Mudik Lebaran 2025 Terasa Aneh dan Berbeda: Penumpang Bus Sepi Hingga Pedagang Asongan Menghilang

Lebaran 2025 Lebaran Paling Aneh 10 Tahun Terakhir MOJOK.CO

Ilustrasi Lebaran 2025 Lebaran Paling Aneh 10 Tahun Terakhir. (Mojok.co/Ega Fansuri)

MOJOK.COMudik Lebaran tahun ini terasa aneh dan berbeda. Terlihat kelesuan di mana-mana. Kok bisa? Izinkan saya menceritakan pengalaman mudik saya. 

Sudah 10 lamanya saya tinggal di Bogor. Setelah menikah dan punya anak, sejak 4 tahun terakhir, saya telah berganti KTP menjadi warga Bogor. 

Sepuluh tahun, artinya 10 kali saya mudik Lebaran. Dan selama 9 kali mudik sebelumnya, saya merasakan vibes yang sama. Suasana Lebaran dan mudik yang teramat kental. Tapi mudik tahun ini, ada yang tidak biasa.

Bus yang kosong menjelang Lebaran

Saya berangkat pukul 07:00 WIB dari Cibungbulang, Bogor. Tidak perlu datang ke terminal, saya cukup menunggu bus dari Leuwiliang lewat di pinggir jalan. Menunggu setengah jam, bus yang saya tunggu akhirnya tiba.

Inilah keanehan yang pertama. Bus jurusan Leuwiliang-Tasik itu hanya terisi setengahnya. Padahal, 7 hari menjelang Lebaran, biasanya semua jok terisi penuh, dan saya pulang empat hari menjelang Lebaran. Masa di mana ramai-ramainya suasana mudik

Bahkan, biasanya, ada penumpang yang harus gigit jari karena tidak kebagian kursi. Karena pengalaman buruk tidak kebagian kursi itulah saya memutuskan untuk mengamankan satu jok jauh-jauh hari sebelum mudik lewat aplikasi trayek Budiman. Kalau tahu bus akan kosong melompong, tak perlu saya pesan tiket di aplikasi.

Tidak ada kemacetan

Saat itu saya bertanya-tanya, kok bisa kosong melompong, ya? Sepanjang perjalanan juga, alhamdulillah, lancar terkendali. Tidak ada macet sama sekali. Padahal, di beberapa titik di luar tol biasanya terjadi macet parah, bahkan harus ada operasi buka tutup jalan.

Baca halaman selanjutnya: Tahun ini, Lebaran terasa aneh.

Hilangnya pedagang asongan

Keanehan ketiga, sepanjang perjalanan, sedikit sekali para pedagang asongan yang lalu-lalang ke dalam bus, terutama di rest area dan terminal. Padahal, dalam pengalaman mudik Lebaran tahun-tahun sebelumnya, ada lusinan, bahkan puluhan, pedagang asongan yang keluar-masuk bus sebelum bus melanjutkan perjalanannya. 

Ada 3 rest Area yang biasa menjadi tempat singgah bus tersebut dan kondisinya biasanya selalu ramai oleh pedagang asongan yang bersipongang. Tapi kali ini sepi. 

Hanya ada 1 atau 2 pedagang yang tampak tidak bergairah menjajakan dagangannya. Apakah gairah para pedagang itu redup demi melihat penumpang yang hanya sedikit? Entahlah.

Ekonomi Indonesia semakin lemah jelang Lebaran

Dari sini saya membuat kesimpulan dini. Apakah ini bisa saja efek dari melemahnya perekonomian negara kita? Ah, saya tidak mau tergesa-gesa membuat sebuah kesimpulan. Untuk alasan itulah saya tetap menyimpan kesimpulan mentah itu di benak saya.

Tiba di Terminal Tasikmalaya pada pukul 13:00, saya harus melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus jurusan Cikalong. Ini adalah tujuan akhir perjalanan saya. 

Saya memutuskan untuk menunggu di luar terminal saja. Sembari menunggu bus tiba, saya mendirikan salat jemaah qasar zuhur-ashar di musala. Lalu, setelah itu, saya melanjutkan penantian di pinggir jalan. 

Sayangnya, saya tidak menemukan bus mini itu muncul, baik dari dalam atau luar terminal. Pada akhirnya, karena bosan, saya memutuskan ikut mengisi daya ponsel di sebuah warung mie ayam. 

Di situ saya harus menunggu bus sampai waktu Asar tiba. Tiga jam! Padahal, biasanya bus Cikalong itu akan datang dalam jarak kurang lebih 1 jam sekali. 

Lalu saya tanya ke ibu pemilik warung mie ayam: “Biasanya memang seperti ini, Bu?” Si ibu tahu saya hendak ke Cikalong karena sempat bertanya sebelumnya.

“Biasanya satu jam sekali. Telat begini mungkin karena tidak ada muatan.” Begitulah jawaban yang saya terima dari Ibu pemilik warung mie ayam itu. 

Karena bosan menunggu, saya memutuskan menggunakan bus jurusan Cikatomas, kecamatan tetangga. Hanya, nanti dari tujuan akhir perlu melanjutkan dengan motor sejauh 20 kilometer. Beruntungnya, ada adik yang siap menjemput ke kecamatan tetangga.

Di bus Cikatomas saya juga melihat hanya ada 5 orang penumpang. Barangkali hal itulah yang menyebabkan wajah sang sopir berkaus logo dan slogan salah satu partai itu menekuk muka. Wajahnya terlihat masam. 

Tiga penumpang turun 1 jam kemudian, di daerah Jatiwaras dan Salopa. Hanya ada 2 penumpang yang tersisa sampai tujuan akhir, Pasar Cikatomas, saya dan ibu paruh baya.

Lebaran yang sepi

Dua hari setelahnya, di rumah penuh kenangan, sembari menunggu waktu azan Magrib tiba, saya membaca berita bahwa arus mudik tahun ini turun sebanyak 24%. Melemahnya kondisi ekonomi menjadi penyebabnya.

Saat ini, terjadi banyak PHK, orang kehilangan mata pencaharian dan menurunnya angka golongan ekonomi menengah. Orang-orang lebih memilih untuk tidak mudik karena 2 hal. Pertama, karena tidak ada uang. Kedua, ada uang tapi, mengalokasikan uang itu untuk kebutuhan yang lain alih-alih mudik Lebaran. Entah untuk konsumsi sehari-hari atau untuk biaya masuk sekolah anak-anaknya. 

Lalu beberapa hari setelahnya, seorang anggota dewan dengan bangga mengatakan bahwa mudik tahun ini adalah mudik paling lancar sejak 2000. Sang anggota dewan berasumsi, “lancarnya” arus mudik tahun ini tak lepas dari kinerja mereka dan polisi dalam mengatur arus mudik. 

Mungkin anggota dewan kita yang terhormat tidak mengetahui fakta bahwa pemudik turun drastis sebanyak 24% imbas dari kondisi ekonomi yang carut marut. Tidak mengetahui atau pura-pura tidak tahu? Entahlah.

Penulis: Husni Mubarok

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Hidup di Indonesia Hari Ini: Makan Siang dengan Kabar Buruk, Makan Malam dengan Kecemasan dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Exit mobile version