Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Indonesia Adalah Negara Tanpa Logika dan Semaunya Sendiri ketika Menentukan Jurusan LPDP bagi Mahasiswa Tanpa Mendengarkan Kritik dan Masukan

Sayyid Muhamad oleh Sayyid Muhamad
26 Agustus 2025
A A
LPDP Ditentukan Negara, Bukti Logika Pemerintah Memang Cacat MOJOK.CO

Ilustrasi LPDP Ditentukan Negara, Bukti Logika Pemerintah Memang Cacat. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Logikanya tuh di mana?

Yang bikin saya geleng-geleng kepala adalah logika di balik semua ini. Negara berlagak seolah-olah paling tahu masa depan anak mudanya. Padahal, dunia kerja sendiri berubah lebih cepat dari regulasi birokrasi. 

Hari ini negara bilang AI, semikonduktor, dan hilirisasi adalah kunci, tapi siapa yang menjamin lima tahun lagi dunia tidak berubah lagi arahnya? Apakah mahasiswa LPDP yang terpaksa “dijodohkan” dengan jurusan tertentu ini tidak akan jadi korban salah prediksi?

Masalahnya bukan “STEM vs non-STEM”, ini soal kebebasan intelektual. Ilmu pengetahuan bukan pasar swalayan yang bisa diatur supply-demand. 

Di dalam kepala saya betul-betul banyak pertanyaan. Misalnya, siapa yang menentukan bidang “strategis” dan atas dasar apa? Apakah pemetaan Kemendiktisaintek cukup akurat untuk menakar kebutuhan nasional selama bertahun-tahun? Kalau mahasiswa diarahkan memilih jurusan tertentu, apakah ada mekanisme untuk menilai bahwa pilihan itu benar-benar relevan dengan kapasitas individu, atau sekadar memenuhi target statistik? 

Dan yang paling menggelikan, bagaimana definisi “keahlian yang dibutuhkan negara” itu diukur? Apakah ada indikator objektif, atau hanya slogan birokrasi yang terdengar ilmiah?

Kalau kita bedah sampai ke tulang, keinginan rakyat sering seperti angin lalu di telinga pemerintah. Sementara itu, kemauan pemerintah sering terasa ora umum bagi rakyat. 

Mana prosesi dialektis yang harus ada itu!? Mahasiswa pengin kuliah sesuai passion dan kapasitas, tapi LPDP bilang, “Tidak, kamu harus ke jalur yang menurut ‘strategi nasional’ paling menguntungkan.” 

Lah, strateginya buat siapa, coba? Apakah ada yang tanya: “Eh, minatmu apa, kemampuanmu di mana?” Jadinya, kebijakan ini seperti orkestra besar yang main tanpa peduli nada-nada pemainnya sendiri, dan kita disuruh tepuk tangan.

Ah, memang benar rasanya pendidikan di Indonesia ini seperti serial tanpa akhir. Belum selesai satu episode soal kualitas guru, datang episode fasilitas bobrok, atau kurikulum yang membingungkan, tiba-tiba ada plot twist baru soal skema LPDP 2026.

Pemerintah jangan cuma menentukan LPDP, sekalian jodoh saya dong

Saya jadi ingin ikut “merepotkan” sedikit. Kalau negara merasa paling tahu masa depan anak muda, sekalian dong pilihkan jodoh saya juga, biar hidup benar-benar terarah. Tidak ada lagi salah langkah, tidak ada lagi salah pilihan. 

Mau cinta atau karier, semua sudah ada rumusnya. Toh, kalau cita-cita bisa ditentukan untuk memenuhi kebutuhan negara, kenapa urusan hati tidak bisa disusun juga sesuai “visi besar bangsa”?

Seharusnya pemerintah tuh ….

Seharusnya pemerintah tuh hadir sebagai mediator dan katalis intelektual, bukan malah berlaga seperti diktator agenda akademik. Kalau seperti ini, apa bedanya dengan mesin produksi SDM yang mengikuti peta kebutuhan birokrasi semata. 

Skema LPDP 2026 seharusnya dibangun melalui kajian empiris yang sistematis, dialog publik, dan konsultasi lintas disiplin. Semata agar keputusan yang diambil tidak terasa arbitrer dan menjauh dari realitas sosial. 

Iklan

Jika suara mahasiswa, akademisi, dan komunitas ilmiah hampir tidak terdengar, bagaimana kebijakan itu bisa dianggap representatif?

Konsekuensinya, kita kini melihat kebijakan yang seolah-olah menjawab kebutuhan nasional, yang sebenarnya malah mengabaikan dinamika sosial dan intelektual yang berkembang. Misalnya, alokasi anggaran pendidikan dalam RAPBN 2026 sebesar Rp757,8 triliun, dengan hampir separuhnya, yakni Rp335 triliun, dialokasikan untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG). 

Program ini, meskipun memiliki dampak positif terhadap peningkatan gizi peserta didik, namun menimbulkan pertanyaan serius mengenai prioritas anggaran pendidikan. Apakah program ini sebanding dengan kebutuhan peningkatan kualitas pendidikan dan riset di perguruan tinggi?

Soal LPDP, Pemerintah tidak pernah mau mendengar

Lebih lanjut, kebijakan LPDP 2026 yang memfokuskan beasiswa pada bidang STEM dan prodi tertentu, tanpa melibatkan partisipasi aktif dari civitas akademika, menunjukkan adanya kesenjangan antara kebijakan dan kebutuhan riil di lapangan. 

Penentuan jurusan dan kampus tujuan oleh pemerintah, tanpa konsultasi yang memadai, berpotensi menciptakan ketimpangan dalam distribusi sumber daya pendidikan dan mengabaikan keberagaman minat serta potensi mahasiswa. 

Dalam konteks ini, pemerintah seharusnya lebih mendengarkan dan melibatkan berbagai pihak dalam proses pengambilan keputusan. Tanpa pendekatan yang inklusif dan berbasis pada dialog, kebijakan pendidikan akan kehilangan arah dan relevansi dalam menghadapi tantangan zaman.

Bakat pemerintah untuk semaunya sendiri

Pemerintah memang punya bakat alami untuk “semau gue”. Bukannya menengahi atau memfasilitasi, kebijakan sering dibuat di ruang tertutup, diam-diam, lalu diumumkan seolah tak ada ruang protes. Skema LPDP 2026 jadi contoh terbaru: jurusan ditentukan tanpa tawar-menawar. Mahasiswa hanyalah pion di papan strategi nasional.

Akibatnya, calon penerima beasiswa terpaksa menari mengikuti irama yang ditabuh birokrasi. Pilihan yang dulu terasa seperti hak, kini berubah menjadi daftar antrean: “Silakan pilih, tapi pilihannya sudah ditentukan.” Kreativitas yang katanya harus dimunculkan anak muda malah disandera prosedur dan regulasi.

Yang lebih lucu, mahasiswa belajar beradaptasi untuk menyesuaikan impian, menyesuaikan narasi diri, bahkan kadang menyesuaikan identitas agar cocok dengan “visi besar bangsa”.

Dan untuk kalian, apakah semangat untuk mengejar beasiswa LPDP masih tersisa? Apakah masih ada gairah untuk menulis proposal penelitian yang benar-benar kita impikan, atau semua aspirasi sudah direduksi menjadi kotak-kotak yang mesti dicentang sesuai “kebutuhan negara”? Coba pikir ulang.

Penulis: Sayyid Muhamad

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Sulitnya Jadi Mahasiswa Penerima Beasiswa LPDP, Dituntut Banyak Ekspektasi padahal Nggak Bahagia di Luar Negeri dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 26 Agustus 2025 oleh

Tags: beasiswa lpdpfokus LPDPjurusan LPDPLPDPSkema LPDP 2026STEMsyarat LPDP
Sayyid Muhamad

Sayyid Muhamad

Santri penuh waktu, mahasiswa separuh waktu, insyaallah warga negara Indonesia seumur hidup.

Artikel Terkait

4 alasan gagal lolos beasiswa kuliah LPDP. MOJOK.CO
Kampus

Mimpi Kuliah ke Luar Negeri sempat Terkubur karena Gagal Berkali-kali dapat Beasiswa, Akhirnya Lolos berkat Pelajaran Berharga

19 September 2025
Mulanya, pemuda asal Aceh ini merasa tidak percaya diri kuliah di luar negeri karena tak bisa Bahasa Inggris, kini ia bisa kuliah sampai S3 dengan beasiswa LPDP. MOJOK.CO
Kampus

Pengalaman Trauma Pasca Tsunami Aceh Antarkan Pemuda Ini Kuliah ke London Jurusan Manajemen Bencana dengan Beasiswa

9 September 2025
penerima beasiswa LPDP menderita. MOJOK.CO
Kampus

Sulitnya Jadi Mahasiswa Penerima Beasiswa LPDP, Dituntut Banyak Ekspektasi padahal Nggak Bahagia di Luar Negeri

25 Agustus 2025
beasiswa kuliah. MOJOK.CO
Ragam

Kuliah S2 Luar Negeri Berkat Beasiswa LPDP: Dibanggakan malah Berakhir Melukai Orangtua karena Lupa Diri

22 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.