MOJOK.CO – Menurut saya, Megawati bisa disebut sebagai pemimpin perempuan yang paling berkuasa dalam catatan sejarah Nusantara.
Siapakah pemimpin perempuan paling berkuasa dalam sejarah Nusantara? Jawabnya adalah Megawati. Tunggu, jangan protes dulu. Izinkan saya bercerita soal sejarah pemimpin perempuan di berbagai negara terlebih dahulu.
Soal dipimpin perempuan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan, Inggris Raya punya pengalaman panjang. Ada empat ratu pemilik takhta dan seorang perdana menteri.
Para ratu yang berkuasa antara lain, Queen Mary I (bertakhta antara 1553-1558), Queen Elizabeth I (1558-1603), Queen Victoria (1837-1901), dan Queen Elizabeth II (1952-sekarang). Untuk perdana menteri, ada Margareth Thatcher yang menjabat 1979-1990 serta Theresa May yang menjabat 2016-2019. Indonesia cuma punya Megawati, Inggris punya banyak.
Beberapa negara lain di Eropa yang bepengalaman dipimpin perempuan adalah Spanyol, Austria, Rusia, dan Belanda. Spanyol pernah dipimpin Ratu Isabella pada 1474-1504, penguasa yang menyokong Christophorus Colombus melakukan pelayaraan menyeberangi Atlantik ke Dunia Baru yang sekarang dikenal sebagai Amerika. Dari Austria, ada Ratu Maria Theresa yang berkuasa 1740-1780. Dari Rusia, ada Tsarina Yekaterina II Velikaya alias Catherine II the Great yang bertakhta antara 1762-1796.
Belanda, negara kecil yang lama menjajah Nusantara malah antara 1890-1948 diperintah secara berturut-turut oleh tiga ratu. Mereka masing-masing adalah Ratu Wilhelmina (1890-19480, Ratu Juliana (1948-1980), dan Ratu Beatrix (1980-2013).
Pemimpin perempuan di Nusantara
Nusantara, selaku kawasan kepulauan di Asia Tenggara, yang banyak bagiannya termasuk teritori negara Indonesia, sejatinya tak kalah pula dalam pengalaman di bawah kendali pemimpin perempuan. Bahkan catatan sejarah soal itu sudah dimulai sejak abad VII Masehi atau tahun 600-an.
Untuk soal ini, Buku 222 Sejarah Baru Dinasti Tang mencatat tentang adanya sebuah negeri di Jawa bernama Holing atau Kalingga yang dipimpin Ratu Sima, jauh sebelum Megawati jadi pemimpin perempuan paling berkuasa. Jadi, kepemimpinan Ratu Sima membuat rakyatnya begitu takut untuk mencuri atau sekadar memungut barang tergeletak di jalan.
Hampir seribu tahun sesudahnya, sepanjang era Hindu-Buddha di Jawa, sosok perempuan yang menduduki takhta negeri sebagai pemimpin utama atau dengan memerintah secara berdampingan dengan suaminya sama sekali tak kurang. Beberapa abad sebelum Megawati berkuasa di Nusantara, Kemaharajaan Medang alias Mataram Kuna, contohnya, memiliki sosok sekaliber Pramodhawardhani, ratu yang memerintah negeri bersama suaminya, Rakai Pikatan.
Nantinya, ketika pusat pemerintahan Jawa bergeser ke Jawa Timur sejak awal abad X Masehi, para perempuan yang berkiprah memimpin negeri maupun daerah vasal kian banyak jumlahnya. Maharaja Sindok yang memerintah 929-947 Masehi, konon, mewariskan takhta kepada putrinya yang lantas memerintah sebagai ratu bergelar Sri Isanatunggawijaya.
Lalu, sepanjang pemerintahan Maharaja Airlangga yang berlangsung 1019-1042 Masehi, jalannya roda pemerintahan konon banyak dibantu oleh sang puteri yang bernama Dharmoprasadha Tunggadewi. Puteri tersebut sebenarnya adalah kandidat terkuat pewaris takhta, tapi malah lantas memilih menjadi seorang pertapa.
Kemaharajaan Majapahit tercatat pernah dipimpin Tribhuwana Tunggadewi selaku maharaja perempuan yang bertakhta 1328-1350. Menurut saya, beliau inilah yang sejatinya merupakan penguasa terbesar Majapahit. Masa pemerintahannya menghasilkan separuh awal masa jaya atau setidaknya masa paling stabil dalam sejarah Majapahit.
Periode yang bisa disebut masa jaya atau paling stabil dari Majapahit sendiri berlangsung 1328-1389. Itu meliputi masa pemerintahan ibu dan anak, Tribhuwana Tunggadewi dan Hayam Wuruk.
Prabhustri atau maharaja perempuan lain yang pernah memerintah Majapahit adalah Suhita. Perempuan ini bertakhta antara 1429-1447. Masa pemerintahannya ini agaknya terbilang berhasil memulihkan atau setidaknya meredam kerusakan negeri yang diakibatkan Perang Paregreg, yakni perang saudara antara anggota Wangsa Rajasa pada 1404-1406 Masehi.
Sebelum era Megawati, keberadaan pemimpin negeri yang berjenis perempuan dikenal juga di Aceh. Aceh tercatat pernah mengenal adanya sampai dengan lima sultanah, baik pada zaman Kesultanan Samudera Pasai maupun pada zaman Kesultanan Aceh Darussalam.
Yang perdana dari daftar lima sultanah tersebut adalah Sultanah Malikah Nahrasiyah yang bertakhta 1400-1428 dari Samudera Pasai. Empat selebihnya adalah para sultanah dari Aceh Darussalam: Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675), Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1678-1688), Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1678-1688), Sultanah Zainatuddin Kamalat Syah (1688-1699).
Sulawesi Selatan, terlebih Kerajaan Bone, pernah pula dipimpin oleh para raja perempuan. We Batari Toja Daeng Talaga yang pada 1714-1715 dan 1724-1749 pernah menjadi Ratu di Bone sekaligus pernah menjadi penguasa Luwu dan Soppeng.
Selisih seabad lebih, Bone dipimpin lagi oleh seorang ratu, yakni We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara. Beliau adalah ratu penguasa ke-28 Bone yang bertakhta antara 1857-1860. We Tenriawaru ini agaknya adalah perempuan terakhir yang menjabat sebagai pemimpin negara independen di Kepulauan Nusantara.
Era Megawati
Nusantara butuh sekitar satu setengah abad lagi untuk dapat melihat perempuan menduduki jabatan pemimpin negara yang merdeka dan berdaulat penuh. Perempuan pertama yang memencah jeda panjang tadi adalah Corazon Aquino yang menjabat Presiden Filipina pada 1986-1992. Rekan senegaranya, Gloria Macapagal Arroyo menyusul mencatatkan diri sebagai presiden perempuan pada 2001 hingga 2010.
Perempuan ketiga yang menyusul Cory dan Gloria menjadi pemimpin perempuan di suatu negara di Nusantara ialah Megawati Sukarnoputri. Megawati menjadi Presiden ke-5 Republik Indonesia pada 2001-2004.
Banyak orang mencibir sosok Megawati sebagai sekadar politisi yang beruntung menerima warisan pesona Sukarno. Dia juga acap disebut sebagai sosok yang menerima jabatan presidennya karena Presiden Abdurrachman Wahid atau Gus Dur terkena impeachment.
Namun, menurut saya, orang Indonesia suka tidak suka juga harus mengakui beberapa pencapaian Megawati. Apa yang diraih Megawati bahkan bisa terbilang sebagai rekor dalam catatan perjalanan bangsa dan negara ini.
Rasanya, Megawati bisa disebut sebagai pemimpin perempuan yang paling berkuasa dalam catatan sejarah Nusantara. Ini kalau diukur dari luas wilayah yang diperintah Megawati selama menjabat jadi presiden yang tentunya lebih luas dari wilayah yang diperintah Tribhuwana Tunggadewi, Sultanah Safiatuddin Syah, maupun Cory Aquino, dan Gloria Arroyo.
Oh ya, raihan suara 33,74% oleh PDIP, partai pimpinan Megawati, pada Pemilu Legislatif 1999 sampai saat ini juga masih menjadi rekor suara selepas 1998 yang belum terpecahkan.
BACA JUGA Megawati Diusulkan Jadi Pahlawan Demokrasi Merupakan Satire Paling Cadas Abad Ini dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Yosef Kelik
Editor: Yamadipati Seno