Membayangkan Kantor Sebagai Sebuah Tim Sepak Bola

Membayangkan Kantor Sebagai Sebuah Tim Sepak Bola

Membayangkan Kantor Sebagai Sebuah Tim Sepak Bola

Sudahlah, lupakan soal keberuntungan Leicester City yang minggu lalu mengangkat tropi Liga Inggris untuk pertama kalinya sejak klub itu berdiri 132 tahun yang lalu. Dongeng yang dikisahkan dengan apik oleh Mr. Fairy Runner Up, Claudio Ranieri. Sebuah ironi berujung gemerlap dari sebuah tim semenjana yang nyaris terdegradasi ke kasta kedua musim kemarin.

Lupakan juga cerita bersambung mirip Tersanjung ala Juventus yang lima musim berturut-turut menjadi kampiun lokal. Pasukan “kuda jingkrak” sudah mampu mengoleksi tiga bintang emas di jersey-nya. Lambang kemahsyuran lebih dari 30 kali menjadi jawara Serie A. Liga terbaik pada masanya. Tapi, apa mau dikata, La Vecchia Signora selalu tampil menyedihkan di level interlokal ala ala UEFA Champions League.

Apa lagi yang ini, sudahlah tak perlu diingat-ingat tentang kisah Persib Bandung menggondol Piala Liga Super Indonesia tahun 2014. Kompetisi resmi terakhir sebelum PSSI dibekukan oleh FIFA. Semua derita disebabkan oleh dualisme sepak bola Indonesia. Dualisme, sebuah kata sarat makna.

Selingkuh itu indah. Seindah gemericik kucuran dana pembinaan sepak bola, komisi hak siar, dan secangkir kopi susu yang 100% mantap kopinya dan 100% gurih susunya.

Lupakan semuanya! Lupakan!

Sebab sepak bola bukan hanya cerita tentang kemenangan. Sepak bola bukan cuma kisah heroik dan selebrasi juara. Sepak bola juga berlimpah tangis dan air mata. Kekalahan. Jurang Degradasi. Pecundang. Ayam sayur.

Di balik semua itu, sepak bola adalah soal visi sebuah tim, visi permainan, dan visi dari fanatisme suporter di belakang gawang yang rela dan ikhlas suaranya parau gegara selama 2 x 45 menit terus-terusan bernyanyi dan berteriak yel-yel tim kebanggaan, sekalipun timnya harus kalah dari sang lawan. Tapi, tim kebanggaan jelas tidak pernah salah walaupun kalah. Kekalahan harus ditebus oleh wasit.

Wasit GOBLOK! Nasibmu sit sit.

Cukuplah kita membahas sepak bola di lapangan hijau. Sepak bola tidak harus selalu hadir di dalam Camp Nou atau stadion berpasir nan tandus milik Tangerang bersaudara. Stadion Benteng, yang sekarang menjadi lahan untuk ngangon kambing ternak warga. Dengan kondisi bibir yang pecah-pecah, eh keramik tribun yang pecah, tanpa atap dan pagar stadion beralih fungsi menjadi tiang jemuran.

Nyatanya sepak bola juga hadir di kantor. Loh kok kantor, Mas Eko? Kantor tempat kita kerja, Mas? Iya, di kantor. Tapi bukan tempat kita, tempat anda. Enggak tau deh kalo di kantor tetangga sebelah mah, yang rumputnya lebih hijau.

Masih belum percaya? Mari kita buktikan karakter pegawai sebagai pemain dan posisinya.

Goal Keeper

Peribahasa berbunyi gluduk mulu kagak ujan-ujan, alias duduk mulu kagak jajan-jajan. Tipe Goal Keeper adalah pegawai yang sehari-hari di duduk di kursi kerjanya, amat sangat jarang keluar ruangan, bahkan hanya sekadar untuk rapat, makan siang, atau menghadiri undangan biologis buang hajat. Kerjanya cuma kracak-krecek menekan tombol keyboard, tapi tidak jelas apa yang diketik.

Bisa jadi bukan pekerjaannya yang diselesaikan. Paling-paling belanja online atau membantu buat undangan rapat yang dia sendiri juga belum tentu hadir.

Defender

Pemain bertahan. Dan akan selalu bertahan dengan pendapatnya sendiri. Maaf, tapi bagi tipe ini tidak ada kamus untuk mendengarkan pendapat orang. Kalau sudah pokoknya, ya pokoknya. Prinsip hidup si pegawai model pemain bertahan ini sudah jelas. Bola boleh lewat, orang tidak bakal bisa lewat.

Usul, ide, dan pendapat brilian pegawai lain bisa saja di-approve oleh manajemen, tapi selanjutnya sang pegawai dengan otak moncer nan kreatif itu mesti siap-siap ditekel dari depan, samping, atau malah dari belakang. Yang penting Sang Goal Keper yang sedang kracak-krecek belanja online sambil dengerin joox.com tetap aman dan nyaman di dalam kotak penalti.

Kartu kuning atau kartu merah mungkin menjadi risiko. Tapi dia berteman banyak dengan analis level tertinggi dengan sederet gelar profesi yang jadi penasihat spiritual agar tekel yang dilancarkan akan selalu terlihat bersih di mata wasit dan hakim garis.

Bahkan jika perlu, wasitnya (yang goblok dimaki supporter belakang gawang tadi) ikut-ikutan dijadikan teman, sahabat di luar lapangan.

Center Midfielder

Sebagai pemain tengah, tentu kemampuan si pegawai tipe ini harus memiliki teknik tinggi. Kredit poin tertinggi si Center Midfielder adalah umpannya yang akurat, bahkan jauh lebih akurat dari umpan matang David Bechkam untuk Paul Scholes di depan gawang Portugal sewaktu pagelaran Euro 2000 di Belanda-Belgia.

Kemampuan spesial ini yang digunakan si pegawai untuk terus melakukan umpan, umpan, dan umpan buat pegawai lain. Utamanya urusan pekerjaan. Sebisa mungkin, setiap ada tugas dan pekerjaan yang datang, langsung diberikan kepada pegawai lain tanpa tedeng aling-aling dengan beribu macam alasan yang bisa dikodifikasi menjadi sebuah buku setebal 1.000 halaman. Halaman rumah tetangga yang rumputnya lebih hijau.

Asal bisa sih, kerjaan jangan ke gw. Kira-kira begitulah filosofi kerja si juru racik jempolan sekelas Ponaryo Astaman ini.

Left/Right Midfielder a.k.a Winger

Sayap tapi bukan sayap ayam. Pemain sayap yang selalu ada di sisi kanan kiri lapangan yang bolak- balik turun naik membantu penyerangan dan pertahanan. Pegawai yang nyaris sempurna, inisiatif, dan bersedia membantu sesama. Budi pekertinya tinggi dan rajin menabung. Tipe pekerja sempurna, tapi bukan Menantu ideal. Lah???

Ya iyalah. Hampir setiap hari lembur sibuk dengan pekerjaan yang mengalir terus kek air kencing, seolah enggak ada habisnya. Pecandu kerja yang jarang di rumah karena seluruh waktunya didedikasikan buat perusahaan. Sayang, hidupnya tidak segemilang pekerjaannya.

Apalagi jika dia berada di sebuah klub sepak bola yang tidak punya sistem reward and punishment yang clear. Ya clear juga hidup lu, Bro. Kerja sudah habis-habisan, tapi hasilnya cuma ucapan terima kasih.

Upahmu besar di surga. Semoga kau khusnul khotimah, kawan.

Striker

Pokoknya serang terus, kalau perlu serang membabi buta. Sebentar, sebentar. Kenapa cuma babi buta yang selalu disalah-salahkan? Tidak semua babi itu buta. Lagi pula jika babinya buta, toh matanya juga tidak ikut-ikutan dimakan di Lapo-nya Vicky Sianipar di Manggarai. Apa karena babinya buta, terus semua orang bebas menyerang? Ah, apapun babinya, minumnya tetap saja Teh Botol Sosro.

Kembali ke striker yang tugasnya menyerang, dia akan menyerang siapapun yang mengganggu kedaulatannya dalam bekerja. Menyerang siapa pun yang berbeda pendapat dengannya. Menyerang untuk satu tujuan suci, yakni mencetak gol. Memuluskan tujuan-tujuannya, baik secara pribadi maupun untuk kepentingan tim. Tapi biasanya, tipe pegawai macam sih tujuannya cuma untuk perut sama kantong sendiri aja. Paling banter, ya buat dia dan kelompoknya dia saja sudah.

Ya, semoga sukses deh dan jadi topskorer, terus dapat sepatu emas dari FIFA. Sekalian dapat Nobel Perdamaian.

Bench Player

Duduk manis di pinggir lapangan dan cuma ikutan nonton. Inilah dia, pegawai tai kucing yang tidak punya kontribusi apa-apa untuk timnya, apalagi untuk perusahaan. Hanya menghabiskan anggaran biaya pegawai untuk bayar gajinya setiap bulan, insentif, dan bonus yang sebenarnya dia tidak punya hak sama sekali. Kinerjanya nihil. Se-nihil Laporan SPT Tahunan para buruh pabrik garmen yang digaji ngepas sama UMR.

Apapun kondisi perusahaan, beliau tetap tenang seolah tidak pernah ada masalah. Yang penting absen pagi dan absen sore. Mereka ini biasanya pegawai yang masuk ke dalam pasukan Batalyon 805. Pasukan yang langsung di bawah kendali operasi Panglima. Pasukan (tidak) berani mati. Pasukan masuk jam 8, pulang jam 5. Kelar.

Kalau tipe pemain-pemain kantoran seperti ini dikumpulkan dalam sebuah tim, rasa-rasanya untuk sekadar berkhayal pun sulit menjadi juara. Lupakanlah kemungkinan dongeng Leicester City akan terwujud dalam tim ini. Bahkan sekalipun tim ini berhasil menyalip Mas Imam Nahrowi dalam perebutan Jose Mourinho untuk jadi pelatih tim. Bisa jadi, bukan wasitnya yang diteriakin oleh para suporter, malah Bapak Special One yang dapat hadiah GOBLOK dari belakang gawang.

Perbedaan visi para pemain (baca: pegawai) ini yang pada akhirnya terus menerus menggerogoti perusahaan Anda, bukan perusahaan saya. Sebab saya belum punya perusahaan. Saya masih juga pegawai sekaligus pemain yang coba memainkan peran maksimal di tengah lapangan, sekaligus membantu tim ini menjadi juara di akhir musim.

Seandainya visi yang sama tidak pernah dimiliki oleh Leicester City, Juventus, dan Persib Bandung maka mustahil mereka bisa berdiri tegak di podium teratas dan mengangkat piala setinggi-tingginya serta bernyanyi dengan lantang:

“Malaikat juga tahu, Aku yang jadi Juaranya.”

Exit mobile version