MOJOK.CO – Apapun yang bertaut dengan Anies Baswedan maka kritik yang datang sifatnya selalu politis. Mau itu soal proyek Getah Getih maupun program Lidah Mertua.
Karya instalasi seni bambu Getah Getih buatan Mas Joko Avianto kembali menjadi anget-anget tuwaik ayam. Pasalnya beberapa hari lalu karya seni itu baru saja dirobohkan. FYI aja nih, mahakarya itu sudah jadi bahan baku pukul utama di majelis ghibah netizen sejak diresmikan pada 16 Agustus 2018 lalu.
Akan sangat keliru—tentu saja—jika Anda mencari komentar berkaitan dengan apresiasi atau kritik terhadap seni instalasi Getah Getih dari ilmu seni rupa murni. Meski instalasi Joko Avianto kerap mengangkat tema-tema sosial politik, mengenai identitas, toleransi, kesetaraan, filosofi, dan tetek bengek lainnya, tapi netizen tidak peduli itu.
Netizen lebih peduli karena instalasi ini berdiri di era Gubernur Anies Baswedan. Jadi apapun yang memiliki tautan dengan Anies Baswedan maka kritik yang datang melulu bersifat politis, bukan lagi estetis.
Karena saya memiliki waktu luang yang teramat panjang, maka saya berusaha merangkum sebagian besar komentar netizen dalam satu kalimat ringkas yang kurang lebih berbunyi, “Dasar Gubernur nggak becus, beda sama Ahok. Buat apa coba Pak Anies hamburkan uang 550 juta untuk sesuatu yang tidak berguna dan sifatnya sementara? Mubazir banget. Kan lebih baik jika digunakan untuk….”
Silakan isi titik-titik yang kosong itu dengan sesuatu yang menurut Anda ideal. Jika Anda seseorang yang kebetulan dermawan, mungkin bisa dengan menambahkan “…fakir miskin dan anak yatim. Masih banyak yang membutuhkan.”
Meski jelas, saya lebih tertarik untuk menambahkan “…subsidi skincare, biar warga Jakarta glowing-glowing.”
Perkara uang ini jelas sensitif sekali, orang-orang Banten sering berseloroh bahwa, “mun urusan jeung duit, eweuh dulur eweuh batur,” yang jika dialihbahasakan berarti, “jika urusannya uang, tak ada yang namanya orang lain dan saudara.” Semua bisa jadi lawan. Apalagi jika itu adalah Gubenur DKI Jakarta yang tidak Anda suka.
Tapi apa benar Anies Baswedan menghamburkan uang untuk sesuatu yang sementara?
Oh, jelas tidak. Instalasi Getah Getih tersebut dimaksudkan untuk menyemarakkan Hari Kemerdekaan Indonesia dan gelaran Asian Games 2018. Dua hal yang sudah terpenuhi. Bahkan, perencanaan awal karya tersebut memang hanya akan bertahan dalam kurun waktu 6-12 bulan saja.
Getah Getih memang sudah lenyap, tapi ada perkara yang patut kita acungi jempol. Anies Baswedan memberi ruang apresiasi terhadap seni. Hal semacam ini memasang asing bagi orang-orang Indonesia, dan itu memantik komentar-komentar sebal berdatangan.
Biaya produksi sebenarnya tak sampai menyentuh nominal 300 juta, My Lov~ tapi, ada harga untuk hal-hal lain yang patut diperhitungkan. Perawatan misalnya, menurut si empunya karya dalam satu wawancara.
“Saya melakukan kontrol tiap bulan, floating ulang dan melapisi pakai crystal coat. Meski mahal, crystal coat memang bagus, mengingat kita gak tahu beberapa bulan ke depan karya menjadi bagaimana.”
Hm.
Pada titik ini saya masih menaruh hormat pada Anies Baswedan. Sampai kemudian pada satu kesempatan blio malah berseloroh, “Kalau saya memilih besi, maka itu impor dari Tiongkok mungkin besinya.”
Jawaban ini menurut saya justru menjadi hal yang sejatinya tak perlu-perlu amat untuk diucapkan.
Apa urusannya perkara dana kesenian sampai mancing-mancing Tiongkok segala? Meski Anies Baswedan tidak bicara etnis, tapi pemahahan di masyarakat bisa berbeda kalau udah ngomong perkara Tiongkok. Kalimat ini kalau sampai bawah bisa jadi malah nyerempet ke isu rasial lho, Pak.
Sebagai upaya pembelaan yang nggak penting-penting amat—maaf—kalimat itu sangat bobrok. Saya ngerti, importasi baja pada Kuartal 1 pada 2019 memang meningkat. Tapi maaf sekali lagi, Pak, kapan-kapan kalau sempat saya ajak antum ngopi deh ke tempat saya. Di sini ada satu pabrik penghasil baja terbesar di Indonesia. Namanya PT. Krakatau Steel. Ya kali aja antum nggak tahu.
Atau misalnya, bisa saja Anies Baswedan menjelaskan bahwa bambu memiliki peranan penting dalam memerdekakan Indonesia, tanpa bambu runcing kecil kemungkinan kita bisa mengusir penjajah. Meski sama-sama ngawur, tapi kan jawaban ini tidak akan menyentil siapapun.
Kemudian, soal umur instalasi dari bambu memang dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satunya, menurut Mas Joko Avianto, adalah paparan polusi udara.
Sialnya, baru-baru ini situs penyedia peta polusi daring, AirVisual menempatkan kualitas udara di DKI Jakarta menjadi salah satu yang terburuk di dunia, meski data ini segera dibantah oleh Pemprov DKI Jakarta.
Tapi jangan risau, beberapa hari setelah pembongkaran bambu Getah Getih, untuk perkara polusi udara yang buruk ini Pemprov DKI sudah punya program “Lidah Mertua”.
NASA Clean Air Study, proyek penelitian tentang pembersihan udara di stasiun ruang angkasa, pernah merilis daftar tumbuhan yang bisa menyerap polutan dan salah satunya adalah lidah mertua atau bahasa kerennya Sansevieria. Tuh, jadi Anies Baswedan tak sepenuhnya keliru, kan?
Lah gimana? Blio memang lebih senang mengobati ketimbang mencegah. Selain proyek lidah mertua ini, kalau Anda masih ingat, Anies Baswedan juga pernah bikin proyek menututupi Kali Item dengan kain raksasa—alih-alih membersihkannya.
Padahal Anies juga pasti tahu kalau penyebab pencemaran udara DKI itu didominasi transportasi darat, lalu industri, dan debu akibat giatnya proyek pembangunan fisik. Setidaknya itu menurut pengakuan Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI, Andono Warih.
Alih-alih memaksimalkan fasilitas transportasi publik yang memadai, aman, dan nyaman untuk memperlancar mobilisasi warga sebagai salah satu cara mengurangi polusi dari sumber masalahnya, Anies Baswedan malah mencari solusi instans melalui lidah mertua.
Meski begitu, harus diakui, sulit berada di posisi Anies Baswedan belakangan ini. Apalagi kalau mengingat PKS (salah satu partai pendukung blio) pada waktu kampanye Pileg 2019 kemarin menawarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Pajak Sepeda Motor dan Pemberlakuan SIM Seumur Hidup.
Di satu sisi Anies mungkin ingin mengurangi polusi, di sisi lain partai pendukung malah bikin janji kampanye yang berisiko meledakkan jumlah penjualan sepeda motor di seluruh Indonesia—termasuk di Jakarta tentu saja.
Kalau dipikir-pikir, solusi mengurangi polusi udara yang tidak berseberangan dengan janji kampanye partai pendukungnya memang lidah mertua. Meski Pak Anies juga sadar, lidah mertua-nya jelas bakal kalah tajam kalau dibandingkan lidah masyarakat Jakarta.