MOJOK.CO – Lukisan Picasso sering diparodikan sebagai “gambar anak kecil” saking tak terpahaminya. Mari bermain tebak-tebakan: anak umur 3 tahun 9 bulan ini sebenarnya menggambar apa sih?
Klise sih, tapi tekanan utama dalam proses menjadi orang tua datang dari membanding-bandingkan.
Siapa sih yang nggak gemas dengan anak-anak yang pintar menyanyikan lagu, rapi mewarnai gambar, dan ramah menyapa semua orang? Kalau kamu nggak gemas sama anak-anak model gitu, mungkin separuh jiwamu sudah dikuasai Lord Voldemort.
Nah, idealnya ya, anak-anak itu memang menggemaskan. Itu semacam bagian dari bagaimana dunia bekerja. Mereka harus menggemaskan, agar timbul rasa sayang dari orang-orang di sekitarnya sehingga ia bisa terlindungi. Kalau kamu merasa tidak disayangi, bertingkahlah seperti bayi. Niscaya kamu akan makin dibenci. Wkwk.
Sayang sungguh disayang, fase menggemaskan pada manusia makin memudar seiring dengan timbul kecakapannya dalam berbicara, alias makin pinter ngebantah. (Dih, egois syekalih ya Anda jadi orang tua. Inginnya selalu dituruti. Anak itu bukan robot!) Ya iya sih, tapi ada fase di mana kata favorit anak adalah “nggak”.
“Mandi yuk!”
“Nggak mau”
“Yaudah nggak usah mandi ya..”
“Nggak mau”
“Terus maunya apa?”
“Nggak mau”
Dan percakapan seperti itu terjadi diiringi tangis jejeritan yang terdengar hingga lingkup RT setempat dan membuat tetangga bertanya-tanya prahara macam apa yang sedang terjadi.
Tapi, kembali lagi pada fitrah anak sebagai makhluk kecil yang kesalahannya harus dimaafkan, maka kekesalan kita sebagai orang tua pun selalu saja luruh. Termasuk dalam hal idealisme. Makin tua, aku makin merasa idealismeku dalam mendidik anak makin terkikis seperti kepercayaan rakyat pada DPR.
Kalau dulu aku begitu kompetitif ingin mendidik anak dengan sempurna tanpa cela, punya dua anak justru membuatku lebih selow dan sak madyo. Bolehlah dibilang menurunkan standar, meski aku nggak punya standar muluk-muluk kecuali milestone keluaran Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Aku udah nggak nargetin anak harus bisa baca sebelum masuk TK. Sudah tidak galaw anakku tidak setinggi anak-anak lainnya. Pun, akhirnya harus terima kalau anakku adalah tipe gembeng kreweng yang hobinya nangeees. Kalau sekali nangis dia dapet duit 10.000 perak aja, udah bisa bebas finansial dia.
Makanya sekarang aku nggak maksa-maksa dia belajar huruf, atau menuntutnya pegang alat tulis dengan benar. Aku sudah sediakan pensil warna, krayon, spidol, dan kertas tak terbatas sejak usianya belum genap dua. Namun, apa daya. Semua itu hanya dijadikannya bahan bongkar muat dalam rumah, berceran dari teras hingga ke dalam bak kamar mandi.
Ketertarikannya akan menggambar dan mewarnai baru terjadi belakangan, ketika melihat teman mainnya yang lebih besar mahir melakukannya. Ia yang sebelumnya hanya mau menggambar batu (lingkaran) dan hujan (garis) menghadiahiku gambar serupa muka, lengkap dengan dua mata, dua lubang hidung, satu mulut, dan beberapa helai rambut. Hari itu ulang tahunku, dan gambarnya langsung kujadikan gambar profil Facebook-ku.
Iya, jadi orang tua kadang memang senorak itu.
Semenjak itu, krayon dan spidol adalah sahabat baiknya. Dan mendengarkannya bercerita tentang hal-hal yang digambarnya, membuatku merasa dunia baik-baik saja meski pemerintah terus membuatku kecewa.
Hobi baru anakku ini juga membuatku kini mengerti, kenapa laki-laki sering kesulitan memahami maksud perempuan. Bukan karena tidak perhatian apalagi tidak sayang, wong seorang ibu yang membersamai anaknya setiap hari pun masih kesulitan memahami gambar-gambar si anak. Karena seperti sikap perempuan, gambar anak kecil itu penuh misteri tak terpecahkan.
(Hah??? Ibu macam apa kamoooh. Mosok gambar anaknya sendiri nggak paham???)
Weee, yakin kamu bisa ngerti gambar anakku? Ini aku kasih gambar-gambar anakku. Aku beri jawabannya di caption, tapi sebelum membacanya kamu coba saja nebak semua gambar itu. Kalau bisa benar semua, aku beliin beliin es teh sak plempokmu!
Gimana? Mumet ra?
Sebagai orang tua yang sayang anaknya, kudoakan saja agar kelak ia bisa hidup dari hal-hal yang disenanginya. Selama kesenangannya itu tetap menjadikannya manusia yang berhati baik. Aku nggak pengin dia jadi presiden karena aku belum siap masa laluku dijadikan modal black campaign.
“Mengejutkan, Ternyata Ibu Capres Ini Adalah Pelakor!”
Padahal, apa salahnya sih jadi pecinta lelaki Korea? Aigooo~~~
BACA JUGA Anak-anak Dijejali Buku Harga Jutaan, Si Mamah Referensinya Cuma Felix Siauw atau artikel Diana Nurwidiastuti lainnya.