisik saya pada teman Jawa keturunan Tionghoa itu, lebih baik belajar Karyenak Tyasing Sesama. Gampang dan murah. Dia cuma mengangguk-angguk sambil tetap asyik menyalakan hio yang aromanya super wangi.