MOJOK.CO – Logo halal beraksara Arab (حلال) di Cina akan diganti dengan logo “清真” (qingzhen). Artinya? Ya halal juga. Cuma netizen Indonesia mah tetep ribut aja.
Saya tidak boleh tidak harus sepakat pada apa yang disesalkan Pak Soegeng Rahardjo ketika diundang sebagai pembicara seminar tentang Islam di Cina yang dihelat di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, pada 17 Juli lalu.
Begini. Kata mantan duta besar Indonesia untuk Cina merangkap Mongolia itu, “kendati Cina tengah bergerak menjadi negara adidaya (superpower) yang akan mengubah perimbangan kekuatan (balance of power) global dan arsitektur kerja sama regional, tapi cara pandang kita terhadap Cina stagnan pada cara pandang ala Perang Dingin,” di mana agama dan ideologi komunisme kerap dibentur-benturkan.
Akibatnya, apa-apa yang berkaitan dengan Cina—apalagi soal kebijakan keagamaannya—selalu dipandang dengan mata penuh curiga. Tidak boleh serta-merta dipercaya. Pokoknya gitu.
Padahal Pemerintah Cina di bawah Presiden Xi Jinping sudah lama menyadari hal ini. Makanya, sejak Maret 2014, di Cina ramai sekali pembahasan mengenai bagaimana caranya agar Cina tidak terjerembap ke dalam apa yang oleh Xi Jinping sebut sebagai “Taxituo xianjing” alias “jebakan Tacitus”.
Yaitu, suatu perangkap yang bakal menjerat pemerintah, sehingga apa pun yang dikatakan atau dilakukan pemerintah, senantiasa dianggap kebohongan atau kesalahan belaka oleh masyarakat luas—wabilkhusus masyarakat negara lain seperti Indonesia.
Sialnya, karena telah berpuluh tahun terkungkung pola pikir Perang Dingin yang ditanam Orde Baru dan sekarang agaknya mulai dilestarikan lagi lewat penyitaan buku-buku berbau Marxisme seperti yang terjadi di Probolinggo belum lama ini. “Jebakan Tacitus” yang menimpa Cina di Indonesia selalu saja berkaitan dengan isu-isu agama. Islam khususnya.
Contohnya kayak yang terjadi sejak dua hari kemarin itu. Media-media arus utama negeri kita seakan berlomba-lomba melansir berita soal pemerintah komunis Cina yang, mengutip Tempo, “menerbitkan perintah agar restoran halal di negara itu mencopot tulisan arab atau simbol terkait Islam pada papan nama restoran mereka.”
Alasannya, tulis Republika, karena “menurut pihak otoritas di Cina, logo halal dan simbol-simbol yang terkait dengan Islam tersebut adalah kebudayaan asing.”
Sontak, berita demikian menjadi bahan baku hantam netizen yang terbiasa memamah mentah-mentah informasi cukup dari membaca judulnya saja. Ada yang berkomentar, mereka yang setuju pada tindakan represif otoritas Cina itu, adalah simpatisan komunis.
Saking serunya, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok yang kerap dinyinyiri sebagai juru bicara pemerintah Cina, sampai-sampai rela bertabayun “mendatangi pusat2 makanan halal di Beijing” guna melakukan “pelurusan atas berita hoax yang berkembang di media online” tadi. Itu pernyataan dari laman resmi mereka.
Hanya saja—untuk kali ini—terus terang saya menyayangkan langkah PCINU Tiongkok yang bagi saya terlalu terburu-buru bilang pemberitaan itu “hoaks” semata.
Bukannya apa. Sejak pada 2015 silam Xi Jinping menitahkan perlunya melakukan “cinaisasi agama” (zongjiao Zhongguohua) untuk mencegah infiltrasi paham-paham ekstremisme dan radikalisme agama dari luar. Otoritas Cina memang getol melakukan pribumisasi terhadap agama-agama yang ada di Cina.
Tujuannya agar agama-agama yang ada di Cina itu tidak gampang mengkopar-kapirkan dan bisa lebih ramah, toleran, serta akomodatif terhadap kebudayaan Cina yang umurnya lebih tua dibandingkan dengan usia agama-agama Abrahamik.
Caranya? Terkhusus Islam, ulama-ulama Cina mulai meramu kembali suatu terminologi yang mirip dengan “Islam Nusantara” yang digagas NU. Mereka menamainya “Islam Konghucu”—atau yang lumrah disebut dengan istilah Mandarin “Huiru”.
Nah, Islam Konghucu ini diharapkan bisa menjadi panacea untuk melawan arus Arabisasi yang—laiknya di Indonesia—juga cukup mewabah di Cina belakangan ini.
Sebagai bentuk konkret pengejawantahannya, beberapa masjid yang bentuknya dinilai kelewat kearab-araban dirobohkan. Diganti dengan yang lebih beraksitektur lokal mirip model masjid Cheng Ho kalau di Indonesia.
Sekarang, mereka memang perlahan menyasar logo halal beraksara Arab (حلال) untuk diganti menjadi aksara Mandarin “清真” (qingzhen) yang artinya halal juga.
Dulu, logo “清真” dan “حلال” sama-sama dipakai di bungkus-bungkus makanan atau warung-warung makan halal di sana. Nanti, kemungkinan cuma akan tinggal aksara Mandarin saja. Kalau lagi selow, cek saja keriuhan bahasan warganet Cina-muslim soal ini lewat mesin pencari baidu.com.
Apa yang sedang digalakkan pemerintah Cina ini sebenarnya 11:12 dengan pertanyaan retorik Gus Dur dalam esainya yang dimuat Majalah Tempo edisi 16 Juli 1983 itu:
“[M]engapa harus menggunakan kata ‘shalat’, kalau kata ‘sembahyang’ juga tidak kalah benarnya? Mengapakah harus ‘dimushalakan’, padahal dahulu toh cukup langgar atau surau? Belum lagi ulang tahun, yang baru terasa ‘sreg’ kalau dijadikan ‘milad’. Dahulu tuan guru atau kiai sekarang harus ustadz dan syekh, baru terasa berwibawa. Bukankah ini pertanda Islam tercabut dari lokalitas yang semula mendukung kehadirannya di belahan bumi ini?”
Tapi tenang saja, sekalipun misal makanan halal di Cina nanti benar-benar hanya akan memakai label “清真” alih-alih “حلال”, kehalalannya saya kira tetap tidak akan terpengaruh.
Sebab, Pemerintah Cina punya Asosiasi Islam Cina (Zhongguo Yisilanjiao Xiehui), lembaga semacam Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang bertugas mengurus sertifikasi halal.
Sementara menunggu rampungnya Undang-Undang Jaminan Produk Halal yang sedang dikebut DPR pusat, masing-masing daerah di Cina punya peraturan daerah tersendiri terkait regulasi halal. Lengkap dengan hukuman bagi yang dengan tanpa izin menempel logo halal pada makanan yang kehalalannya dipertanyakan, misalnya.
Dan yang terpenting, di Cina tak pernah kekurangan kaum beragama yang sewaktu-waktu bisa dikompori untuk menggeruduk toko-toko nakal macam itu. Persis kayak di Indonesia. Takbir!