MOJOK.CO – Dari selembar stiker itu kita bisa menerka-nerka identitas sahibul stiker; profesinya, pendidikannya, hobinya, selera humornya, afiliasi politik, bahkan sampai sikap keagamaannya.
Cermin diri seseorang dapat dilihat dari banyak hal. Dari rumah, pakaian yang dikenakan, kendaraan, hobi, warna favorit, merek yang dipilih, dan lain sebagainya. Benda-benda itu menjadi representasi diri. Melalui benda-benda fana itu kita bukan saja ingin menunjukkan siapa kita tapi juga bagaimana kita ingin dipandang dan diperlakukan.
Pakaian, misalnya, merupakan pembawa pesan non-verbal yang efektif dan sudah dimanfaatkan sejak lama. Konon, di Cina dulu pakaian warna kuning hanya digunakan oleh kaisar. Di Romawi Kuno pakaian warna ungu tyrian khusus untuk para senator.
Saat ini warna pakaian memang bukan lagi monopoli sebuah kelompok (meski kadang masih dikaitkan-kaitkan juga seperti warna ungu adalah milik janda), tapi tugas pakaian sebagai pembawa identitas masih berlaku. Jadi, bukan semata agar terlihat banyak uang jika Pak Prabowo butuh baju safari berkantong banyak serta berpeci seperti sekarang atau Pak Jokowi dengan pilihan kemeja putih dan gaya lengan dilipat.
Pakaian membangun asosiasi dan menciptakan mitos. Seperti halnya pakaian mewah akan menimbulkan kesan kaya dan perlente atau jilbab yang memberikan tanda serta kesan taat dan salihah pada seseorang perempuan atau bahwa yang bersangkutan sudah berhijrah.
Karena itulah, layaknya memilih pasangan hidup, memilih pakaian bukan perkara sederhana. Dibutuhkan waktu yang tidak sebentar dan tenaga yang ekstra untuk menentukan yang cocok.
Dalam aktivitas sehari-hari pun menentukan pakaian mana yang akan dikenakan tidak selalu mudah, bahkan bagi mereka yang hanya memiliki beberapa lembar. Apalagi jika berkaitan dengan hajatan yang akan kita hadiri, perlu kesibukan khusus agar tidak dikatakan salah kostum. Bagi sebagian perempuan urusan pakaian malah kadang jauh lebih kompleks.
Semua itu terjadi karena pakaian adalah representasi diri kita. Dan umumnya kita memang tidak ingin dipandang sebelah mata.
Namun selain dari hal-hal besar dan mencolok di atas, cermin diri itu juga bisa terlihat dari benda yang kecil dan remeh. Gantungan kunci yang kita pakai—misalnya, atau bahkan dari stiker yang kita tempelkan.
Di jalan-jalan, stiker dengan mudah kita lihat di belakang helm, kaca belakang mobil, slebor sepeda motor. Stiker juga biasa ditempel di kaca depan rumah, lemari, belakang layar laptop atau tempat-tempat lain yang mudah dilihat orang.
Mungkin ada orang yang tidak peduli dengan jenis stiker yang ditempel. Asal nempel saja. Tapi kebanyakan orang tidak menganggap stiker hanya sebagai pengisi ruang kosong. Selalu ada maksud untuk mengirim informasi atau pesan tertentu agar orang lain mengetahuinya.
Maka, dari stiker itu kita lalu bisa menerka-nerka identitas sahibul stiker; profesinya, pendidikannya, hobinya, selera humornya, afiliasi politik atau keagamaannya, idolanya, klub kesayangannya, motto hidupnya, komunitasnya, kedai langganannya, destinasi wisata yang pernah dikunjunginya, keluarganya, dan seterusnya.
Pemasang stiker berbentuk gambar buah apel dengan sedikit bekas gigitan, umpamanya, bisa ditebak selera dan isi kantongnya. Bahwa ia adalah pengguna produk dari brand terkenal dan mahal. Entah apa profesinya tapi ia sangat mungkin akrab dengan teknologi terbaru atau dunia digital.
Beberapa stiker memberi gambaran yang lebih lugas sehingga orang lain tidak perlu repot-repot menebak identitas pemasangnya. Stiker ini biasanya terkait dengan profesi atau anggota sebuah komunitas.
Namun jenis stiker paling sering dipasang dan mudah digemari yang asosiasinya berupa hiburan. Stiker-stiker ini sering kali berupa tulisan nakal dan bikin geli. Identitas pemilik stiker jenis ini tidak selalu jelas apakah ia seorang penghibur atau tukang nyinyir.
Topik yang dibicarakan dalam stiker jenis hiburan ini juga beragam, mulai dari cinta, mantan, kritik sosial, politik, hingga soal-soal aktual lainnya. Anda pasti pernah melihat stiker seperti; “Neng, malam ini kamu terlihat cantik sekali. Kalau boleh tahu pakai aplikasi apa?” Hm, sebuah sindiran yang nyelekit.
Tapi di balik main-mainnya, diakui atau tidak, stiker sering mengungkap fenomena riil yang sering terabaikan oleh kebanyakan orang. Misalnya stiker ini; “Di balik pria sukses ada mantan yang jadi stress.”
Ia bukan semata plesetan dari ungkapan yang lazim kita dengar tentang peran istri. Bisa jadi memang ada mantan-mantan yang menderita tekanan batin ketika melihat bekas pasangannya dulu ternyata meraih kesuksesan. Ada pula yang bahagia melihat mantannya menderita, “Bahagia itu tidak selamanya harus dengan uang, melihat mantan jatuh ke got pun aku sudah sangat bahagia.”
Stiker juga menjadi sarana melancarkan kritik. Kecenderungan cinta yang makin komersial akhir-akhir ini banyak menjadi sasaran. “Cinta itu buta tapi cinta itu tahu mana mobil mana sepeda.” Dari nadanya yang sinis ini kita bisa mengira-ira dalam konteks apa ia muncul.
Tak ketinggalan, ejekan terhadap nasib jomblo. “Di saat yang lain sudah pasang foto prewedding, foto keluarga dan foto bersama anak, elu masih aja pasang foto selfie.”
Kenakalan-kenakalan dalam stiker tersebut bisa jadi memang menunjukkan identitas pemasangnya. Bahwa mereka adalah pribadi-pribadi gembira dan merdeka.
Meski ada pula stiker yang menolak keberadaannya dihubungkan dengan pengendaranya. Karena itu, jika ia terlihat ugal-ulagan di jalan atau membahayakan orang lain, kita diminta menghubungi nomor di bawahnya. Meski pada kenyataannya, tak ada yang cukup selo untuk melaporkannya.